Kolom
Rabu, 21 Desember 2022 - 09:29 WIB

Melabeli Para Pengkritik

Adib Muttaqin Asfar  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dalam sebuah perdebatan yang disiarkan secara live di Beritasatu TV, 6 Desember 2022, Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Albert Aries, berbicara tentang orang yang menentang Pancasila.

Isu yang sedang diperdebatkan saat itu adalah Pasal 188 KUHP baru tentang penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Advertisement

”Satu-satunya pasal dalam konstitusi kita yang enggak bisa diubah adalah Pasal 37 ayat (5) [tentang] bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau di Indonesia masih ada orang yang mempermasalahkan Pancasila, menentang Pancasila, berarti sama aja ini, apa namanya, negara NKRI bubar,” kata Aries saat itu.

Saat itu dia ditanya bagaimana cara menentukan suatu ajaran bertentangan dengan Pancasila seperti yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 188. Penjelasan pasal itu menyatakan yang dimaksud dengan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila adalah paham ideologi politik yang termanifestasi dalam bentuk gerakan politik menentang Pancasila.

Pasal 188 KUHP baru adalah satu dari sekian pasal yang dipermasalahkan berbagai kelompok masyarakat sipil karena berpotensi menjadi alat kriminalisasi. Jawaban Aries bisa dimaknai publik bahwa siapa pun yang mempermasalahkan Pasal 188 KUHP baru berarti mempermasalahkan Pancasila.

Advertisement

Ini simplifikasi yang mendistorsi kritik dari substansinya. Alih-alih menjelaskan batasan sebuah larangan, kalimat itu justru mendistorsi seolah-olah Pancasilalah yang menjadi objek kritik. Masyarakat sipil mempermasalahkan isi KUHP baru, bukan Pancasila.

KUHP adalah produk legislasi. Pancasila adalah dasar negara. Keduanya adalah entitas yang berbeda. Di luar perdebatan itu, simplifikasi kerap dipraktikkan dalam politisasi identitas. Contoh yang sangat mudah ditemukan adalah praktik pelabelan di tengah polarisasi politik sejak 2014.

Pendukung Joko Widodo (Jokowi) dilabeli ”cebong”. Pelabelan itu berkembang menjadi siapa pun yang tidak setuju terhadap Prabowo Subianto adalah cebong. Begitu pula sebaliknya. Label ”kadrun” awalnya kerap ditempelkan kepada para pendukung Prabowo Subianto.

Belakangan label ”kadrun” juga disematkan kepada mereka yang tidak setuju terhadap Presiden Joko Widodo atau pemerintah secara umum. Mereka yang mendukung Novel Baswedan dan kawan-kawannya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat tes wawasan kebangsaan juga mendapat label ini.

Advertisement

Terjadilah polarisasi yang ditandai pembelahan secara kasar. Hanya ada dua pilihan, dua kelompok, atau dua kubu dengan identitas yang saling berlawanan. Semua serbahitam dan putih, suka atau tidak suka, menolak atau mendukung. Itulah yang kemudian disebut politik identitas.

Semua tokoh politik ramai-ramai menyebut, meminta, agar para calon kontestan pemilihan umum menghindari politik identitas. Presiden Joko Widodo beberapa kali mengingatkan supaya semua pihak menghindari politik identitas.

”Jangan masuk ke politik SARA [suku, agama, ras, dan antargolongan], politisasi agama, politik identitas yang berbahaya bagi negara sebesar Indonesia yang sangat beragam,” kata Presiden Joko Widodo melalui cuitan di akun Twitter @jokowi, Senin 21 November 2022. Benarkah yang terjadi di Indonesia adalah praktik politik identitas?

Distorsi Istilah

Istilah politik identitas sebenarnya kali pertama diperkenalkan kepada dunia oleh Combahee River Collective (CRC), sebuah gerakan feminis radikal kulit hitam di Amerika Serikat yang dibentuk pada 1974.

Advertisement

Dalam buku How We Get Free, Black Feminism and The Combahee River Collective yang disunting oleh Keeanga-Yamahtta Taylor, CRC memperkenalkan beberapa istilah utama dalam kampanye mereka, yaitu “interlocking oppression” dan “identity politics”.

CRC muncul sebagai gerakan antipenindasan setelah melihat kepentingan mereka tidak diwadahi oleh gerakan feminis kulit putih. Misalnya, gerakan feminis kulit putih banyak berbicara tentang kesetaraan gender, tetapi enggan berbicara tentang persoalan rasisme yang marak terjadi.

Salah satu pembeda CRC dengan gerakan feminis lainnya adalah mereka mengakui dampak diskriminasi bukan hanya dialami oleh perempuan kulit hitam. Dalam hal kemiskinan, Taylor menyebut 25% masyarakat miskin di Amerika Serikat adalah perempuan kulit hitam, 18% laki-laki kulit hitam, dan 10% lainnya adalah perempuan kulit putih.

“Dengan demikian, penyertaan perempuan kulit hitam dengan cara mereka sendiri bukanlah konsesi untuk ‘politik kebenaran’ atau ‘politik identitas’; perlu untuk memvalidasi pengalaman khusus perempuan kulit hitam dalam masyarakat kita sambil mengukur tingkat penindasan, ketidaksetaraan, dan eksploitasi yang dialami masyarakat Afrika-Amerika,” tulis Taylor.

Advertisement

CRC menggambarkan penindasan saling terkait dan terjadi secara bersamaan sehingga menciptakan langkah-langkah baru melawan penindasan dan ketidaksetaraan. Dengan kata lain, isu yang mereka perjuangkan bukan sebatas penindasan berbentuk seksisme, rasisme, atau homofobia yang dialami oleh kaum lesbian kulit hitam.

Dengan demikian, politik identitas dalam terminologi CRC adalah penggunaan identitas untuk memperjuangkan kelompok minoritas yang tertindas. Politik identitas yang mereka praktikkan juga tidak hanya mengusung kepentingan kelompok perempuan kulit hitam, tetapi juga kepentingan bersama kelompok tertindas lainya.

Politik identitas dalam perspektif CRC bukan hanya tentang identitas seseorang atau “siapa Anda”, tetapi juga tentang “apa yang dapat Anda lakukan menghadapi penindasan”. Mereka menggunakan pengalaman penindasan dan penghinaan akibat kemiskinan, rasisme, serta seksisme untuk mendorong perempuan kulit hitam aktif secara politik.

Belakangan ini istilah politik identitas terdistorsi menjadi praktik politik yang dipenuhi pelabelan dan stigma. Kampanye Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat 2016 menggunakan sentimen bahwa imigran–khususnya dari Amerika Latin–yang membanjiri Amerika Serikat menjadi beban negara dan menyebabkan semakin terbatasnya akses terhadap lapangan kerja.

Trump sukses mengapitalisasi keresahan warga mayoritas di Amerika Serikat itu dan memenangi pemilu. Di Indonesia, yang terjadi serupa meski tidak sama persis. Apa yang disebut dengan polarisasi yang lahir dari politik identitas hanya menjadi alat untuk meraup suara.

Praktik “politik identitas” yang terjadi di Indonesia yang jauh dari konsep awal politik identitas versi CRC itu sejalan dengan opini Indonesianis asal Australia, Max Lane, belum lama ini.

Advertisement

Menurut Max, polarisasi di Indonesia hanya omong kosong. “Rahasianya, bahwa adanya polarisasi itu omong kosong. Omong kosong. Tidak ada polarisasi,” ujar dia dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Gadjah Mada yang dikutip oleh VOA, 19 Oktober 2022 lalu.

Kesannya polarisasi diciptakan agar elite politik bisa memecah belah masyarakat. Tetapi, kata Max, polarisasi itu tidak pernah ada. Dia mencontohkan selama debat calon presiden 2019 tidak ada perbedaan signifikan antara tawaran kebijakan Joko Widodo atau Prabowo dalam bidang ekonomi, politik, hingga hak asasi manusia.

Menurutnya, label cebong dan kadrun serta stigma-stigma yang mewarnai polarisasi hanya taktik yang dilancarkan kubu Joko Widodo maupun Prabowo untuk menarik suara pemilih. Begitu pemilu selesai, Joko Widodo dan Prabowo langsung bisa bertemu. Kritik-kritik Prabowo sepanjang kampanye hilang tak tersisa, tetapi cebong dan kadrun tetap terpelihara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Desember 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif