Kolom
Senin, 11 Desember 2023 - 11:30 WIB

Politik Penyejahteraan Guru

M. Fauzi Sukri  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – “Kita ini sial karena dididik dalam arahan Barat, tetapi untuk uang digolongkan dalam lapis A,” demikianlah pengakuan polos dari seorang guru dalam Majalah Goeroe pada Juli 1929.

Kolonialisme (politik) Belanda sudah berakhir, namun kelas ekonomi para guru, khususnya yang masih berstatus honorer, tampaknya masih berada pada lapis A, alias buruh kelas bawah, hingga tahun 2023.

Advertisement

Dalam kongres pertama Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) tahun 1926, ketua PGHB Soetopo menyampaikan pidato penting yang dimuat di Majalah Goeroe edisi Mei 1926.

Ia berkata ada setengahnya mengatakan bahwa guru tak punya arti yang lain daripada minta tambahnya gaji, meskipun kita tidak minta lebih daripada sepatutnya, hanya supaya cukup buat hidup sederhana.

”Kita tidak minta pergi melakukan wajib kita sehari-hari diantarkan, pulang dijemput dengan auto, dan lain-lain kenikmatan hidup yang luks,” kata Soetopo kala itu (Ingleson, 2015: 154).

Advertisement

Pada abad ke-21 ini tak semua ekonomi guru berada di kelas buruh paling rendah, namun sistem kelas-kelas ekonomi guru tampaknya sedikit banyak masih agak mirip dengan zaman Belanda: guru di sekolah swasta elite, guru di sekolah negeri, dan ”guru babu” di sekolah negeri/swasta biasa.

Menurut laporan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (2023), jumlah guru di Indonesia sekitar 3,36 juta orang—jumlah ini tentu saja masih kurang jika dibandingkan jumlah murid!

Dari sejumlah ini, sebanyak 1.520.354 orang atau 52% dari total guru di Indonesia berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan sisanya, sekitar 48% guru, tidak berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Dari sejumlah ini, ada segolongan guru, sebanyak 704.503 orang, masih berstatus guru honorer yang terkadang nasibnya adalah menjadi ”guru babu”. Kita mungkin masih ingat bahwa pada 10-13 Februari 2016, ribuan pegawai (dan) guru honorer kategori kedua (K2) berdemonstrasi di depan Istana Negara.

Advertisement

Tuntutan mereka adalah ”PNS Harga Mati”, seperti kalimat pada spanduk yang dibawa para guru honorer, yang dimuat di berbagai media massa. Menurut data yang dilansir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016), antara tahun 1999 sampai 2000 hanya ada 84.600 guru honorer.

Terjadi pertumbuhan-perbanyakan guru honorer yang fantastis pada 2014-2015: bertambah 860%! Jumlahnya menjadi 812.064 guru honorer, setelah dikurangi 200.000 guru honorer yang telah diangkat menjadi PNS.

Dari mana munculnya guru honorer yang jumlahnya membengkak dan kadang-kadang menjadi pemberitaan tiap Hari Pendidikan Nasional dan Hari Guru Nasional? Penjelasan tentang pertambahan jumlah ini sederhana: biaya operasional sekolah (BOS) dan kebijakan desentralisasi ekonomi-politik ke daerah.

Selama ini rasio guru atas murid sering sangat timpang, yang membuat proses pengajaran-pembelajaran tidak efektif. Para kepala sekolah tidak bisa merekrut guru tambahan dengan status honorer, mengingat tidak ada dana untuk semua itu.

Advertisement

BOS jadi sandaran finansial perekrutan guru tambahan tanpa status yang mengikat/jelas. Yang kedua, tentu saja berkat politik elektoral di tingkat daerah dan nasional. Dana BOS jamak disertai janji politik calon kepala daerah.

Di beberapa daerah, kepala daerah bisa mengalokasikan dana daerah khusus untuk penambahan biaya sekolah, termasuk biaya guru honorer. Sebelum reformasi, kepala daerah tidak punya kekuatan politik untuk turut serta dalam pembiayaan pendidikan, apalagi sampai berani membuat janji pendidikan gratis dalam kampanye.

Saat terjadi desentralisasi dan kehadiran dana BOS, jumlah guru honorer kemudian membeludak. Masalahnya, sudah begitu lama birokrasi pemerintahan dituntut untuk lebih berkualitas dan efisien. Tiap calon aparatur sipil negara (ASN) wajib mengikuti seleksi, sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Dalam dunia pendidikan, kita tentu saja mendapati proses sertifikasi guru yang sampai sekarang masih belum selesai total dan sepenuhnya. Tak bisa dengan begitu saja tiap guru bisa lolos, meski sudah bertahun-tahun mengajar-mendidik.

Advertisement

Yang parah, ada gejala cukup jelas bahwa proses sertifikasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualitas guru dan kualitas proses pengajaran-pendidikan. Uang tunjangan yang awalnya dimaksudkan untuk kesejahteraan plus agar guru semakin terdidik dan berwawasan tidak terjadi, malah menjadi berbagai benda-benda teknologis yang tak ada hubungannya langsung dengan kualitas pendidikan-pengajaran.

Yang perlu diperhatikan adalah diskriminasi gaji guru memang berakhir saat Indonesia merdeka, tapi disparitas gaji guru swasta elite di kota besar dan guru honorer di pelosok Indonesia semakin mencemaskan.

Di sini yang terlihat adalah bahwa sekolah swasta, khususnya di perkotaan, ternyata jauh lebih mampu menyejahterakan guru daripada negara Indonesia.  Secara historis, negara Indonesia yang baru merdeka merasa wajib menjaga martabat negeri dan demi percepatan proses modernisasi bernegara-berbangsa.

Tentu kebutuhan guru meningkat tajam. Kita ingat bahwa di berbagai daerah pemerintah mendirikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), namun karena kebutuhan guru begitu tinggi, terjadilah perekrutan guru yang sangat longgar (Poerbakawatja, 1970).

Kualitas guru menurun drastis, apalagi semangat belajar autodidak dari guru yang militan seperti pada zaman perjuangan kemerdekaan juga menurun. Ironisnya, banyak permintaan guru ternyata diikuti oleh menurunnya gaji guru.

Anggaran negara untuk guru tak pernah secara signifikan dinaikkan. Jargon guru pahlawan tanpa tanda jasa (uang!) masih terus dipropagandakan. Ini berakhir saat reformasi. Ironisnya, pendirian IKIP untuk mengembangkan guru bermutu ternyata juga gagal.

Advertisement

Banyak pemuda cemerlang yang emoh jadi guru kere. IKIP kehilangan pamor dan peminat, lalu terpaksa dijadikan universitas (Buchori, 1994). Sekarang, setelah reformasi berjalan selama dua dekade, ternyata guru kere itu diperantarai oleh sekolah-sekolah.

Yang ironis dari perjalanan guru di Indonesia adalah bahwa apa yang dialami para guru pribumi pada zaman Belanda juga dialami oleh para guru honorer mutakhir. Sekolah dan pelajaran yang diajarkan sama, tapi status plus gajinya berbeda.

Sebutan honorer yang berarti mulia menjadi sebutan yang menyakitkan dan menyedihkan. Sekarang, menjelang Pemilu 2024, sudah mulai terdengar janji-janji untuk dunia pendidikan, termasuk janji untuk para guru honorer. Apakah hasil Pemilu 2024 akan semakin menyejahterakan para guru kita?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Desember 2023. Penulis pernah belajar di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur dan menulis buku berjudul Berguru pada Huruf (2022))

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif