Kolom
Kamis, 29 September 2011 - 12:36 WIB

Politik mahasiswa dan geger 1965

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M Fauzi Sukri, bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

M Fauzi Sukri, bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan

Advertisement

(Taufik Ismail, Mimbar, 1966)

Tahun 1960-an, terutama sejak 30 September 1965, adalah tahun politik mahasiswa. Tahun ini adalah titik puncak pemikiran ideologis mahasiswa dalam sejarah Indonesia setelah nasionalisme sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan sampai sekarang. Mahasiswa angkatan 1960-an menjadi mitos yang melegenda tentang pergerakan politik mahasiswa.
Dalam tahun 1960-an ini pemikiran-pemikiran dunia disuarakan dengan bebas. Universitas adalah “Republik berpikir bebas,” kata Hatta. Sosialisme, marxisme, komunisme, kapitalisme, imperialism, leninisme dan isme-isme yang lain diperdebatkan, diperbincangkan, ditulis dan dicoba diterapkan dalam kehidupan politik Indonesia.

Advertisement

Tahun 1960-an, terutama sejak 30 September 1965, adalah tahun politik mahasiswa. Tahun ini adalah titik puncak pemikiran ideologis mahasiswa dalam sejarah Indonesia setelah nasionalisme sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan sampai sekarang. Mahasiswa angkatan 1960-an menjadi mitos yang melegenda tentang pergerakan politik mahasiswa.
Dalam tahun 1960-an ini pemikiran-pemikiran dunia disuarakan dengan bebas. Universitas adalah “Republik berpikir bebas,” kata Hatta. Sosialisme, marxisme, komunisme, kapitalisme, imperialism, leninisme dan isme-isme yang lain diperdebatkan, diperbincangkan, ditulis dan dicoba diterapkan dalam kehidupan politik Indonesia.

Benturan pemikiran terjadi antarpaham pemikiran di kalangan elite politik dan mahasiswa. Ejekan, cemoohan, rasa kasihan, debat, pertarungan kepentingan, intrik politik, intimidsi dan lain-lain memasuki kehidupan mahasiswa. Yang idealis, oportunis dan apatis menjadi penanda identitas mahasiswa.

Percobaan demokrasi liberal bisa gagal di tangan elite partai yang tak negarawan. Soekarno mengambil alih dengan demokrasi Pancasila. Soekarno tidak mau meminjam uang atau mengeluarkan surat obligasi dan malah mencetak uang untuk biaya administrasi pemerintahan yang korup, otoriter, sentralistik, tidak efisien dan lamban. Ekonomi runtuh. Inflasi mencapai 500% lebih. Uang bernominal tinggi tapi tak berharga dan diredenominasi mendadak, Rp 1.000 jadi Rp 1. Rakyat merasa kecolongan dan kehilangan dari fakta uang mereka yang mengecil tiba-tiba. Harga barang kebutuhan pokok melangit.

Advertisement

Tapi, yang ditemui adalah kebalikan dari semua itu: chaos!

Kehidupan politik yang chaos memberi jalan bagi pergerakan politik mahasiswa sebagai golongan terpelajar. Demonstrasi populer dan memberikan makna meski harus dipertaruhkan dengan nyawa.

Ibu telah merelakan kalian/Untuk berangkat demonstrasi/Karena kalian berangkat menyempurnakan/Kemerdekaan negeri ini, seperti ditulis Taufik Ismail dalam sajak Dari Ibu Seorang Demonstran.

Advertisement

Mahasiswa turun ke jalan, protes, dan menuntut Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yaitu penurunan harga, penurunan menteri goblok, menteri yang “ngobjek”, menteri yang suka kawin dan pembubaran PKI. Dalam demonstrasi, mahasiswa menyetop mobil yang lewat.

“Apakah Bapak setuju, bubarkan PKI?” Setuju!!!” “Jikalau bapak setuju, kami minta dengan hormat, supaya Bapak menggulung celana sebelah kanan tanda simpati dengan tuntutan mahasiswa,” seperti yang ditulis dalam catatan harian Yozar Anwar (1980: 26), ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat dalam bukunya Angkatan ‘66 Sebuah Catatan Harian Mahasiswa.

Mereka menjadi, meminjam kata-kata salah satu dari mereka, Soe Hok Gie, generasi yang kecewa. Harapan-harapan yang telah dipupuk, penipuan-penipuan yang paling kejam, akhirnya menimbulkan frustrasi di generasi kemerdekaan ini, kata Soe Hok Gie (2005: 100) dalam tulisannnya, Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima. Yang idealis dan yang oportunis berakhir pada frustrasi. Yang satu merasa sebagi Don Kisot melawan kincir angin, yang lain merasa sebagai pilot yang tak pernah terbang.

Advertisement

Mahasiswa angkatan 1960-an adalah generasi ideologis-politis. Mereka yang dibesarkan oleh impian-impian kemerdekaan, janji-janji ideologis paham politik, tapi sekaligus yang diadang oleh kemelut politik. Dan akhirnya harus menyadari bahwa pemerintah (Orde Baru) yang mereka dukung pada akhirnya juga menghantam politik mahasiswa generasi berikutnya dalam waktu yang lebih lama dan lebih sistematis. Kebuntuan itu baru terurai, pecah, pada 29 Mei 1998, akhir abad XX.

Mahasiswa abad XXI
Mahasiswa yang sekarang menempuh pendidikan di perguruan tinggi rata-rata adalah mereka yang lahir di awal 1990-an atau mereka yang tak merasakan guncangan politik. Inilah “akhir sejarah” kata Francis Fukuyama pada 1980-an.
Mahasiswa abad XXI ini kemungkinan besar tidak akan lagi memikirkan atau memperdebatkan paham-paham politik apalagi membelanya habis-habisan. Akhir sejarah ditandai dengan kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas yang berlaku di seantero dunia termasuk di Timur Tengah yang sedang menuju ke arah akhir sejarah.

Akhir sejarah juga berarti absennya klaim ideologis yang mencoba menawarkan bentuk masyarakat yang lebih unggul (Goenawan Mohamad, 2008: 137). Kecuali dari pergerakan aktivis Islam, yang terdengar sayup-sayup.

Tapi, tidak seperti yang dirasakan Fukuyama sebagai “saat yang sedih”, mahasiswa abad XXI adalah mahasiswa yang bahagia, tampaknya. Mereka tak merasa sedih. Musik terus menghibur mereka, tanpa takut akan dicap secara politis mengikuti musik ngak-ngik-ngok atau apa pun. Mereka tak takut untuk memanjangkan rambut, malah mereka bisa pergi ke salon merawat diri.

Tak perlu ada protes, tuntutan, atau pemogokan kuliah. Paling banter, ya sekadar menulis “status” di media sosial semacam Facebook atau Twitter untuk mengutarakan pendapat, protes singkat atau kesedihan empatik. Tak ada perlunya menyalahkan struktur sosial-politik, etos dan etika politik, atau pun sekadar menjelek-jelekkan dan menggoblokkan pejabat.

Mungkin, lebih baik membuat proposal “ilmiah” dengan imbalan jutaan rupiah dari pada membuat tulisan yang politis-ideologis. Lagi pula juga tak lantang terdengar pemikiran tentang agenda politik ilmu pengetahuan di dunia akademik! Untuk apa peduli dengan politik?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif