SOLOPOS.COM - Pratika Rizki Dewi (Solopos/Istimewa)

Terhitung sejak 10 November 2023, Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola Piala Dunia U-17. Acara pembukaan—yang tidak jamak di Piala Dunia—berlangsung meriah di Stadion Gelora Bung Tomo, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Tontonan akbar bagi para pencinta sepak bola ini digelar hingga laga final yang direncanakan pada 2 Desember 2023 di Stadion Manahan, Kota Solo, Jawa Tengah. Selain dua stadion tersebut, Stadion Si Jalak Harupat di Bandung dan Jakarta International Stadium di Jakarta juga menjadi lokasi kompetisi dua tahunan ini.

Advertisement

Kalau menilik lagu yang dipopulerkan grup band The Changcuters berjudul Hijrah ke London dengan lirik yang mengisyaratkan London sebagai negara sepak bola, bisa dimaknai bahwa sepak bola menjadi denyut nadi London atau lebih tepatnya Inggris.

Di Inggris ada begitu banyak klub sepak bola ternama. Sepak bola di Inggris selain menjadi denyut nadi kehidupan warga juga menjadi sarana mengekspresikan suara, pendapat, atau menegaskan posisi.

Advertisement

Di Inggris ada begitu banyak klub sepak bola ternama. Sepak bola di Inggris selain menjadi denyut nadi kehidupan warga juga menjadi sarana mengekspresikan suara, pendapat, atau menegaskan posisi.

Pembentangan bendera Palestina oleh ribuan suporter Celtic, klub sepak bola asal Glasgow,  saat laga antara Celtic melawan Atlético de Madrid pada 25 Oktober 2023 lalu adalah sa;ah satu contoh sepak bola menjadi wahana ekspresi.

Di Inggris sepak bola menjadi denyut nadi dan menjadi media mengekspresikan suara nurani, seperti apakah makna sepak bola di Indonesia? Layaknya yang dilakukan di Glasgow, sepak bola di Indonesia juga memiliki sejarah sebagai sarana menyuarakan ekspresi, termasuk solidaritas kemanusiaan.

Advertisement

Dalam kondisi yang memprihatinkan inilah sepak bola di Indonesia memunculkan makna penting sebagai sarana solidaritas kemanusiaan. Di Jawa Timur diadakan Pekan Merapi dengan kegiatan berupa pertandingan sepak bola yang hasil penjualan tiketnya diberikan kepada korban letusan Gunung Merapi.

Koran Java Post edisi 12 Februari 1954 memberitakan tiga klub sepak bola asal Jawa Timur berpartisipasi dalam Pekan Merapi ini, yakni Persebaya asal Surabaya, Persema asal Malang, dan Persik asal Kediri.

Tiga klub tersebut bertanding selama tiga hari berturut-turut dengan urutan Persebaya melawan Persema pada 12 Februari 1954, Persik melawan Persema pada 13 Februari 1954, dan Persik melawan Persebaya pada 14 Februari 1954.

Advertisement

Selain klub-klub sepak bola daerah, Persatuan Sepak Bola Kantor-Kantor Surabaya (PSKS) juga mengadakan pertandingan serupa, satu hari setelah laga Pekan Merapi antara Persik melawan Persebaya (15 Februari 1954).

Surat kabar Abadi terbitan 19 Februari 1954 memberitakan Gubernur Jawa Timur kemudian menyerahkan Rp52.385,00 kepada korban letusan Gunung Merapi. Pada dana yang diserahkan itu di dalamnya juga termasuk hasil penjualan tiket sepak bola selama Pekan Merapi.

Pada berita itu tampak jelas bahwa yang terkena musibah adalah warga Yogyakarta, Boyolali, dan Magelang, tetapi yang bergerak adalah warga Jawa Timur. Hal ini menunjukkan sepak bola bukanlah sesuatu yang terbatas oleh jarak. Sepak bola dalam konteks solidaritas kemanusiaan bisa menghubungkan siapa  pun dalam jarak sejauh apa pun.

Advertisement

Ihwal letusan Gunung Merapi pada 1954, sepak bola menjadi bagian dari letusan itu dalam arti menorehkan kisah sepak bola amal yang unik sekaligus menyumbang historiografi sepak bola di Indonesia yang lebih dari sekadar permainan bola kaki yang sarat dengan rivalitas dan fanatisme.

Belajar Mengapresiasi

Selain sebagai sarana untuk menyuarakan solidaritas kemanusiaan, sepak bola juga bisa menjadi sarana bagi rakyat Indonesia untuk belajar mengapresiasi diri sendiri, orang lain, dan publik.

Kembali ke masa kini, Indonesia sedang menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Kekalahan tim nasional Indonesia pada pertandingan melawan Maroko dengan skor 1-3 pada 16 November 2023 tentu membawa kekecewaan bagi para suporter tim nasional Indonesia yang gegal lolos ke babak selanjutnya.

Kendati demikian, apresiasi setinggi-tingginya tetap patut diberikan kepada mereka yang sudah berjuang. Kebanggaan tetap perlu diangkat dan hal ini telah ditunjukkan oleh banyak media massa online, surat kabar, dan para fans yang tetap menuliskan kalimat positif, layaknya ”tetap semangat”, ”tetap tegakkan kepalamu Garuda Muda”, dan ”apa pun hasilnya tetap dukung tim nasional Indonesia”.

Ungkapan-ungkapan positif inilah yang perlu kita apreasiasi, kita beri like, dan kita bantu dengan menambahkan semangat untuk tim nasiomal Indonesia. Dalam sejarah, ketika Gunung Merapi meletus pada 1954, sepak bola kita pernah tidak mementingkan skor atau angka, maka sejarah itulah yang perlu kita ingat pada situasi sekarang ini.

Konteksnya memang berbeda, dahulu bukan kompetisi dan sekarang adalah kompetisi. Hal mendasar adalah pada cara memaknainya. Pada masa dahulu dimaknai sebagai solidaritas, maka pada momentum sekarang kita memaknainya sebagai apreasiasi.

Mari kita apresiasi tim nasional Indonesia yang telah berjuang sekaligus mengapresiasi diri kita yang bisa mengendalikan rasa kecewa dengan tetap berpositif diri. Siapa tahu, pada kompetisi dua tahun yang akan datang, tim nasional Indonesia bisa tampil semakin baik dan jika itu terjadi kita secara tidak langsung telah menjadi bagian dari sejarah yang menguatkan mereka pada 2023 untuk kegemilangan Garuda Muda pada masa depan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif