Kolom
Minggu, 10 September 2023 - 09:40 WIB

Menonton Film Secara Holistik

Ratmurti Mardika  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ratmurti Mardika (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Rekan  sejawat mengirimi saya sebuah berita tentang industri film di Kota Solo yang “mandek”. Rupanya pemikiran itu muncul dari orang muda yang berbicara dalam sebuah forum yang membicarakan industri film di Kota Solo.

Sebagai orang perfilman, saya tergelitik untuk menanggapi pemikiran itu walaupun sebenarnya di forum yang sama tiga kolega saya sudah menanggapi dengan baik dan presisi terhadap hal yang dianggap mandek tersebut.

Advertisement

Mengupayakan Ekosistem Film di Solo Bisa Tumbuh adalah judul berita yang bertaut dengan berita industri film mandek tadi. Apakah benar industri film di Soloraya mandek? Bagaimana mengukur kemandekannya?

Tentu tidak cukup satu tulisan untuk menjawab pertanyaan ini, tapi akan baik bila kita melihat persoalan ini dari beberapa perspektif. Kita harus berhati-hati membicarakan industri dan produksi film dalam satu tarikan napas.

Kerja produksi merupakan satu fragmen dari industri. Masih banyak irisan lain sampai kita bisa menikmati film dengan makan kudapan di ranah publik atau di rumah saja.

Advertisement

Industri yang Mana?

Bila yang dimaksud mandek adalah industri besar, saya rasa malah belum pernah ada perusahaan film atau rumah produksi film yang mempekerjakan lebih dari 100 orang (industri besar berdasar klasifikasi Badan Pusat Statistik atau BPS) di Kota Solo.

Produksi film skala besar di Soloraya ada beberapa. Kita bisa mencatat film Srimulat: Hil yang Mustahal, Yo Wis Ben, Sobat Ambyar, dan beberapa film besar akhir-akhir ini. Itu hanya produksinya. Perusahaan yang menaungi tetap dari Jakarta.

Industri film dengan klasifikasi sedang mungkin hanya ada beberapa, itu pun hanya saat proses produksi. Biasanya mempekerjakan insan film dengan kontrak pendek per proyek. Terlalu sumir bila hal itu dihitung sebagai industri sedang atau besar.

Nah, kalau industri film kecil dan rumahan banyak. Dengan pengamatan sehari-hari saja kita bisa melihat karya-karya komunitas pelajar dan profesional yang terdistribusi secara mandiri (daring dan luring) maupun di festival (dalam dan luar negeri).

Advertisement

Pada intinya, industri film di Kota Solo memang masih ditopang oleh tangan-tangan warga yang bergerak dalam klasifikasi industri kecil dan rumahan.

Untuk memudahkan pengamatan kita pada perfilman kota ini, mari kita pinjam metode kerja orang-orang film (produser); pra-produksi, produksi, pasca-produksi, distribusi, dan ekshibisi.

Dari sisi pra-produksi kita biasa membahas tentang ide, visi, bujet, rencana jangka pendek, menengah, dan panjang, hingga merangkul siapa insan yang akan terlibat di depan dan belakang layar. Dalam pengamatan pribadi tentang proses pra-produksi di Kota Solo ini, saya tak setuju bila dikatakan mandek.

Secara sempit saja, perusahaan dan komunitas yang saya kelola pada bulan-bulan ini menerima beberapa proposal film, naskah, dan rencana produksi dari kalangan pelajar hingga profesional.

Advertisement

Satu modal penting industri (juga ekonomi kreatif) adalah sektor pendidikan. Selain mengajar sinematografi di kampus, tahun ini saya dan teman-teman dirangkul beberapa SMK untuk membahas kurikulum baru, kurikulum film yang agaknya dipisahkan dengan broadcasting.

Kurikulum SMK mempersiapkan alumni untuk langsung terjun ke industri perfilman dengan kompetensi yang baik. Banyak alumni SMK yang lulus sertifikasi perfilman Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Dari sisi produksi malah yang paling mudah terlihat, apalagi yang berkarya di genre film pendek, film dokumenter pendek, atau film seri untuk dilempar ke ranah online.

Dengan kata kunci “Solo” saja, kita akan mudah menemukan film hasil produksi warga Kota Solo dengan berbagai bentuk dan mutu, baik produksi pribadi, komunitas, atau profesional (perusahaan).

Advertisement

Hal ini terus mengalami perkembangan setidaknya dalam lima tahun terakhir. Dari sisi distribusi dan ekshibisi memang agak lemah, tapi kita boleh mencatat beberapa acara perfilman di Kota Solo; FFM, Sodoc, SAK, SFF, PFS, Comfifest, dan yang lain.

Kerja ini hanya untuk industri film kecil (komunitas dan rumahan), mereka biasa melakukan distribusi dan ekshibisi secara mandiri pula. Jalur distribusi dan ekshibisi film bioskop tak perlu kita bahas. Mereka hampir selalu ramai saat memutar film-film box office.

Kalau mau mengakui kemandekan, kita bisa mencatat bahwa kita belum memiliki ruang pemutaran film yang optimal yang bisa diakses dengan mudah untuk pemutaran film karya para pelaku industri kecil perfilman.

Tempat kita bisa menonton film dengan proyektor dan tata suara yang baik serta berdiskusi tentang film untuk kemajuan wacana dan peningkatan mutu produksi film.

Bulan lalu saya membahas isu ini saat menjadi narasumber diskusi distribusi dan ekshibisi film pendek yang diadakan teman-teman dari Universitas Muhammadiyah Surakarta di Baluwarti, Kota Solo.

Asumsi kemandekan ini mungkin karena industri dan kesenian agaknya bukan dua semesta yang bisa mudah bersanding dalam satu konstelasi. Industri yang kental dengan aroma keterburu-buruan dan kecepatan harus bersatu dengan kesenian yang memerlukan kedalaman, proses panjang, ketelitian, untuk membuat karya yang tak hanya indah, namun juga kaya makna.

Advertisement

Membangun literasi kesenian tentu membutuhkan waktu dan usaha. Di industri kita bisa memahami barang harus cepat jadi, cepat dijual, cepat laku, dan roda perekonomian cepat berputar. Tantangannya adalah industri film merupakan sebuah entitas kesenian yang luas.

Prosesnya mencakup menulis cerita, membuat gambar dan suara, membuat pakaian dan make up, membangun properti, menyunting efek audio visual, sampai membuat poster dan merchandise film yang membutuhkan seniman dengan sentuhan kreativitas masing-masing. Hal ini perlu modal dan sumber daya yang banyak pula.

Umur industri sinema kini sudah lebih dari 100 tahun dengan pasang surut. Mungkin memang industri dan kesenian ini memiliki cara dan metode sendiri untuk berjalan bersama mempertahankan hidup.

Menonton

Kita biasa menggunakan diksi menonton (watch) alih-alih dari melihat (see) untuk film karena saat menonton film kita tak sekadar melihat, namun perlu kedalaman memandang dan mendengar, fokus dan teliti, perlu wahana khusus, perlu sangu wacana dan perspektif.

Sama halnya menonton film, menonton industri film di kota ini tak bisa sepintas lalu. Kurang bijak bila kita menggunakan satu perspektif untuk mengukur perkembangan (atau penyusutan) film di kota kita ini.

Dalam berita tentang industri film Solo yang “mandek” disebut bahwa salah satu faktor industri film di Kota Solo mandek adalah literasi perfilman di Kota Solo masih rendah. Ini sesederhana pemahaman bahwa memproduksi film memakan biaya besar yang nihil di masyarakat.

Walau tak sepenuhnya setuju, asumsi ini saya dukung. Terutama literasi perfilman untuk para investor dan pihak-pihak yang bergerak di sektor permodalan. Di kultur penonton yang mayoritas masih suka menonton film gratis (secara halal atau bajakan) kita memang perlu cara lain supaya warga mengapresiasi film secara layak.

Benar kata kolega-kolega saya bahwa membangun ekosistem yang sehat adalah satu solusi mahapenting dan kini sudah berjalan di tangan-tangan para pemangku kepentingan film ini. Dengan hal tersebut, semoga akan ada banyak cara menyelesaikan masalah-masalah industri perfilman serta meningkatkan daya tawar film.

Peningkatan literasi dan ekosistem perfilman yang sehat semoga bisa membuat investor tak ragu berbisnis film walau dari industri kecil sekalipun hingga nanti bisa berkembang menjadi industri besar yang berkelanjutan, yang menyejahterakan warga Kota Solo.

Bila dalam nada positif kita bilang mandek untuk memotivasi para pemangku kepentingan saya rasa nanggung, alih-alih “mandek” saya akan memilih kata “mundur”. Bukankah di film kita selalu menghitung mundur sebelum pertunjukan dimulai?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 September 2023. Penulis adalah pembuat film dan dosen sinematografi di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif