Kolom
Rabu, 8 Februari 2023 - 22:17 WIB

Obrolan Sekenanya Soal Kekuasaan

Rudi Hartono  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tuntutan  kepala desa agar masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun dari sebelumnya enam tahun dalam satu periode menjadi perbincangan di warung-warung kopi hingga pos ronda.

Yuh, saiki kabeh pengin langgeng dadi pejabat, termasuk kades. Kira-kira kenek apa uwong ki terobsesi karo kekuasaan ya? [Sekarang semua ingin langgeng jadi pejabat, termasuk kades. Kira-kira kenapa orang itu terobsesi dengan kekuasaan ya?],” kata seorang teman.

Advertisement

Uwong pengin nggayuh kekuasaan ki ya amarga iku wis dadi hasrat manungsa sing paling mendasar. Uwong urip iku mesti duwe pepenginan menguasai sesuatu. Obsesi kuwi lagi bisa ilang yen manungsa mati [orang ingin meraih kekuasaan karena itu sudah menjadi hasrat manusia paling mendasar. Selama orang masih hidup pasti ingin menguasai sesuatu. Obsesi atas kekuasaan itu hilang kalau manusia sudah mati],” kata saya.

Obsesi atau hasrat meraih kekuasaan memang menjadi sifat dasar manusia. Orang memang harus memiliki kekuasaan, setidaknya kekuasaan atas diri sendiri. Kekuasaan atas diri sendiri untuk mengendalikan atau mengontrol diri yang terlalu ingin menguasai sesuatu atau ingin melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan norma.

Advertisement

Obsesi atau hasrat meraih kekuasaan memang menjadi sifat dasar manusia. Orang memang harus memiliki kekuasaan, setidaknya kekuasaan atas diri sendiri. Kekuasaan atas diri sendiri untuk mengendalikan atau mengontrol diri yang terlalu ingin menguasai sesuatu atau ingin melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan norma.

Untuk menggerakkan anggota badan saja kita harus menguasai diri sendiri. Ketika kekuasaan atas salah satu anggota atau bagian tertentu dari badan tak lagi ada, kita tak bisa lagi menggerakkan anggota atau bagian tertentu dari badan itu.

Dalam dimensi religiositas, setiap individu dituntut mampu mengendalikan hawa nafsu. Individu mampu mengendalikan nafsu-nafsu karena memiliki kekuasaan atas diri sendiri. Ketika kekuasaan atas diri sendiri menipis atau lenyap sama sekali, individu mudah mengucapkan sesuatu yang tak pantas (keluar dari norma umum), menyakiti individu lain, atau melakukan hal yang berkonsekuensi negatif (dalam dimensi religiusitas maupun duniawi).

Advertisement

Kekuasaan sangat lekat dengan manusia. Tatkala menjelang ajal sekalipun, manusia masih menggunakan kekuasaannya dengan memberi wasiat kepada orang yang dikuasai agar menjalankan keinginan atau harapan terakhirnya.

Seorang filsuf Jerman, Wilhelm Nietzsche, yang hidup pada masa 1844-1900, berbicara tentang kekuasaan dalam novel filsafat berjudul Also Sprach Zarathustra. Dalam bahasa lain berjudul Thus Spake Zarathustra atau Sabda Zarathustra. Ada ungkapan singkat yang menarik,”Di mana pun saya menemukan makhluk hidup, saya menemukan kehendak untuk berkuasa.”

Setiap Makhluk

Saya bukan orang yang pintar dalam menerjemahkan simbol-simbol, termasuk simbol dalam ungkapan itu. Saya tak menyelami secara mendalam hingga berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Kemudian saya berpikir makna sesungguhnya kekuasaan itu.

Advertisement

Sayangnya, saya tak mampu menemukan makna harfiah yang dapat menggambarkan atau minimal mewakili. Dalam konteks yang lebih luas, saya hanya bisa memberi gambaran bahwa kehendak untuk berkuasa adalah daya atau kekuatan yang tak bisa dijelaskan dengan akal (irasional) yang tertanam pada setiap individu.

Kehendak atau keinginan berkuasa dimiliki setiap manusia, bahkan setiap makhluk. Cara menyalurkan/mengekspresikan kehendak itu saja yang berbeda. Kehendak berkuasa dalam tataran eksternal (menguasai pihak lain pada dimensi sosial politik) bukan semata-mata kehendak menguasai kedudukan tertentu, melainkan atas tujuan yang lebih luas.

Kehendak ini diekspresikan melalui cara mencintai atau menyakiti. Kehendak berkuasa yang disalurkan dengan cara mencintai akan bermuara pada manfaat. Kehendak berkuasa yang direalisasikan dengan cara menyakiti bakal bermuara pada kerusakan. Pada dasarnya kehendak itu untuk menunjukkan dominasi atau kekuatan.

Advertisement

Kehendak berkuasa, dengan mencintai atau menyakiti, tertanam sejak dalam pikiran. Sialnya, kita tak menguasai kemampuan mengetahui pikiran orang. Kita hanya bisa pasrah dikuasai dengan harapan orang yang berkuasa atas diri kita melaksanakan kekuasaan dengan cinta.

Kembali lagi dalam perbincangan ndesa dengan teman saya. Menurut dia, sekarang orang ingin menduduki kekuasaan atau menguasai sesuatu secara terang-terangan, bahkan kekuasaan kadang-kadang diraih dengan mengorbankan nyawa.

Saya hanya menganggukkan kepala dengan harapan dia mengakhiri tema yang tak saya kuasai. Lalu saya nylimur atau membahas hal lain. Saya berhasil mengalihkan perhatian membicarakan tema tentang kekuasaan itu pada tema lain yang lebih sepele.

Lalu saya berpikir, berarti waktu itu saya bisa menguasai keadaan, termasuk menguasai teman saya itu, sehingga saya bisa mengalihkan perhatiannya. Duh, saya sendiri terbelenggu kehendak untuk menguasai.

Manusia harus menjadi tuan atas dirinya sendiri. Manusia adalah raja atas kehidupan. Kita memiliki kekuasaan atas diri kita. Pada akhirnya saya dan teman saya mengakhir obrolan.

Dia mengakhiri obrolan kami dengan menyeruput kopi terakhir yang dia buat sendiri di pos ronda lalu pulang untuk menuntaskan malam. Saya melaksanakan kehendak melanjutkan pertengkaran dengan kelamnya malam lalu pasrah dibunuh kantuk yang menguasai secara perlahan-lahan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Februari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif