Kolom
Selasa, 19 Juni 2012 - 14:13 WIB

Masa Depan Kampus Tanpa Gerakan Mahasiswa

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

M Dalhar, Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Solo (FOTO/Istimewa)

Beberapa pekan lalu di salah satu ruang publikasi Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) tertempel pengumuman yang berisi informasi pelarangan melakukan propaganda dan kampanye bagi organisasi ekstra kampus maupun partai politik. Peraturan itu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (SK Dirjen Dikti Kemendikbud) No 2/Dikti/Kep/2002.

Advertisement

Sebagai bagian dari organisasi pergerakan mahasiswa, di benak saya muncul pertanyaan besar atas kebijakan yang sebenarnya sudah usang itu. Saya bukan sekadar menyayangkan karena organisasi pergerakan mahasiswa tidak mendapatkan lagi ruang untuk melakukan sosialisasi di kampus, tetapi juga mengkhawatirkan kondisi kampus yang tak lain adalah sebagai ruang kaderisasi generasi muda bangsa.

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa peran mahasiswa cukup besar dalam mendorong perubahan baik pada masa sebelum maupun setelah kemerdekaan. Selain dikenal sebagai golongan yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, mahasiswa juga relatif bersih dari berbagai kepentingan. Tidak berlebihan jika kemudian muncul sebutan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau moral force.

Advertisement

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa peran mahasiswa cukup besar dalam mendorong perubahan baik pada masa sebelum maupun setelah kemerdekaan. Selain dikenal sebagai golongan yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, mahasiswa juga relatif bersih dari berbagai kepentingan. Tidak berlebihan jika kemudian muncul sebutan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau moral force.

Secara umum hakikat gerakan mahasiswa adalah ”perubahan.” Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan untuk digantikan oleh situasi baru yang dianggap memenuhi harapan (Albatch, 1998). Salah satu ciri khas dari organisasi pergerakan adalah kondusifnya iklim diskusi baik tentang teori sosial, wacana kiri, maupun isu-isu kontemporer. Diskusi tema-tema seperti ini yang jarang dilakukan di bangku perkuliahan.

Wajar jika organisasi pergerakan mahasiswa disebut juga sebagai ”dapur wacana” bagi mahasiswa era 1998. Selain itu, jaringan (networking) yang luas serta jenjang pengaderan yang sistematis menjadikan organisasi pergerakan mahasiswa menjadi memiliki peran lebih. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi dan peran organisasi pergerakan mahasiswa dari masa ke masa.

Advertisement

Semuan perizinan dan pendanaan organisasi tersebut berasal dari kampus. Pada masa Orba, organisasi intrakampus tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka sebagaimana organisasi ekstrakampus karena terancam dicabut perizinan dan pendanaannya dari pihak kampus. Sebaliknya, organisasi ekstrakampus seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) memilki peluang yang besar untuk melakukan kritik terhadap pemerintah yang berkuasa karena posisinya berada di luar struktur kampus.

Pemerintah lebih sulit membekukan organisasi ekstrakampus daripada intrakampus. Untuk menyiasati agar tidak dibekukan, pada era reformasi 1998 organisasi intrakampus dan ekstrakampus bekerja sama dengan cara membuat organ-organ baru di luar organisasi yang sudah ada, misalnya Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR), Solidaritas Mahasiswa Peduli Tanah Air (SMPTA) dan organisasi taktis lainnya.

Kerja Sama

Advertisement

Dampak paling kentara dari kebijakan Dirjen Dikti Kemendikbud tersebut adalah saat penerimaan mahasiswa baru setiap organisasi mahasiswa ekstrakampus dilarang mendirikan stan atau tempat promosi sebagai ajang bersosialisasi kepada mahasiswa. Secara tidak langsung hal itu mengurangi gerak organisasi ekstrakampus di dalam kampus dan menghambat proses kaderisasi dalam organisasi.

Pelarangan organisasi ekstrakampus melakukan sosialisasi di dalam kampus bukanlah hal baru. Pada masa Orba, pelarangan dilakukan karena pemerintah saat itu tidak menginginkan mahasiswa membicarakan politik. Hal itu dinilai dapat menimbulkan kritik yang berujung pada aksi turun ke jalan. Ini juga yang mungkin dikhawatirkan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Untuk menekan kekhawatiran tersebut, lahirlah kebijakan melarang organisasi ekstrakampus melakukan propaganda maupun sosialisasi di kampus.

Adanya pelarangan kegiatan organisasi pergerakan mahasiswa ekstrakampus di dalam kampus tidak sekadar melupakan peran organisasi ekstrakampus pada masa lalu, tetapi juga akan melumpuhkan nalar kritis mahasiswa dan relasinya dengan realitas di tengah masyarakat. Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya rasa keberpihakan kaum intelektual (baca: mahasiswa) kepada masyarakat marginal atau masyarakat tertindas.

Advertisement

Rasa keberpihakan inilah salah satu yang membedakan antara organisasi intrakampus dan ekstrakampus. Yang muncul kemudian adalah mahasiswa hanya menjadi kaum intelektual yang bekerja berdasarkan asas profesionalisme. Dia tidak mau tahu bekerja kepada siapa dan untuk apa. Hal inilah yang menurut Antonio Gramsci disebut sebagai ”intelektual tradisional” yang justru menghambat proses perubahan.

Untuk membangun nalar kritis mahasiswa, kerja sama antara organisasi/lembaga intrakampus dan ekstrakampus tetap diperlukan untuk menjaga dan mengingatkan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agen of change). Kerja sama ini juga dilakukan gerakan mahasiswa pada 1998 dan periode gerakan sebelumnya. Adanya kerja sama ini tentu saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kekuatan yang besar untuk mendorong lahirnya perubahan ke arah yang lebih baik.

Ketika mahasiswa sudah memiliki kesadaran dan keberpihakan kepada masyarakat pinggiran, kalangan marginal, perubahan tentu dapat diciptakan. Ada banyak alternatif pilihan gerakan yang dapat diambil mahasiswa untuk mengawal perubahan seperti menulis, berwirausaha, pengabdian masyarakat dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif