Kolom
Jumat, 7 April 2023 - 09:52 WIB

Salib Kristus dan Krisis Ekologi

Aloys Budi Purnomo Pr.  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aloys Budi Purnomo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Umat  Kristiani mengenang dan merenungkan salib Kristus pada Jumat Agung (7/4/2023). Dewasa ini refleksi tentang salib Kristus tak bisa dilepaskan dari krisis ekologi yang sedang menimpa Planet Bumi sebagai rumah kita bersama.

Kita bisa belajar dari teologi pembebasan Leonardo Boff yang telah mempertimbangkan kaitan antara salib Kristus dan krisis ekologi. Salib Kristus dapat menjadi ikon spiritual yang relevan dalam menangani krisis ekologi saat ini.

Advertisement

Diperlukan paradigma baru menempatkan penebusan Kristus dan krisis ekologi yang menimpa bumi sebagaimana ditawarkannya dalam Ecology and Liberation: A New Paradigm (1995). Boff menyatakan ekologi harus menjadi bagian integral dari teologi Kristen dan menawarkan pandangan baru mengenai hubungan antara manusia dan alam.

Dalam buku Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997), Boff membahas kaitan antara krisis ekologi dan kemiskinan dari perspektif ekoteologi pembebasan. Pemahaman atas salib Kristus dapat membantu kita memahami isu-isu lingkungan yang kompleks yang kian hari bukannya teratasi dengan baik, melainkan justru kian parah akibat perilaku manusia yang serakah!

Advertisement

Dalam buku Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997), Boff membahas kaitan antara krisis ekologi dan kemiskinan dari perspektif ekoteologi pembebasan. Pemahaman atas salib Kristus dapat membantu kita memahami isu-isu lingkungan yang kompleks yang kian hari bukannya teratasi dengan baik, melainkan justru kian parah akibat perilaku manusia yang serakah!

Diperlukan sinergi kolaboratif dalam menangani krisis ekologi tersebut demi keberlanjutan dan kelestarian kesejahteraan manusia. Terinspirasi pengorbanan Kristus yang disalibkan, umat Kristiani didorong melakukan kerja sama dengan semua orang untuk memainkan peran penting dalam mempromosikan dan memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan.

Itulah yang ditawarkan Boff dalam Sustainability: A New Frontier for the Church (2012). Ajaran-ajaran Kristen dan isu-isu lingkungan yang muncul pada masa kini hanya dapat diimplementasikan manakala kerja sama sinergis semua orang dikembangkan.

Advertisement

Ajaran Kristen mengapresiasi ekologi integral sebagai upaya memperbaiki kerusakan lingkungan. Dalam ekologi integral dipahami bahwa segala sesuatu terhubung erat dan tak terpisahkan. Meminjam ajaran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (2015), ekologi integral adalah ikatan tak terpisahkan antara kepedulian pada alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin dalam kehidupan bersama.

Dibutuhkan keterbukaan terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa teknis matematika dan biologi demi membawa kita kepada hakikat martabat manusia. Ilmu pengetahuan dan agama, yang menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami kenyataan, dapat masuk ke dalam dialog yang intens dan bermanfaat bagi keduanya.

Ketika salib Kristus merangkum kerentanan, penderitaan, kematian, dan kebangkitan; kehancuran alam dan krisis lingkungan saat ini pun mencerminkan penderitaan yang sama seperti yang dialami Kristus di kayu salib. Namun, seperti kebangkitan Kristus dari kematian, kita juga dapat mencari harapan dan pemulihan dalam memulihkan Planet Bumi yang sedang terluka ini.

Advertisement

Secara ekoteologis integral, salib Kristus tak terpisahkan dari konteks krisis ekologi. Seperti halnya salib Kristus dianggap sakral dalam tradisi Kristen, demikian pula bumi yang tertimpa krisis ekologi dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Penghormatan terhadap alam dan lingkungan adalah bagian integral dari ajaran Kristen tentang salib Kristus dan bukan hanya tanggung jawab sosial atau moral manusia semata.

Ekoteologi Interreligius

Salib Kristus dan krisis ekologi menunjukkan teologi dan spiritualitas Kristen dapat diaplikasikan dalam konteks sosial dan lingkungan yang kompleks dan menantang dalam sinergi kolaboratif lintasagama. Titik temunya, semua agama mengajarkan pentingnya perawatan bumi demi keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup.

Titik temu semua ajaran agama dan kepercayaan demi perawatan lingkungan yang saling terhubung melahirkan gagasan tentang ekoteologi interreligius (Wilfred, 2009). Mengacu Ensiklik Laudato Si’ (2015), dalam pemahaman Kristiani tentang realitas, peruntukan seluruh ciptaan berjalan melalui misteri Kristus yang hadir sejak awal mula.

Advertisement

”Segala sesuatu diciptakan melalui Dia dan untuk Dia” (Kolose 1:16). Prolog Injil Yohanes (1: 1-18) mengungkapkan tindakan penciptaan Kristus sebagai firman ilahi (Logos) yang “menjadi daging” (Yohanes 1: 14). Kristus masuk ke dalam dunia ciptaan dan menjalani nasib-Nya bersama sampai di kayu salib.

Secara khusus sejak inkarnasi, misteri Kristus bekerja secara tersembunyi dalam seluruh realitas alam tanpa meniadakan otonominya. Melalui misteri inkarnasi hingga penyaliban, Yesus hidup dalam kemanusiaan-Nya di bumi dan hubungan-Nya yang konkret dan penuh kasih dengan dunia.

Yesus yang disalibkan, wafat, dan  bangkit mulia, hadir dalam seluruh ciptaan dengan keilahian-Nya yang universal. “Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di Bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kolose 1: 19-20).

Dengan cara ini, makhluk-makhluk dunia tidak lagi ditampilkan kepada kita sebagai realitas alamiah saja karena Dia yang wafat dan bangkit melingkupi mereka secara rahasia dan mengarahkan mereka kepada kepenuhan hidup mereka. Termasuk bunga-bunga di ladang dan burung-burung di udara yang ditatap dengan mata manusia-Nya dan dikagumi-Nya, dipenuhi pula dengan cahaya kehadiran-Nya.

Warna ekoteologi interreligius setidaknya dapat direfleksikan ketika Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ mengutip ajaran seorang guru spiritual Islam, Ali al-Khawas. Dari pengalamannya sendiri, al-Khawas menekankan perlunya kita tidak terlalu memisahkan makhluk-makhluk dunia dari pengalaman batiniah akan Allah.

Menurut al-Khawas prasangka tidak seharusnya membuat kita mengkritik mereka yang mencari ekstase dalam musik dan puisi. Ada ”rahasia” halus dalam setiap gerakan dan suara dari dunia ini. Orang yang sudah diinisiasi mulai menangkap apa yang dikatakan angin yang bertiup, pohon yang bergoyang, air yang mengalir, lalat yang berdengung, pintu yang berderit, burung yang bernyanyi, atau dalam suara petikan senar alat musik, siulan seruling, desah orang sakit, erangan orang yang disiksa…” (Eva De Vitray-Meyerovitch [ed.], Anthologie du soufisme, Paris, 1978:200).

Salib Kristus dan krisis ekologi mempertemukan semua umat manusia tanpa diskriminasi untuk bergerak bersama menyelamatkan Planet Bumi yang hancur oleh ulah manusia. Di sanalah kepekaan dan solidaritas terhadap kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel yang paling terdampak oleh krisis ekologi dikembangkan bersama-sama.

Itulah implementasi salib Kristus dan krisis ekologi yang menantang kita semua untuk diwujudkan sekarang dan pada masa mendatang. Selamat Paskah bagi yang merayakan!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 April 2023. Penulis adalah doktor Ilmu Lingkungan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif