Kolom
Rabu, 8 Maret 2023 - 09:20 WIB

Minyakita Bukan Minyak Kita

Adib Muttaqin Asfar  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu  hari di sebuah swalayan besar di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, setahun lalu, sekelompok ibu-ibu muda menyerbu rak etalase minyak goreng. Mereka mengambil belasan kemasan minyak goreng yang masih ada hingga tak bersisa.

”Angkut semua!” ujar salah seorang di antara mereka sambil menahan volume suara. Minyak goreng dalam kemasan dua liter itu dibagi dalam beberapa keranjang belanja guna mengakali aturan pembatasan pembelian.

Advertisement

Tahun lalu fenomena serupa jamak melanda pusat-pusat perbelanjaan. Konsumen berlomba-lomba mendatangi toko modern hanya untuk membeli minyak goreng. Pemerintah menyebut itu panic buying dan membatasi pembelian minyak goreng maksimal dua kemasan berukuran dua liter.

Mereka adalah pihak pertama yang dianggap berdosa membuat minyak goreng langka kala itu. Pada awalnya pemerintah selalu bernarasi stok minyak goreng ada dan melimpah. Kesimpulannya simpel: jika terjadi kelangkaan, penyebabnya adalah panic buying.

Yang disalahkan selalu konsumen. Menyalahkan konsumen adalah pilihan tidak berisiko. Belakangan, Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi, mengakui ada mafia. Ada masalah dalam distribusi, pelanggaran aturan, dan sebagainya.

Advertisement

Beberapa waktu kemudian, Kejaksaan Agung mengungkap mafia yang melibatkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan saat itu, Indrasari Wisnu Wardhana. Mafia yang diungkap Kejaksaan Agung adalah mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang melanggar ketentuan.

Ada tiga wakil korporasi yang terlibat, yaitu Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley M.A., dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.

Hanya para pejabat korporasi itu yang dijerat hukum. Korporasi-korporasi tetap bebas. Pemerintah hanya ”menghukum” mereka dengan larangan ekspor sementara yang berlaku untuk semua pelaku industri sawit.

Efektifkah? Tidak. Masalah minyak goreng belum selesai hingga kini. Harga minyak goreng dalam kemasan tidak pernah turun ke level sebelum 2021 atau saat konsumen bisa membeli seharga Rp14.000 per liter.

Advertisement

Pemerintah hanya mengubah strategi, membuat produk “baru” bernama Minyakita yang adalah minyak curah dalam kemasan sederhana. Inilah minyak goreng yang harganya dijanjikan tak pernah lebih dari Rp14.000 per kilogram.

Logika sederhananya, biarkan saja harga minyak goreng dalam kemasan naik semaunya. Bagi yang tidak mampu membayarnya, belilah Minyakita. Kini Minyakita langka dan harganya melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Menurut pemerintah,  konsumen penyebabnya.

“Minyakita terlalu sukses, sehingga semua orang carinya Minyakita, padahal [Minyakita] untuk ibu-ibu di pasar tradisional yang kemampuannya kurang,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Rabu (1/3/2023).

Makna Produksi

Advertisement

Menyalahkan konsumen adalah cara beretorika paling gampang untuk menjawab masalah, tetapi dalam prinsip industri modern konsumen adalah variabel yang tidak pernah berdiri sendiri. Kebutuhan konsumen kerap kali diabaikan dalam penghitungan produksi.

Menurut filsuf klasik, memproduksi adalah usaha manusia menghasilkan sesuatu ketika yang tersedia di alam tak lagi mencukupi. Setiap produksi pasti melibatkan aktivitas yang bernama “bekerja”.

Karl Marx mengatakan bekerja adalah tindakan manusia membuat dirinya nyata atau menentukan eksistensinya. Bekerja tidak terbatas pada aktivitas ekonomi, tetapi juga daya kreatif manusia.

Di situlah muncul nilai guna (use value) produk yang dihasilkan dari proses produksi. Setelah industrialisasi, nilai guna produk berubah menjadi nilai tukar (exchange value). Barang hasil produksi berubah menjadi komoditas di pasar.

Advertisement

Ketika barang diproduksi massal sejak revolusi industri, konsumsi atau kebutuhan konsumen mulai ditinggalkan dalam penghitungan. Barang tak lagi diproduksi berdasarkan kebutuhan konsumen, melainkan kapasitas produksi industri.

Kembali ke persoalan minyak goreng, produksi tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan konsumen khususnya di dalam negeri. Seperti teori di atas, berapa pun volume produksi sawit, semuanya harus terserar pasar yang paling menguntungkan.

Produsen sawit Indonesia pernah menikmati puncak produksi minyak sawit pada 2017. Saat itu, volume produksi minyak sawit Indonesia mencapai 47,1 juta ton. Mereka menghadapi persoalan besar, yakni larangan pembelian minyak sawit dari Indonesia melalui aturan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa pada 2017.

Melalui RED II, Uni Eropa menetapkan sawit sebagai tanaman berisiko tinggi pemicu deforestasi. Uni Eropa berencana menghapuskan penggunaan minyak sawit secara bertahap sebagai bahan baku biodiesel.

Di tengah gugatan terhadap kebijakan Uni Eropa itu melalui World Trade Organization (WTO) Indonesia memberikan obat mujarab bagi ancaman terhadap keberlangsungan industri sawit yang telanjur besar itu.

Ketika minyak sawit Indonesia ditolak Uni Eropa, pemerintah Indonesia yang memulai produksi biodiesel dengan insentif besar bagi para produsen. Korporasi sawit mendapat subsidi besar dari dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sehingga mengalihkan sebagian CPO untuk produksi biodiesel.

Advertisement

Berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), produksi biodiesel Indonesia menanjak. Pada 2013 produksi biodiesel hanya 2,5 juta ton. Pada 2022 volumenya melesat menjadi 10,59 juta ton.

Penggunaan minyak sawit untuk keperluan pangan–seperti produksi minyak goreng, margarin, mentega, dan sejenisnya–cenderung turun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, penggunaan minyak sawit untuk keperluan pangan mencapai 9,3 juta metrik ton.

Pada 2022 volumenya berkurang menjadi 8,2 juta metrik ton atau jauh lebih kecil daripada volume produksi biodiesel. Ini sejalan dengan kelangkaan stok dan melejitnya harga minyak goreng sejak akhir 2021. Pada 2022, pemerintah turun tangan mewajibkan pengusaha memproduksi minyak goreng untuk kebutuhan domestik setelah krisis selama berbulan-bulan.

Hingga kini pemerintah tak pernah mengakui pengalihan penggunaan minyak sawit ke produksi biodiesel menyebabkan kelangkaan minyak goreng, tetapi pasti masyarakat perlu sadar kebutuhan minyak goreng tak lagi menjadi prioritas utama.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif