Kolom
Minggu, 9 April 2023 - 09:27 WIB

Mbah Slamet dan Literasi Rendah

Abu Nadzib  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Kasus  pembunuhan berantai yang berawal dari penipuan berkedok penggandaan uang oleh Slamet Tohari alias Mbah Slamet di Banjarnegara, Jawa Tengah, beberapa hari terakhir membuat prihatin.

Sebelumnya ada kasus pembunuhan di Cianjur dan Bekasi oleh kelompok Wowon dan kawan-kawan. Kasus dukun palsu pengganda uang terus terulang dari waktu ke waktu.

Advertisement

Setidaknya berita kasus penggandaan uang mulai mengemuka pada Februari 1986, melibatkan dua petani asal Brebes, Jawa Tengah, Sumar Suryadilaga dan Eddy Saputra. Mereka mendapatkan Rp50 juta dari enam korban.

Modusnya menggandakan uang dengan perantaraan jin gundul. Kasus serupa berujung pembunuhan terjadi pada 2007. Delapan mayat korban pembunuhan dukun penggandaan uang ditemukan di Desa Cikareo, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Enam tersangka ditangkap pada 25 Februari 2007.

Advertisement

Modusnya menggandakan uang dengan perantaraan jin gundul. Kasus serupa berujung pembunuhan terjadi pada 2007. Delapan mayat korban pembunuhan dukun penggandaan uang ditemukan di Desa Cikareo, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Enam tersangka ditangkap pada 25 Februari 2007.

Sebelum dibunuh para korban diminta menjalani ritual mengelilingi lubang besar yang digali lebih dulu oleh para tersangka. Para korban diberi minuman beramuan khusus yang ternyata racun. Delapan korban itu dimasukkan ke lubang dan ditimbun.

Pada Juli 2013, ditemukan tiga mayat tanpa identitas di lereng Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah. Polisi mengungkap mereka korban pembunuhan oleh tersangka penggandaan uang bernama Munjaroh. Salah satu korban adalah Yulanda.

Advertisement

Dimas Kanjeng alias Taat Pribadi lebih dulu viral. Publikasi lewat video di Youtube menjelaskan ia mampu menggandakan uang. Sepak terjang Dimas Kanjeng berakhir seiring terungkapnya pembunuhan dua pengikut, Abdul Gani dan Ismail.

Mereka dibunuh karena Dimas Kanjeng khawatir dua pengikutnya itu membongkar praktik penipuan yang dia lakukan. Pada November 2021, pembunuhan korban penipuan dengan modus menggandakan uang terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Lasman, 31, Wasdiyanto, 38, dan Suroto, 63, meninggal setelah diracuni oleh dukun berumur 57 tahun yang mengaku bisa menggandakan uang. Pada Januari 2023, tiga sekawan Wowon Eriawan, 60, Solihin, 63, dan Dede, 35, membunuh sembilan orang.

Advertisement

Sebagian korban adalah keluarga dekat Wowon, yaitu istri, mertua, dan anak kandungnya. Modusnya janji menggandakan uang para korban yang merupakan tenaga kerja Indonesia. Kasus Wowon kini dalam proses menuju persidangan di Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.

Penyelidikan pembunuhan berantai berkedok penggandaan uang oleh Slamet Tohari alias Mbah Slamet, 45, dan Budi Santosa, 43,  hingga saat ini mengungkap 12 mayat yang ditemukan terkubur di pinggir hutan di wilayah Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Rendahnya literasi membuat kasus serupa masih terus terulang. Tingkat membaca masyarakat kita sangat rendah. UNESCO menyebut Indonesia negara di urutan kedua dari bawah soal literasi. Menurut data UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.

Advertisement

Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu memosisikan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalamn hal minat membaca, persis di bawah Thailand (ke-59) dan di atas Bostwana (ke-61). Dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Rendahnya pengetahuan dan malas membaca membuat rasionalitas masyarakat pendek. Mereka mudah tergiur janji uang bisa beranak pinak dalam hitungan sekejap, sesuatu yang secara rasional tidak mungkin terjadi.

Logikanya, jika para dukun itu bisa menggandakan uang, mereka akan melakukan untuk diri mereka sendiri tanpa perlu repot-repot bekerja menjadi seorang dukun. Rendahnya literasi masyarakat Indonesia ini berkorelasi dengan terus berulangnya kasus dukun palsu penggandaan uang yang selalu diakhiri dengan pembunuhan banyak orang.

Masyarakat berliterasi rendah juga menjadi korban para penyedia investasi bodong. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut banyaknya kasus investasi bodong dan robot trading beberapa waktu terakhir dipicu rendahnya literasi masyarakat (baca: para korban) kendati secara formal mereka berpendidikan tinggi.

Faktor impitan ekonomi hingga minimnya keterampilan kerja mendorong masyarakat tergoda penipuan berkedok penggandaan uang. Mereka tidak mampu menghadapi persaingan dunia kerja. Fenomena dukun palsu pengganda uang harus diakhiri sekarang.

Mbah Slamet dan Wowon harus menjadi akhir kebodohan berjemaah. Untuk menghentikannya perlu campur tangan kita semua, terutama pemerintah. Pemerintah punya kewajiban menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya agar perekonomian terangkat naik, agar orang menganggur semakin sedikit, agar orang frustasi semakin berkurang.

Kaum agamawan bertanggung jawab mencerdaskan umat agar jauh dari klenik dan semacamnya. Uang hanya bisa didapatkan dari bekerja dan bukan dari dilipatgandakan. Di keluarga perlu perbaikan komunikasi agar jika ada yang terpapar klenik bisa segera disadarkan. Secara umum, budaya membaca perlu digencarkan agar kita tak buta nalar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 April 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif