Kolom
Minggu, 7 Mei 2023 - 21:13 WIB

Mencari Titik Keseimbangan

Hafis Azhari  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hafis Azhari (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Konsep  pemikiran Sigmund Freud mengenai psikoanalisis adalah ikhtiar manusia Barat saat filsafat eksistensialisme merajai dunia. Konsep mengenai alam bawah sadar yang cenderung bersifat liar dikategorikan sebagai naluri hewani pada diri manusia dan disebut sebagai ”id”.

Fase berikutnya adalah ”ego”, yakni kesadaran akan kemanusiaan pada saat hal-hal negatif yang tak layak dari alam bawah sadar manusia perlu dikesampingkan. Freud menarik kembali potensi-potensi insting dan naluri hewani sebagai kekuatan menakjubkan yang bisa dicapai oleh kasadaran manusia hingga mencapai fase ”super ego”.

Advertisement

Fase kesuksesan dan keberhasilan manusia bisa dicapai dengan menggabungkan unsur ketidaksadaran (hewani) dan unsur kesadaran (manusiawi) untuk mencapai fase manusia unggul. Konsep ini tentu bersifat Barat-sentris yang dibangun dari puing-puing abad kegelapan sebagai antitesis dari pandangan kaum agamawan (gereja) yang ortodoks dan konservatif.

Pemikiran Freud sangat terbatas untuk lebih memasuki kualitas hidup bahagia yang kemudian seorang muridnya, Carl Gustav Jung, menawarkan konsep psikologi analitis, bahwa agama yang kontekstual dan pemahaman ketuhanan yang bersifat esoterik dapat menjawab kegamangan dan kegersangan manusia hipermodern.

Advertisement

Pemikiran Freud sangat terbatas untuk lebih memasuki kualitas hidup bahagia yang kemudian seorang muridnya, Carl Gustav Jung, menawarkan konsep psikologi analitis, bahwa agama yang kontekstual dan pemahaman ketuhanan yang bersifat esoterik dapat menjawab kegamangan dan kegersangan manusia hipermodern.

Pada konteks inilah Jung menarik benang merah dari konsepsi agama (Kristiani) yang mengajarkan hidup bersahaja berdasarkan teladan Nabi Isa, yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai zuhud, termasuk juga konsep ketakwaan dan  ”melawan hawa nafsu”.

Jauh sebelum era psikoanalisis Freud, seorang ulama dan filsuf muslim, Al-Ghazali, sudah memasuki pemikiran yang melampaui banalitas manusia hipermodern, kemudian dengan jitu merumuskannya. Nafsu hewani yang tak mampu dikendalikan itu tak lain sebagai nafsu al-ammarah.

Advertisement

Ketika Tuhan menghendaki kebaikan pada diri seseorang, orang itu akan dimudahkan memahami segala sesuatu. Ajaran Islam menekankan pentingnya seseorang terampil membaca kekurangan diri ketimbang sibuk mengorek-korek kesalahan orang lain.

Orang yang disibukkan melihat kekurangan diri, tertutup kemungkinan melihat aib dan kejelekan orang lain. Konsep ini ditegaskan Ibnu Athaillah as-Sakandari bahwa orang yang dibukakan hatinya untuk melihat kekurangan diri jauh lebih mulia ketimbang mereka yang dibukakan hatinya pada alam-alam gaib di sekelilingnya.

Dalam terminologi agama, kehidupan yang hedonis dan menuruti kesenangan sesaat identik dengan keterjebakan manusia dalam lorong-lorong kegelapan. Ini selaras dengan tesis Jonathan Haidt bahwa seorang mistikus dan kaum sufi merasa tidak silau dengan materi dan kehidupan hedonis.

Advertisement

Haidt mengambil teladan dari Sidharta Gautama yang pernah menyatakan kebahagiaan itu berasal dari dalam hati dan kalbu manusia. Menurut sebagian generasi milenial, suasana dan kondisi kebatinan tidak selalu menjadi sumber mencapai fase kebahagiaan hidup. Sidharta pernah menikmati masa-masa kesenangan dan kenikmatan hidup di dalam istana.

Ia mencapai fase kesadaran (al-lawwamah) bahwa segala aksesori duniawi, makanan lezat, hingga jabatan tinggi bukanlah sumber utama yang menyebabkan pikiran dan perasaan dapat terkoneksi dengan kesejatian. Jadi, perlu juga melewati fase ”kemakmuran awal” yang bersifat badaniyah dan aqliyah. 

Kemakmuran Awal

Al-Ghazali dalam Kimiya as-Sa’adah menyatakan bahwa fase kesenangan dunia atau kemakmuran awal merupakan satu kesatuan dalam pencapaian kualitas kebahagiaan yang bersifat ukhrawi.

Advertisement

Kecerdasan akal adalah bagian dari jiwa manusia yang harus dipenuhi nutrisinya dengan ilmu yang berkualitas. Jika banyak hal dalam hidup ini tidak dipahami, manusia cenderung galau dan tidak tenang. Akal pikiran manusia perlu dipenuhi gizinya dengan banyak menuntut ilmu agar terampil memahami segala sesuatu.

Fase kemakmuran awal lebih bersifat badaniyah, seperti kecukupan sandang, pangan, beristri atau bersuami, berkeluarga, berbadan sehat, hingga memiliki kedudukan dan popularitas. Segala kesenangan yang bersifat hewani (id) tidak ada batasnya, jika tidak dibatasi oleh kesadaran diri.

Nafsu al-lawwamah ibarat rem kendaraan yang pakem, manusia harus terampil mengolah dan mengendalikan diri agar tidak kebablasan. Kita butuh harta, butuh istri atau suami dan keluarga, bahkan kita butuh diakui dan dihormati, tetapi kita harus sadar bahwa semuanya itu tidak abadi.

Ketika sampai pada fase kesadaran ini, bahwa semua yang dimiliki hanya titipan, bahwa semua hanyalah milik Tuhan, derajat manusia mencapai fase nafsu al-muthmainnah terasa mudah dan ringan. Betapa banyak orang menderita karena disibukkan oleh tampilan merek, seakan-akan segala aksesori lebih berharga daripada dirinya.

Betapa banyak orang diperbudak hasrat keinginan duniawi hingga mereka selalu galau, nelangsa, dan kehilangan harga dirinya. Konsep zuhud tidak identik antidunia dan skeptis pada kebutuhan materi, tetapi nilai dan harga diri manusia jangan sampai diperbudak oleh hasrat dan keinginan duniawi yang materialistis dan meninabobokan.

Menurut Al-Ghazali, fase nafsu al-muthmainnah dapat mengantarkan manusia pada kelapangan hati yang bersifat taufiqiyah. Artinya, kita harus menyadari kemakmuran awal yang kita peroleh selama ini tak lain sebagai karunia Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya.

Rasa syukur atas kenikmatan itulah yang membuat manusia bersikap humanis dan rendah hati kepada sesamanya, serta rendah diri di hadapan Tuhan. Sifat-sifat malakut  melekat dalam diri sehingga bujuk rayu setan dan iblis (yang terbuat dari api) senantiasa menjauh darinya.

Kekuatan api hanya akan terkoneksi dengan sifat-sifat manusia yang takabur, angkuh, dan selalu menyombongkan dirinya. Kehadiran orang yang tenteram jiwanya senantiasa membuat orang merasa aman dan nyaman karena ia telah selesai dengan dirinya, mudah membahagiakan sesamanya.

Al-Ghazali menekankan keselarasan antara duniawi dan ukhrawi, sebagaimana kesejajaran antara kebutuhan badaniyah dan nafsiyah. Kita harus proporsional memberikan nutrisi bagi kebutuhan fisik dan rohani, baru kemudian tercipta ketenangan dan kenikmatan jiwa (muthmainnah) yang akan mudah mencapai akhir husnul khatimah. Setelah itu, kita akan ringan dan dimudahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Mei 2023. Penulis adalah penganggit novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten)

Advertisement
Kata Kunci : Agama Spiritualitas Sufi
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif