Kolom
Kamis, 19 Juli 2012 - 08:13 WIB

Mengurai Problem Klasik Kenaikan Harga

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro, Dosen FE UMS Solo

Edy Purwo Saputro, Dosen FE UMS Solo

Perekonomian di Indonesia tidak pernah bisa terlepas dari ancaman inflasi musiman yaitu selama Ramadan sampai Lebaran, selain pada peringatan Natal. Kondisi ini pada dasarnya terkait dengan ketidakseimbangan antara demand (permintaan)-supply (penawaran). Padahal teori ekonomi jelas menyebut bahwa ketidakseimbangan tersebut berpengaruh terhadap harga. Artinya, jika demand lebih besar dibanding supply maka harga menjadi naik. Begitu juga sebaliknya jika supply lebih besar dibanding demand, harga menjadi turun.

Advertisement

Mengacu teori tersebut sebenarnya pemerintah bisa melakukan berbagai strategi untuk meminimalisasi terjadinya ketidakseimbangan sehingga harga tidak berfluktuasi terutama untuk kasus inflasi musiman seperti kasus selama menjelang Ramadan dan Lebaran. Paling tidak hal ini terlihat dari kasus lonjakan harga pada sebulan terakhir menjelang Ramadan. Realitas menunjukkan bahwa lonjakan harga tersebut akan terus meningkat sampai Lebaran. Imbas dari kasus klasik ini adalah terjadinya inflasi dan secara tidak langsung berpengaruh pada penurunan daya beli masyarakat.

Jika dikaitkan dengan pendapatan masyarakat yang cenderung stagnan, inflasi yang tidak terkendali dan cenderung terjadi selama Ramadan–Lebaran berpengaruh terhadap stabilitas pangan bagi masyarakat. Artinya, daya beli yang semakin rendah menunjukkan adanya ancaman terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, jika tidak diwaspadai, hak itu dapat berpengaruh terhadap munculnya kejahatan yang dipicu oleh kecemburuan sosial. Terkait hal ini, beralasan jika cenderung terjadi tren kejahatan selama Ramadan–Lebaran.

 

Advertisement

Aksi Spekulan

Pokok persoalan dari inflasi musiman adalah titik keseimbangan demand-supply. Oleh karena itu, pemerintah baik di pusat atau daerah dan dinas terkait seharusnya bisa cermat memantau kondisi demand-supply. Berdasarkan data statistik, pada 2007, laju inflasi selama Ramadan 0,8 persen dan pada Lebaran 0,7 persen sedangkan pascalebaran turun menjadi 0,2 persen. Pada 2008, angka berubah, inflasi selama Ramadan 0,97 persen dan pada Lebaran 0,45 persen sedangkan pascalebaran 0,12 persen. Pada 2009 terjadi berubah yaitu selama ramadhan 0,56 persen, pada lebaran 1,05 persen dan pasca lebaran menjadi 0,19 persen. Data pada 2010 menunjukkan inflasi selama Ramadan 0,76 persen, Lebaran 0,44 persen dan pascalebaran 0,06 persen. Fakta ini tidak berubah pada 2011 yaitu inflasi selama Ramadan menjadi 0,67 persen, Lebaran 0,93 persen dan pascalebaran menjadi 0,27 persen.

Belajar dari inflasi musiman yang cenderung rutin ini, ada beberapa aspek yang menjadi perhatian. Pertama, konsumen. Masyarakat sebagai konsumen seharusnya mampu untuk mengendalikan diri. Hal ini tampaknya menjadi kunci utama untuk bisa mengantisipasi kasus inflasi musiman. Artinya, pengendalian tersebut terkait dengan demand dan secara tidak langsung berarti hal ini mereduksi terjadinya impulse buying atau pembelian tidak terencana. Statistik juga menunjukkan bahwa mal dan pusat perbelanjaan cenderung menarik masyarakat dengan beragam pesta diskon sehingga menimbulkan daya tarik pemenuhan keinginan, bukan kebutuhan.

Advertisement

Kedua, pedagang yang dalam hal ini dibedakan antara pedagang sebenarnya dan pedagang yang sekaligus menjalankan aksi sebagai spekulan. Pedagang sebenarnya tidak bisa terlepas dari pasokan dari pedagang besar dengan aspek distribusinya yang terkendali sedangkan spekulan memainkan pasokan dan harga sehingga mempengaruhi supply di pasar. Terkait hal ini, peran pedagang juga sangat penting dalam upaya meminimalisasi kasus inflasi musiman. Pedagang tidak perlu mengambil momen dengan mencari-cari tambahan keuntungan di luar kewajaran.

Ketiga, distribusi. Tidak semua sembako berasal dari daerah terdekat sehingga perlu juga distribusi dari luar daerah. Kelancaran distribusi juga berpengaruh terhadap pasokan dan ketersediaan sembako di pasaran. Kelancaran ini juga dipengaruhi oleh kuantitas pasokan-produksinya sehingga ketika pasokannya dari daerah asal tidak maksimal maka dapat memengaruhi distribusi itu sendiri. Oleh karena itu, ada keterkaitan antara pasokan dari daerah asal dengan distribusi untuk pasokan di pasaran. Kendala dari salah satu rantai ini akan berpengaruh terhadap harga sembako. Dari mata rantai ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk mengawasi jalur distribusi, termasuk memberikan jaminan melalui fasilitas infrastruktur.

Keempat, uang kaget. Yang dimaksud uang kaget adalah tambahan pendapatan, baik dari pembayaran THR, gaji ke-13, bonus atau insentif lainnya yang biasanya diberikan oleh perusahaan–instansi kepada karyawannya. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi daya beli sesaat dan implikasinya terjadi peningkatan pemenuhan keinginan bukan kebutuhan. Oleh karena itu, impulse buying dan perilaku konsumsi berlebih pada Ramadan juga dipengaruhi oleh faktor ini.

Kelima, operasi pasar. Untuk mereduksi terjadinya inflasi musiman, peran pemerintah dan pihak terkait adalah dengan melakukan operasi pasar. Paling tidak, dengan kegiatan operasi pasar, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sembako dengan harga yang relatif lebih murah, meski pada beberapa kasus tidak jarang para spekulan mengerahkan orang-orangnya untuk bisa mendapatkan sembako murah dari operasi pasar. Oleh karena itu, pemerintah harus mewaspadai inflasi musiman dan bisa mengantisipasinya sedari dini karena polanya cenderung sama.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif