Kolom
Selasa, 21 Agustus 2012 - 08:07 WIB

MIMBAR MAHASISWA: Makna Lebaran Kian Terkubur

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdur Rohman, Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. (FOTO: Istimewa)

Abdur Rohman, Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. (FOTO: Istimewa)

Istilah ”Lebaran” dipopulerkan oleh orang Betawi yang artinya ”selesai”. Orang Jawa menyebutnya ”Syawalan”, dari kata dasar ”Syawal”. Atau juga sering dipakai istilah ”bakda”, yang artinya juga selesai. Mungkin istilah ini maksudnya adalah sebagai selesainya masa puasa.

Advertisement

Kata ”puasa” berasal dari bahasa Sanskerta, upawasa, yang artinya menutup atau tidak mengeluarkan wasa. Wasa adalah kekuatan/kemampuan yang ada pada seseorang.

Lebaran dan puasa bukan hanya berdimensi religi namun juga berdimensi sosial-budaya-politik. Lebaran sudah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi umat muslim di negeri ini. Bahkan umat beragama lain pun juga larut dalam euforia perayaannya. Perayaan Lebaran sangat riuh. Warga negeri ini dengan suka cita menyambut dan menanti kedatangannya.

Advertisement

Lebaran dan puasa bukan hanya berdimensi religi namun juga berdimensi sosial-budaya-politik. Lebaran sudah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi umat muslim di negeri ini. Bahkan umat beragama lain pun juga larut dalam euforia perayaannya. Perayaan Lebaran sangat riuh. Warga negeri ini dengan suka cita menyambut dan menanti kedatangannya.

Kita dapati demi Lebaran para perantau rela mudik ke kampung halaman mereka. Mudik kalau boleh saya menebak, mungkin berasal dari bahasa Arab dho’a yang artinya hilang dan mudli’ yang artinya orang yang menghilangkan, orang yang kehilangan.

Menjelang Lebaran, orang berbondong-bondong dari perantauan pulang menuju kampung halaman mereka karena selama setahun mereka merasa kehilangan. Kehilangan keluarga, tetangga, kampung dan asal usul mereka. Mereka pulang untuk mencari apa yang selama ini hilang demi meraih ambisi-ambisi di perantauan.

Advertisement

Pada hari Lebaran orang dengan mudah saling maaf-memaafkan dengan sesamanya. Bahkan untuk agenda ini, ada acara tersendiri. Diadakan pertemuan. Orang menyebut pertemuan itu dengan istilah halabihalal.

Halalbihalal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, halalbihalal berarti maaf-memaafkan saat Lebaran. Tapi belakangan lebih menyempit. Halalbihalal lebih seriang diartikan sebagai pertemuan yang digelar setelah Lebaran sebagai sarana untuk saling memaafkan (Qaris Tajudin, 2006).

Advertisement

Memang halalbihalal adalah salah satu perayaan Lebaran yang hanya ada di Indonesia. Bahkan istilah yang berasal dari bahasa Arab itu hanya dapat kita temukan di kamus bahasa Indonesia. Di kamus Arab istilah itu tidak mungkin dapat kita temukan kecuali dalam pecahan kata per kata. Tapi, pernahkah kita berpikir bagaimana sejarahnya dan apa esensi dari acara ini?

Halalbihalal adalah racikan para pendiri negeri ini yang bertujuan untuk menghalalkan perbedaan tapi kukuh dalam kebersamaan. Istilah halalbihalal muncul pada 1946 yang dilatarbelakangi peristiwa pada 1945.

Saat itu Belanda masuk lagi ke Indonesia dan ingin menjajah dengan menebeng rombongan tentara sekutu. Belanda adalah musuh yang nyata. Saat itu keadaan memprihatinkan. Bangsa ini terjepit.

Advertisement

Pada 1946, bertepatan Ramadan, sejumlah tokoh menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia pada Lebaran yang jatuh pada Agustus itu mengadakan perayaan Lebaran dengan mengundang seluruh komponen revolusi yang berpendirian politik beraneka macam dan kedudukan mereka dalam masyarakat pun berbeda-beda.

Harapannya agar Lebaran menjadi wahana saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman. Perbedaan jangans sampai dimaknai sebagai laknat, melainkan rahmat, seraya sadar bahwa musuh yang nyata adalah Belanda yang kembali dan hidup rakyat  jangan dibiarkan tersia-sia oleh lilitan kesusahan akibat revolusi.

Doa mereka adalah semoga di hari kemenangan, Tuhan membimbing ”orok republik” sampai di ujung menang. Lebaran menjadi ajang potensi menjalin solidaritas nasional (JJ Rizal, 2006).

Kemudian pada saat itu, di Istana Negara Jogja  diselenggarakan halalbihalal sebagai perayaan Lebaran dan juga sebagai tonggak kukuhnya semangat Jogja ’45. Dari semangat Jogja ’45 inilah para pendiri bangsa mampu mempertahankan kemenangan tertinggi sebagai bangsa yang merdeka.

Dari peristiwa itu, sejarah mencatat halalbihalal sebagai acara yang penuh makna. Acara tersebut memperkokoh negeri ini. Yang menjadi pekerjaan kita saat ini, mampukah rakyat serta pemerintah memetik buah dari tradisi yang berperan menaikkan rasa solidaritas bangsa Indonesia dalam konteks sosial-politik-budaya tersebut?

Mungkin harapan dari pertanyaan di atas akan sulit kita wujudkan. Tradisi Lebaran saat ini tinggal agenda untuk bersolek dengan pakaian baru, pemborosan dan keriuhan yang hampa makna. Lebaran hampa kemenangan sebab solidaritas warganya semakin renggang. Bangsa ini menjerit.

Pemimpin bangsa justru lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sibuk memikirkan halalbihalal partai politik masing-masing. Mereka terlenakan hingga lupa membangunkan makna tradisi Lebaran dalam diri Indonesia yang masih haus akan kemenangan.

Mudah-mudahan para pemimpin bangsa ini serta rakyatnya lekas sadar sehingga dapat mengambil makna Lebaran yang sudah menyejarah dan penuh makna tersebut. Selamat merayakan Idul Fitri 1433 Hijriah dan selamat menyelami makna tradisi Lebaran.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif