SOLOPOS.COM - Dosen UKSW Gamaliel Septian Airlanda

Merdeka…!!! Pekik khas Indonesia ini ternyata masih bergaung kencang hingga September 2023. Bukan hanya tentang pesta tahunan Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi tentang kemerdekaan bagi para mahasiswa.

Mendikbudristek Nadiem Makarim atau Mas Menteri mengumumkan memberikan pilihan kepada seluruh kampus untuk membuka alternatif jalur kelulusan tanpa skripsi. Pernyataannya menjadi kontroversi dengan berbagai sanggahan dan opini dari masyarakat.

Berita Kompas.com tanggal 29 Agustus 2023 menyampaikan bahwa proyek kerja ilmiah dapat menggantikan skripsi sebagai syarat kelulusan seorang mahasiswa dari perguruan tinggi. Terlepas dari kontroversi dan tanggapan beberapa petinggi universitas, tentunya kalimat ini telah membawa angin segar bagi adik-adik mahasiswa.

Selama ini, skripsi dikenang sebagai sebuah laga pembantaian keilmuan, sosial emosional hingga material. Tidak jarang mahasiswa menjadi tertekan dengan adanya istilah proposal, laporan serta sidang skripsi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring menuliskan definisi skripsi adalah karangan ilmiah yang wajib ditulis mahasiswa sebagai syarat akhir pendidikan akademisnya. Tidak ada yang salah ataupun mengerikan berdasarkan definisi dan teori belajar yang mendasari munculnya mata kuliah skripsi.

Hal ini justru menunjukkan kualitas belajar yang membedakan seorang mahasiswa dengan orang yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi.

Proses hingga menghasilkan laporan skripsi itulah yang ternyata cukup berliku dan akhirnya terkesan mengerikan. Mahasiswa akan menghadapi subjektivitas dosen pembimbing dengan berbagai tipe. Sebagai contoh, ada dosen yang tidak membalas pesan janjian bimbingan akibat kesibukan pengurusan akreditasi, rapat atau sejenisnya.

Di sisi lain, mahasiswa akan ditantang merencanakan alur pikir ilmiah secara mandiri serta dituntut mempertanggungjawabkannya pada sidang skripsi. Mahasiswa akan beradu topik pilihan yang bisa jadi sama dengan topik sejuta umat lainnya.

Kecerdasan, strategi, ketekunan, penguasaan diri mewarnai seluruh proses ini hingga mampu membentuk seorang cerdik cendekia yang siap maju ke pertarungan dunia kerja. Proses berat namun bermakna, tinggal bagaimana seseorang melakukan porsinya.

Ironinya, negeri ini masih mengenal praktek-praktek hitam dalam melahirkan pemikir bangsa melalui skripsi. Praktek tidak bertanggung jawab ini muncul dari pihak mahasiswa, dosen ataupun program studi. Kasus suap, pembuatan skripsi instan, hingga aroma seksualitas masuk dalam dinamika pembuatan teks ilmiah ini.

Berdiskusi panjang dan lebar tentang skripsi, akhirnya perlu ditimbang kebermanfaatannya di masa depan yang sangat memuja skill professional untuk bertanding di ranah global. Tidak heran jika Mas Menteri yang punya cakrawala luas mengajukan sebuah perubahan fundamental dalam konsep kelulusan seorang mahasiswa dari perguruan tinggi.

Kualitas pendidikanlah yang perlu dijaga. Bukan tentang dokumen-dokumen tebal dan proses yang melelahkan serta kurang efektif yang menjadi momok pendidikan tinggi.

Tunggu dulu…mengingat diskusi tentang skripsi, serta merta saya sebagai dosen teringat pula tentang akreditasi. KBBI Daring menjelaskan bahwa akreditasi adalah pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai memenuhi syarat kebakuan.

Kemiripan Skripsi dan Akreditasi

Definisi skripsi dan akreditasi memiliki kemiripan, yaitu dinilai oleh pihak lain sebagai syarat sebuah pengakuan baku. Periode pelaksanaannya juga mirip antara 4-5 tahun sekali. Skripsi terjadi dalam rentang yang sama pada periode studi mahasiswa. Dokumen yang disusun oleh keduanya tidak kalah kompleks sesuai dengan level yang ingin dicapai.

Jika skripsi ingin mendapatkan nilai A tentu kualitas dokumennya akan lebih tinggi tingkat kesulitannya, hal sama terjadi pada akreditasi Unggul atau A di program studi. Yang membedakan keduanya hanyalah jumlah penyusunnya. Skripsi disusun oleh mahasiswa dan dosen pembimbing, akreditasi disusun oleh seluruh dosen program studi dan staf nonakademik.

Keduanya memiliki cerita proses hitam yang sama. Kecurangan, nepotisme asesor atau pembimbing, rekayasa data, bundling harga menjadi fakta tentang peliknya dunia skripsi dan akreditasi perguruan tinggi.

Dosen-dosen yang bergelar S2 atau S3 atau bahkan berkedudukan jabatan fungsional profesor menggunakan jurus-jurusnya untuk mendapatkan akreditasi terbaik bagi home based-nya. Sama halnya dengan skripsi, tidak semua akreditasi melakukan praktek tidak baik di lapangan. Namun, adanya fakta ini sudah tidak bisa ditutupi lagi.

Beban kinerja dosen ditentukan dengan ketuntasan luaran Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu: pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Fakta di lapangan jam mengajar seringkali melebihi batas kemampuan dosen dalam mengelola waktu serta menyeimbangkannya dengan tugas administratif.

Rapat dadakan akreditasi, penyusunan berkas dan bukti merupakan tugas layaknya anggota militer dari seorang jenderal yang harus dilaksanakan. Seringkali pekerjaan administratif ini menyandera jam pembelajaran menjadi tidak efektif.

Dosen kelelahan dengan rumitnya pengisian dokumen hingga akhirnya membuat ceramah menjadi model pembelajaran yang dipilih dalam mengelola kelas. Sama halnya dengan administrasi skripsi bagi mahasiswa yang membuat mereka kalang kabut.

Bukannya konten yang menjadi proporsi tertinggi tapi kesopanan chat untuk dosen pembimbing, waktu bimbingan, berkas print atau soft file, kerapian pakaian saat bimbingan. Warna-warni bimbingan skripsi yang sangat ribet. Luaran Tri Dharma perguruan tinggi lainnya seperti penelitian dengan kualitas jurnal terindeks bukanlah sebuah karya sim salabim abracadabra (mantra populer) yang bisa kapan saja direalisasikan.

Skripsi menuntut hal yang sama, pengetahuan mahasiswa dalam penelitian dasar seringkali dibenturkan dengan idealisme subjektif dosen lulusan Strata 2 atau Strata 3 atau Doctor of Philosophy.

Mahasiswa polos ini seolah dibodoh-bodohkan dengan kemampuannya yang memang seharusnya tidak dibandingkan. Pengabdian masyarakat ke daerah terkadang hanya menjadi formalitas turun gunungnya para dosen dari menara gading bernama kampus.

Skripsi pun punya hal yang hampir mirip. Kedatangan mahasiswa di tempat penelitian skripsi hanyalah formalitas untuk mencari kelulusan bagi diri sendiri bukan untuk menyelesaikan masalah yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Masyarakat sering jadi korban sombongnya perilaku pendidikan tinggi dengan embel-embel kesejahteraan dan peningkatan kualitas sosial. Ironi yang perlu dipikirkan kebermanfaatannya. Ketidakseimbangan yang terjadi dalam proses skripsi dan akreditasi perlulah dimerdekakan.

Keduanya punya subjek yang berbeda namun tanpa sadar saling berkaitan. Dosen terkadang membuat alasan untuk tidak melakukan bimbingan skripsi karena akreditasi program studi. Mahasiswa skripsi adalah varietas angkatan mahasiswa yang paling mudah untuk diminta bantuan membantu akreditasi.

Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda tetapi pada akhirnya saling memengaruhi. Tulisan ini merupakan narasi karya yang menguak fakta untuk menuntut solusi. Belum ada solusi di dalam tulisan ini, namun deretan argumen, fakta, opini menjadi penguat suara “Kapan Dosen Dibebaskan dari Akreditasi?”

Apakah mungkin? Bisakah solusi merdeka yang sama juga muncul pada akreditasi? Atau justru, alasan tidak ada jalur asesmen lain jika bukan akreditasi?

Kali ini, kapasitas saya adalah menyuarakan aspirasi, sembari menunggu solusi dari pihak yang berwenang. Hiduplah garba ilmiah kita untuk majunya pendidikan tinggi Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana

Rekomendasi
Berita Lainnya