Kolom
Kamis, 20 Oktober 2022 - 20:24 WIB

Pelanggaran HAM Masa Lalu

Eddy J. Soetopo  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Eddy J Soetopo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, pada akhir September dan awal Oktober acap kali ingatan kita diharubirukan catatan sejarah kelam yang dikait-kaitkan dengan peristiwa berdarah-darah pada 30 September 1965.

Masyarakat awam menyebutnya sebagai banjir darah Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) atau Gerakan Satu Oktober 1965 (Gestok) dan membuat bulu kuduk merinding-berdiri, membayangkan kejadian pada masa lalu itu.

Advertisement

Senyampang tafsir-tafsir aneka versi dan data-data bervariasi terkait kejadian tersebut, justru ingatan kita tertuju pada persoalan kebenaran atau ketikabenaran banjir darah pada masa itu.

Peristiwa demi peristiwa pada masalalu jelas membawa kita pada rentetan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Menelisik peristiwa berdarah tentu dengan sendirinya tak bisa lepas dari rentetan saling tuding siapakah sebenarnya yang pantas bertanggun gjawab atas kejadian pada masa lalu tersebut.

Advertisement

Peristiwa demi peristiwa pada masalalu jelas membawa kita pada rentetan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Menelisik peristiwa berdarah tentu dengan sendirinya tak bisa lepas dari rentetan saling tuding siapakah sebenarnya yang pantas bertanggun gjawab atas kejadian pada masa lalu tersebut.

Apabila kita mengacu pada pokok persoalan penyelesaian pelanggaran HAM, tentu mau tak mau harus merujuk pada pelanggaran seperti apakah yang pernah terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Selain itu, tidak ada salahnya bila file dan arsip masalalu terkait desain sebuah peristiwa ditelisik secara saksama dan mendalam sehingga ketahuan dengan jelas siapa sebenarnya operator dan sutradara sehingga peristiwa tersebut bisa terjadi.

Advertisement

International People’s Trinbunal on Crimes Against Humanity 1965 (IPT 1965) telah dilangsungkan pada 11 November 2015 di Den Haag, Belanda. Meski di negara kita model pengadilan tersebut tidak dikenal secara luas, gaung yang timbul atas putusan hakim membuat pemerintah ketir-ketir juga.

Baru-baru ini ribuan lembar dokumen ihwal tragedi pembunuhan orang-orang yang dituduh menjadi pengikut Partai Komunitas Indonesia (PKI) beredar di kalangan aktivis. Dalam file tersebut terkuak peran presiden saat itu, Soeharto, dan tentara serta golongan agama yang terlibat dalam aksi tumpes kelor orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI.

Sebanyak 30.000 halaman file tentang peristiwa pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI, yang dulu tersimpan rapat di perpustakaan nasional pemerintah Amerika Serikat, kini dibuka. Pendeklasifikasian file sehingga publik dapat mengakses secara terbuka jelas merupakan kemajuan bagi upaya mengungkap kejahatan hak asasi manusia.

Advertisement

Sentimen antikomunis, yang selalu dikemukakan militer dan golongan penganut agama, menurut sutradara film dokumenter Joshua Oppenheimer maupun pengamat politik Bradley Simpson, menegaskan pendeklasifikasi file sangat bermakna untuk mengungkap aktor sebenarnya yang menggerakkan aksi tumpes kelor pengikut dan simpatisan PKI di Indonesia.

Persoalannya, justru kesempatan baru dari deklasifikasi file di perpustakaan Depertemen Pertahanan Amerika Serikat itu cenderung tidak ditindaklanjuti secara terbuka oleh pemerintah Indonesia.

Pemutihan Kolektif

Menurut Setara Institute, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 justru terkesan mengaburkan upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Andaikan tidak menjadi kontroversi dan tak bisa diakses oleh publik, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Penlanggaran HAM Berat Masa Lalu, sangat mungkin tidak terbuka dan tidak diketahui masyarakat secara luas.

Advertisement

Saya sepakat dengan pernyataan Setara Institute yang menolak keras kehadiran keputusan presiden itu lantaran dinilai menjadi salah satu upaya pembakuan impunitas atas pelenggaran HAM; menguburkan kebenaran peristiwa, dan memutihkan sejumlah pelaku yang diduga aktor pelanggaram HAM berat pada masa lalu.

Semestinya akan lebih prima bila Presiden Joko Widodo memikul tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ternyata itu justru tidak dilakukan dan hanya berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada masa lalu.

Bisa jadi hal itu dilakukan sebagai ikhtiar pemutihan kolektif berbagai kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan jelas sebagai bentuk pembungkaman aspirasi korban dan pengingkaran janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan social, beasiswa, serta kepentingan korban maupun keluarganya.

Semestinya pemenuhan hak-hak korban, termasuk penegakan hukum, adalah yang paling penting dilakukan terlebih dahulu. Janji dan penegasan Presiden Jokowi terhadap cakupan peristiwa yang akan diselesaikan secara nonyudisial berdasar rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hingga tahun 2020, menunjukkan ketidakpatuhan terhadap mandat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.

Berdasarkan undang-undang tersebut, penyelesaia kasus-kasus pelangaran HAM berat pada masa lalu harus melalui pengdilan HAM permanen. Tanpa penyelesaian hukum yang permanen, bisa jadi peristiwa biadab tumpes kelor akan terjadi lagi.

Seharusnya, yang dilakukan dalam disiplin hukum hak asasi manusia dan keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu, penyelesaian nonyudisial harus didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran dan verifikasi.

Penyelesaian secara hukum dengan kecermatan tinggi wajib dilakukan, bukan penyelesaian dengan model kerja yang terburu-buru hanya demi predikat telah melunasi janji saat kampanye. Saya memandang Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 berada dalam koridor terburu-buru itu, bukan untuk menyelesaikan secara tuntas pelanggaran HAM berat pada masa lalu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis dan Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif