Kolom
Rabu, 10 Mei 2023 - 09:35 WIB

Nilai Spiritual di Ruang Digital

Ahmad Riyadi  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Riyadi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Suatu  ketika seorang sahabat mengatakan bahwa satu menit sebelum bangun tidur lima jari selalu mencari gawai. Tepat saat bangun tidur, gawai itu sudah di genggaman dan digunakannya.

Entah berlebihan atau tidak, perumpamaan ini nyaris tepat dalam kehidupan manusia dewasa ini. Saking karib dan dekatnya, sebelum dan sesudah bangun, gawai sudah harus menyala.

Advertisement

Perilaku kita selalu terhubung melalui Internet dengan medan aktivitas di ragam platform digital di berbagai aplikasi seperti Whatsapp, Skype, Facebook, Youtube, game online, dan sebagainya dalam wujud percakapan, permainan, streaming video dan audio.

Corak perilaku ini oleh para pakar disebut sebagai revolusi sejarah peradaban manusia, yakni perubahan radikal dari homo sapiens ke homo digitalis. Digitus dalam bahasa Latin adalah jari-jari.

Nyaris semua aktivitas terdisrupsi dan memunculkan banalitas serta reduksi di mana-mana. Beragam fenomena menunjukkan gejala disrupsi ini. Termutakhir, perilaku turis di Bali, atau kemudian Bima di Lampung, tak lekang dari fasilitas digital itu yang menimbulkan keonaran, sekaligus pengeroyokan sosial, termasuk juga dukungan berantai hingga kecaman menyesakkan di media sosial.

Advertisement

Platform digital tidak lagi membutuhkan tubuh sebagai entitas yang utuh. Representasi virtual telah mereduksinya. Keonaran dan banalitas tak perlu lagi dengan tatap muka yang tegas dan berani atau dengan gerak tubuh yang asli.

Cukup komentar, like, repost, atau hal lainnya sebagai representasi jawaban dan tanggapan. Terkait wujud kebenaran individu masing-masing yang melakukannya, kita tidak mengetahui pasti.

Segala dampak yang terjadi di dalam dunia digital, seperti sudah disampaikan di atas, rasanya tepat apabila ditarik ke dalam ruang-ruang transendental. Terlebih sebagai sikap awas dan reflektif.

Sebulan penuh kita sudah melaksanakan ibadah puasa Ramadan—baru berlalu beberapa waktu. Satu ibadah yang sarat dengan nilai-nilai kebijaksanaan. Dalam ibadah puasa, misalnya, kita dituntut menahan rasa lapar dan haus, terlebih menahan nafsu duniawi. Nilai-nilai ini bisa menjadi rujukan bagi laku sosial kita.

Advertisement

Adalah benar bahwa ritual keagamaan kita mewarnai ruang digital, mewarnai media sosial. Ramai-ramai unggahan tentang Salat Tarawih, mengaji, buka bersama hingga silaturami di sana sini.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ruang digital ikut serta menjadi arena dakwah, aktivitas yang bisa menyejukkan dan saling menguatkan keimanan. Tetapi, jauh dari itu, puasa tetaplah satu ibadah transendental.

Puasa tidak bisa diukur dari berapa tanggapan seperi jumlah like, repost, koin. Dan, bahkan, justru kita mereduksi nilai-nilai ibadah puasa dan kerap menunjukkan gaya konsumtif dan pamer.

Inilah yang harus menjadi refleksi kehadiran kita setelah sebulah beribadah puasa untuk menjadikan ruang digital lebih arif atau sebaliknya. Aktivitas di ruang digital ini tidak serta-merta menujukkan kebijasanaan, bahkan cenderung mengaburkan norma syariat seperti riya dan pamer (flexing).

Advertisement

Keinginan memperlihatkan ritualitas keagamaan yang dilakukan sehingga menujukkan dirinya takwa, rajin beribadah, silaturahim jalan terus, bukan lagi dianggap laku yang bisa mereduksi nilai moralitas ibadah.

Habitus ini sengaja dilanggengkan oleh dunia digital melalui alat yang terbatas sekaligus kefanaannya yang menggoda. Habitus yang mengingatkan mengenai nasib manusia di laman digital.

Nasib—mungkin lebih tepatnya—yang harus diterima manusia yang tidak bisa diprediksi atau dikalkulasikan sebelumnya. Inilah yang menurut F. Budi Hardiman, dengan mengutip Martin Heidegger, manusia tidak terlempar ke dunia, tetapi juga terlempar di world wide web dengan segala nasib yang mengikutinya, yang tidak bisa dikalkukasi sebelumnya (Aku Klik maka Aku Ada, 2021).

Autentisitas

Ibadah puasa, termasuk ritual yang dilakukan dalam dunia digital, tidak lagi menujukkan autentisitas ibadah. Melainkan sesuatu yang menyedihkan. Lebih-lebih simulakra.

Advertisement

Fetisisme terhadap bayangan-bayangan semua ibadah yang membutuhkan respons virtual melalui emoticon, koin, like, dan bentuk fitur lainnya, dianggap sebagai bentuk spiritualitas manusia.

Mungkin memang demikian nasib manusia di jagat digital dalam melaksanakan aktivitas ritual puasa–mungkin juga yang lain. Dipaksa oleh keadaan atau alat-alat dengan turunan fiturnya yang tidak bisa mereka hindari. Terbiasa dengan aktivitas virtual yang semu dan fana.

Pelan-pelan lalu membenarkan dan menganggap benar dan nyata, meskipun tak terlihat wujud keberadannya, hanya tampilan dan endapan di layar kaca dan suara-suara di telinga.

Kabarnya, sebagaimana dicatat We Are Social (Dataindonesia.id, 2023), jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 212,9 juta orang pada Januari 2023. Nyaris 77% dari populasi Indonesia telah menggunakan Internet.

Tren yang terus mengalami peningkatan dan menjadikan Indonesia sebagai pengguna Internet kedelapan terbesar di dunia. Boleh jadi data itu akan menggenapkan keberlangsungan nasib manusia yang tidak terduga dalam dunia digital, dengan keonaran dan banalitas yang melingkarinya.

Kita semua patut awas bahwa aktivitas digital menyediakan medan yang tidak kita ketahui dan tidak bisa kita batasi, apalagi masyarakat kita akan menghadapi ritual politik yang tidak kalah sesaknya.

Advertisement

Saling unjuk diri untuk kontestan pemilihan umum—khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden—yang didukung, termasuk juga menjatuhkan lawan. Dengan beragam cara, dengan dalih apa pun, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan nalar.

Harapannya, tentu nilai-nilai ibadah puasa itu masih melekat dalam laku kita. Nilai-nilai yang mungkin bisa menjaga diri kita menahan nafsu untuk melakukan keonaran yang konyol dan merugikan.

Tentu ujungnya agar dalam bentuk apa pun persaingan dalam pemilihan umum, seketat apa pun, kita mempunyai kehendak untuk menahan diri. Puasa mempunyai kekuatan yang bisa melumerkan nilai-nilai bijak yang bisa diaktivasi dalam kehidupan sehari-hari, di realitas sosial maupun di dalam dunia digital.

Mungkin, tanpa literasi digital yang masif, benar-benar mendudukkan manusia dalam keterlemparan yang kian profan, tanpa sakralitas, tanpa sentuhan spiritual,  dan tanpa laku yang bijaksana serta arif.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 April 2023. Penulis adalah asisten komisioner KPI Pusat dan alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif