Kolom
Senin, 10 Oktober 2022 - 22:21 WIB

Masa Depan Gamelan

Tito Setyo Budi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dari sebuah dusun kecil yang nyempil di tengah lingkungan hutan di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, setiap sore, setidaknya sepekan sekali, selalu terdengar alunan musik gamelan Jawa. Yang menabuh adalah para ibu.

Lain hari berganti anak-anak. Pada malam hari berganti bapak-bapak. Begitulah berlangsung dari tahun 1970-an hingga 2000-an. Itu sebuah potret ketenteraman sekaligus kedamaian yang berkelindan dengan cara berpikir tradisional, jauh dari sifat tamak, boyak, dan ngayawara.

Advertisement

Pelajaran berharga, sekaligus mulia, yang ditunjukkan oleh sekelompok masyarakat kecil (orang udik), yang menurut taksonomi Parsons, model unit tindakan (the unit act), telah memenuhi berbagai unsur penyangga yang meliputi tujuan, sarana, syarat, norma, dan upaya.

Orang dusun boleh miskin, boleh hanya makan dua kali dan tak selalu nasi, tapi saat menabuh gamelan mereka memperoleh kehangatan dalam jiwa mereka. Tak masalah jika itu dianggap sebagai eskapisme. Bukankah orang-orang modern di kota-kota, yang terpelajar, juga tetap membutuhkan khayalan yang kadang jauh lebih parah?

Advertisement

Orang dusun boleh miskin, boleh hanya makan dua kali dan tak selalu nasi, tapi saat menabuh gamelan mereka memperoleh kehangatan dalam jiwa mereka. Tak masalah jika itu dianggap sebagai eskapisme. Bukankah orang-orang modern di kota-kota, yang terpelajar, juga tetap membutuhkan khayalan yang kadang jauh lebih parah?

Orang dusun hanya membutuhkan seperangkat gamalen yang bisa dipakai sebagai sarana berbagi kebahagiaan. Tak lebih. Mereka tak pula seincipun keinginan memiliki. Kebetulan di dusun itu ada salah satu penduduk yang sukses menjadi ”anak angkat” Kota Jakarta, menjadi pengusaha–Oesodo namanya–yang menyediakan seperangkat gamelan lengkap, pelog dan slendro, untuk ditabuh beramai-ramai.

Upaya Pelestarian

Tajuk Solopos edisi 20 September 2022 mengangkat tema yang bagus, yakni tentang pelestarian gamelan dengan sebaik-baiknya. Frasa ”dengan sebaik-baiknya” itulah yang barangkali masih membutuhkan penjabaran dan penajaman.

Advertisement

Jika benar kita hendak melestarikan gamelan, seharusnyalah dalam kerangka se-Indonesia. Gamelan tak cuma milik orang Jawa, tapi juga orang Sunda, orang Bali, dan lain-lain. Apa yang ada di Kota Solo saat ini sebenarnyalah sudah ada di kota-kota lain.

Pada tahun 1970-an di daerah eks Keresidenan Madiun, termasuk di kabupaten tanah kelahiran saya: Kabupaten Ngawi, banyak desa dan sekolah dari SD hingga SMA dan yang sederajat memiliki perangkat gamelan meskipun bukan golongan yang mahal.

Itu sudah cukup menjadi sarana berkesenian, perekat kebersamaan. Ada pelajaran karawitan yang benar-benar menggembirakan dan selalu dinanti-nanti meskipun bernama ekstrakurikuler. Kita boleh saja alergi dengan menyebut globalisasi sebagai pemicu luntur dan raibnya kesenian dan kebudayaan tradisional karena dianggap latah (sedikit-sedikit mengambinghitamkan globalisasi).

Advertisement

Apa yang dikatakan oleh Marshall Goldsmith (1998) tak tertampik. Bahwa betapapun masyarakat global telah mengalami diversitas, perbedaan yang cenderung menajam dari hari ke hari, serta semakin hilangnya humanitas.

Meskipun di sisi lain tak termungkiri pula betapa bangsa kita termasuk bangsa yang tak memiliki kesanggupan untuk membentengi nilai-nilai mulia dari warisan leluhur baik yang bersifat tangible (berwujud) dan intangible (tak berwujud).

Dalam hal ini kita bisa merasa iri pada bangsa-bangsa lain di Asia seperti India, China, Thaliland, Jepang. Mereka masih sanggup menyandingkan budaya asing dan budaya asli warisan leluhur mereka. Dalam lapangan kebudayaan mereka sanggup mengembangkan sebuah modus vivendi tanpa tersandera di dalamnya.

Advertisement

Sebuah buku yang disunting Yang Weize, Ancient Rhythm and Present Grace (2010), menggambarkan betapa bangsa China tak tercerabut dari akar budayanya sekaligus mampu bersaing dalam kehidupan modern dan global.

Boleh saja kita merasa bangga dan berbahagia karena UNESCO telah menetapkan gamelan sebagai warisan budaya dunia. Namun, setelah itu apa? Cukup sampai di situ kemudian lupa dan lama terninabobokan hingga kelak muncul rebut-ribut soal gamelan yang diakui bangsa lain sebagai milik seperti batik dan reog?

Peran Pemerintah

Ada sebuah cerita pendek yang ditulis O. Henry berjudul The Pendulum. Di situ digambarkan seorang suami yang menganggap kesetiaan istri melayani sebagai hal yang lumrah dan tak perlu diapresiasi. Hingga si suami kelabakan setelah si istri pergi meninggalkan rumah.

Dengan susah payah si suami mencari ke sana kemari. Setelah ketemu dan berhasil mengajak pulang ternyata si suami balik seperti kelakuan semula: tidak menghargai si istri. Begitulah yang saya lihat kecintaan bangsa kita dalam kepemilikan warisan budaya.

Masa depan gamelan sangat bisa diramalkan. Jika hanya seperti kisah dalam certa pendek karya O. Henry itu maka hampir pasti gamelan hanya akan menjadi catatan sejarah yang melapuk di rak-rak buku perpustakaan kuno.

Upaya ”pelestarian gamelan dengan sebaik-baiknya” hanya akan berhasil jika pemerintah kita memiliki kesanggupan untuk turun tangan secara bersungguh-sungguh, konkret, lewat perangkat kementerian yang membawahinya. Dalam hal ini Kota Solo bisa menjadi teladan terdepan.

Oesodo yang mempertahankan gamelan untuk ditabuh beramai-ramai dan menjadi hiburan kolektif-kolegial bagi penduduk di dusunnya barangkali masih merupakan sikap yang langka. Bagi dia, gamelan merupakan simbol hubungan personal yang mampu membangkitkan memorinya terhadap hal-hal yang dicintainya pada masa kecil.

Persis sebagaimana disinggung oleh Rochberg-Halton dalam Meaning and Modernity: Social Theory in the Pragmatic Attitude (1986). Pertanyaannya, seberapa banyak orang semacam Oesodo di Indonesia? Jawabannya, barangkali, jangan berharap banyak.

Pada zaman ketika struktur sosial memaksa semua orang berkompetisi agar mencapai survival of the fittes, memangnya siapa yang tak ingin hidup lebih dari layak? Dan sejatinyalah gamelan bisa menjadi sarana peredam keganasan nafsu manusia. Begitu kira-kira.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 September 2022. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif