Kolom
Minggu, 29 Oktober 2023 - 20:30 WIB

NU di Pusaran Pemilu 2024

Abdul Jalil  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran penting dalam pertarungan elektoral di Pemilu 2024. Setidaknya itu yang terlihat di permukaan. Setiap calon presiden dan partai politik pengusung mencoba mengasosiasikan partai dekat dengan para ulama dan warga NU.

Calon presiden yang diusung rajin bersafari politik di pondok-pondok pesantren hingga di rumah kiai untuk minta doa dan mendapatkan restu maju sebagai kontestan Pemilu 2024.

Advertisement

Selain rajin bersafari politik di pondok pesantren, partai politik pengusung juga jauh-jauh hari telah memasukkan nama-nama kader NU sebagai calon wakil presiden.

Berbagai lembaga survei akhir-akhir ini sangat ramai melakukan jejak pendapat dengan memasukkan variabel NU. Seperti calon presiden-calon wakil presiden pilihan warga NU, suara warga NU condong ke calon presian mana, dan pertanyaan lain yang ditujukan untuk warga NU.

Setelah penjajakan yang dilakukan dengan standar internal partai pengusung, akhirnya dideklarasikan calon wakil presiden dari masing-masing koalisi. Paling awal mendeklarasikan pasangan yaitu Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan salah satu kader NU.

Advertisement

Deklarasi berikutnya Ganjar Pranowo yang dipasangkan dengan Moh. Mahfud Md., Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang juga tokoh NU dari Jawa Timur.

Selanjutnya Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabumin Raka, putra Presiden Jokowi yang juga Wali Kota Solo.  Saya yakin, masing-masing koalisi dari tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden itu memiliki tim pemenangan yang dekat dengan kalangan NU.

Kenapa NU sangat menarik bagi perpolitikan di Indonesia? Para pemburu suara menyasar NU karena jumlah massa yang sangat besar. Data terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2023 menyebut warga yang mengaku sebagai anggota NU sebanyak 20% dari total penduduk Indonesia.

Jumlah itu kalau dikonversi menjadi angka riil mencapai 40 juta orang. Nahdliyin tersebar di hampir seluruh Indonesia, terutama di wilayah-wilayah perdesaan.  Para politikus juga sangat memahami suara nahdliyin sangat berperan besar dalam pemenangan suatu kontestasi politik.

Advertisement

Kekuatan massa NU memang sejak lama diincar para politikus. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pemilihan presiden pada 2019 menang dengan mudah dari lawan-lawannya. Menurut para pengamat politik dan sejumlah lembaga survei, kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin dipengaruhi tiga hal, pemilih NU, pemilih Jawa, dan pemilih minoritas.

Keberhasilan merebut suara nahdliyin dengan menggaet tokoh NU tampaknya juga menjadi role model para kandidat presiden peserta Pemilu 2024. Setidaknya ada dua calon presiden yang mengusung tokoh NU sebagai calon wakil presiden, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Para kandidat presiden dan wakil presiden serta tim pendukung juga gencar melakukan propaganda dengan narasi-narasi dekat dengan tradisi NU. Hari Santri Nasional menjadi arena mendekatkan diri dengan kalangan nahdliyin.

Di media sosial juga ramai perbincangan saat Anies-Cak Imin mengunggah video tentang tiga fungsi sarung. Video ini langsung mendapat respons beragam dari warganet. Ini menjadi salah satu kampanye soft untuk mendekatkan diri dengan kalangan nahdliyin.

Advertisement

Sarung menjadi salah satu identitas warga NU. Pasangan ini sukses mendapatkan engagement di media sosial karena berkampanye dengan cara yang lebih segar dan materi membumi di tengah masyarakat.

NU dan Politik

Politik praktis memang bukan hal baru di kalangan NU. Organisasi yang lahir pada 31 Januari 1926 itu memang bukan organisasi politik, melainkan organisasi keagamaan.

Meski demikian, dimensi politik dalam aktivitas NU cukup dominan. Kelahiran  NU menggugah spirit warga untuk terus berjuang melawan penjajahan dan meninggikan cinta tanah air yang termaktub dalam Nahdlatul Wathan.

Pada era ini jelas politik yang diperjuangan kalangan NU adalah politik kebangsaan. Keterlibatan NU dalam dunia politik praktis saat terlibat di Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Advertisement

Pada saat kongres ke-16 NU di Purwokerto pada 1946, salah satu putusan adalah supaya nahdliyin bergabung ke Masyumi. Berbagai konflik dan perbedaan sudut pandang politik akhirnya NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik.

Keputusan itu tertuang saat muktamar ke-19 NU di Palembang pada 1952.  Tiga tahun setelah mendeklarasikan diri sebagai partai politik, NU berkontestasi sebagai peserta pemilu pada 1955.

Meski baru pertama ikut pemilu dengan bendera sendiri, NU mampu meraup banyak suara dan  menempati posisi empat besar dalam jumlah perolehan suara terbanyak.

Dalam penelitian Idwar Anwar (2020), NU bisa sukses dalam pemilu 1955 karena ada tiga faktor yang memengaruhi, yaitu ulama, pesantren, dan politikus yang diusung. Provinsi yang menjadi tulang punggung suara NU pada Pemilu 1955 adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Petuangan politik praktis NU tidak hanya itu. Pada 1973 NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembanunan (PPP) atas desakan Orde Baru. Karena ada konflik internal, akhirnya dimunculkan gagasan  kembali ke khittah NU.

Puncaknya saat muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984 yang menghasilkan keputusan Khittah NU 1926. Salah satu poin adalah NU tidak lagi terikat dengan organisasi poltik dan organisasi kemasyarakatan manapun.

Advertisement

Melihat perjalanan panjang tersebut, tampaknya posisi NU jelas dalam perpolitikan di Indonesia. NU tidak di mana-mana, tetapi ada di mana-mana. Artinya NU sebagai organisasi tidak memihak salah satu partai politik, tetapi kadernya dibebaskan untuk berpolitik sesuai preferensi masing-masing.

Meski demikian, banyak politikus yang kini hanya memanfaatkan suara warga NU untuk mendulang elektoral semata. Seperti realitas politik saat ini, masing-masing kandidat presiden dan wakil presiden maupun politikus mencoba mendekat dengan NU untuk meraup suara, namun setelah jadi kebanyakan lupa terhadap aspirasi nahdliyin.

Para politikus itu secara rutin ke rumah kiai untuk mencari dukungan. Para politikus tahu salah satu karakter warga NU adalah tawadhu atau manut terhadap kiai atau ulama.

Banyak penelitian yang membuktikan pengaruh kiai terhadap pilihan politik para santri. Salah satunya penelitian Camilla Y. Madani (2021) yang menunjukkan kiai di salah satu pondok di Pacet, Mojokerto, memengaruhi perilaku memilih alumni santri pada Pemilu 2019.

Fakta ini membuktikan kekuatan NU tidak berubah sejak NU menjadi partai politik pada Pemilu 1955, yaitu ada pada kiai dan pesantren. Jadi sangat jelas bahwa motif para politikus berdekatan dengan pesantren dan kiai saat mendekati Pemilu 2024 adalah untuk kebutuhan menggaet suara.

Sebenarnya itu wajar karena untuk menjadi pemenang dalam pemilu harus bisa mendapatkan suara terbanyak, namun sebagai warga NU garis kultural, saya meminta supaya basis NU tidak hanya dijadikan komoditas politik pendulang suara.

Setelah berhasil mendapatkan kekuasaan, terus lupa terhadap konstituen yang telah diberi janji manis kampanye. Begitu juga untuk calon presiden yang berhasil melenggang ke istana kepersidenan dengan bertumpu suara NU.

Jangan buta dan tuli saat nahdliyin mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Jangan sampai massa NU hanya dijadikan batu loncatan dalam pemilu, tetapi lupa saat berkuasa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif