Kolom
Kamis, 16 Februari 2023 - 21:30 WIB

Risiko Politik Identitas

Niyoko  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Niyoko (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Politik  identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, agama, atau lainnya dengan tujuan, misalnya, untuk melawan atau meraih kekuasaan.

Identitas atau agama diinterpretasikan secara ekstrem untuk meraih dukungan dari orang-orang yang merasa sama secara ras, etnik, agama, atau unsur perekat lainnya.

Advertisement

Beberapa politikus menggunakan identitas dan agama untuk meraih kekuasaan seperti yang tampak dalam pemilihan umum anggota legislatif, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan presiden.

Identitas sosial adalah suatu pengetahuan dan pengakuan diri individu sebagai anggota suatu kelompok serta pengakuan kelompok kepada individu tersebut sebagai anggotanya (Giles & Johnson, 1987). Identitas sosial dapat meliputi, antara lain, religi, etnis, dan kelas sosial.

Identitas etnis adalah identifikasi individual dengan unit sosial yang anggotanya mempunyai asal-usul bersama dan berbagi unsur budaya yang sama dan mereka berpartisipasi dalam  kegiatan yang didasarkan  pada  unsur budaya dan asal-usul bersama (Yinger, 1976).

Advertisement

Identitas etnis akan muncul pada masyarakat yang kompleks, misalnya masyarakat dengan aparatur negara dan kelas sosial yang berfungsi membagi masyarakat dalam berbagai kategori. Identitas-identitas yang terdapat dalam kelas sosial tersebut berkaitan erat dengan identitas budaya karena merupakan cakupan dari identitas budaya.

Identitas budaya adalah kesadaran dasar terhadap karakteristik khusus kelompok yang dimiliki seseorang dalam hal kebiasaan hidup, adat, bahasa, dan nilai-nilai (Dorais, 1988).

Menurut Kramer et al. (2011), ada hubungan antara identitas sosial dengan relasi antarkelompok. Hal tersebut berangkat dari proposisi bahwa dalam kurun waktu yang sama, individual aktor berafiliasi dengan beberapa kelompok sekaligus.

Advertisement

Setiap kelompok memiliki fokus kegiatan tersendiri (unik), maka implikasinya pada diri setiap aktor terendap bermacam-macam identitas (sesuai dengan kegiatan kelompok-kelompok yang menjadi afiliasinya). Kelompok politik melahirkan identitas politik.

Kelompok bisnis melahirkan identitas pengusaha dan pedagang. Kelompok kampus melahirkan identitas intelektual. Kelompok keagamaan melahirkan identitas religiositas dan sebagainya. Dalam kehidupan suatu komunitas atau masyarakat yang semakin kompleks, semakin banyak ditemukan bermacam-macam identitas sosial.

Konflik Sosial

Afiliasi sejumlah aktor pada sebuah kelompok melahirkan perasaan senasib sepenanggungan (in-group feeling). Bersamaan dengan itu tumbuh perasaan tidak senasib dan tidak sepenanggungan (out-group feeling) kepada aktor-aktor yang tidak berafiliasi pada kelompoknya.

Mereka dianggap sebagai orang luar dan memiliki identitas sosial yang berbeda. Sebagai contoh aktor yang berafiliasi pada organisasi keagamaan. Aktor-aktor yang berafiliasi pada kelompok Islam  memiliki dan mengembangkan identitas sosial yang berbeda dengan aktor-aktor yang berafiliasi pada kelompok Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Mereka berbeda dalam hal prinsip hidup atau keyakinan (belief), simbol, dan upacara-upacara keagamaan (ritual). Anggota kelompok-kelompok keagamaan tersebut memelihara identitas sosial sendiri yang berbeda satu sama lain.

Relasi antarkelompok tersebut bisa melembagakan kohesi sosial yang ditandai dengan toleransi dan saling memahami (understanding) posisi dan peran masing-masing.

Relasi antarkelompok tersebut bisa diwarnai konflik sosial yang dikenal dengan konflik atas nama agama. Relasi antarkelompok itu dapat mengembangkan koherensi sosial tetapi dapat pula melembagakan konflik sosial. Baik kohesi sosial maupun konflik sosial  ditentukan oleh latar belakang historis dan faktor  eksternal, seperti kepentingan ekonomi dan politik.

Identitas sosial yang berbeda mengembangkan relasi antarkelompok yang berbeda, maka relasi antarkelompok yang berkembang di kalangan pemeluk agama bisa amat bervariasi. Kalangan yang memiliki identitas ulama (kiai, pastur, pendeta) mengembangkan relasi dengan kelompok agama lain yang berbeda dengan umat (massa).

Relasi antarkelompok yang dikembangkan oleh ulama boleh jadi diwarnai dengan toleransi dan mengedepankan titik-titik persamaan dalam berhubungan dengan sesama manusia. Sementara itu, relasi antarkelompok yang dikembangkan oleh umat (massa) lebih menonjolkan perbedaan-perbedaan.

Tendensi demikian bisa menyulut konflik bernuansa agama atau atas nama agama. Konflik tersebut bisa berkembang sengit ketika berpapasan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Kelompok agama lain bukan hanya dianggap sebagai kelompok yang memiliki perbedaan belief, simbol, dan ritual, tetapi juga dianggap sebagai kelompok yang menguasai kehidupan ekonomi.

Mereka dianggap sebagai kelompok yang menciptakan kesenjangan ekonomi, karena itu acapkali lalu memancing kerusuhan. Tanpa dipolitisasi sekalipun relasi antarkelompok  an sich dapat menimbulkan konflik sosial, apalagi bila relasi antarkelompok dipolitisasi untuk tujuan meraih kekuasaan.

Politisasi itu dengan cara menyebar kebencian, menajamkan perbedaan, menyebar hoaks, mengapitalisasi identitas sosial dan agama. Risiko yang timbul adalah konflik dan pembelahan sosial yang semakin dalam.

Sebaiknya para kontestan politik tidak lagi menggunakan politik identitas, tetapi berkompetisi  pada visi, misi, gagasan, program, prestasi kerja yang telah dicapai dan yang akan dikerjakan mendatang.

Penyelenggara pemilihan umum, peserta pemiliham umum, dan masyarakat pemilih harus cerdas dan waspada terhadap isu-isu suku, agama, ras, dan golongan yang bisa memecah belah bangsa, harus mengutamakan menjaga hubungan sosial yang diwarnai toleransi dan konsensus.

Apabila masyarakat mampu menumbuhkan hubungan yang dilandasi kepentingan yang sama (like interest) dan kepentingan bersama (common interest) seperti demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, maka pemilihan umum benar-benar merupakan pesta demokrasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Februari 2023. Penulis adalah dosen di Universitas Negeri Yogyakarta dan alumnus Program S3 Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif