Kolom
Sabtu, 9 September 2023 - 09:30 WIB

Sampah

Kaled Hasby Ashshidiqy  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Saya  bersyukur tinggal di perumahan di Kota Salatiga yang hampir tidak punya masalah sampah. Saya tidak kesulitan membuang sampah rumah tangga karena ada tempat pembuangan sementara (TPS) di kompleks perumahan.

TPS itu terbilang bersih dibandingkan dengan TPS pada umumnya. Jarang ada sampah tercecer di luar bak. Kalau pun ada sangat sedikit dan akan langsung dibersihkan oleh petugas. Setiap dua hari atau maksimal tiga hari sampah selalu diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Ngronggo.

Advertisement

Berkat kemudahan membuang sampah itu, lingkungan perumahan saya cukup bersih dan nyaman. Setiap rumah memiliki tempat sampah masing-masing. Kenikmatan itu awalnya saya anggap hal yang biasa saja.

Saya baru menyadari kenikmatan punya lingkungan bersih dan mudah membuang sampah sebagai sesuatu yang harus benar-benar disyukuri setelah melihat orang lain mengalami masalah tentang sampah.

Seperti yang dialami warga di lingkungan tempat tinggal saudara saya di Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Pengelolaan sampah di sana menjadi persoalan serius. Pengelolaan sampah di sana tak sebaik di perumahan tempat saya tinggal.

Advertisement

Kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya rendah. Hal ini dengan mudah dilihat dari banyak sampah di sungai kecil depan rumah. Sampah daun, plastik, botol, bekas kemasan minum seolah-olah membentuk populasi baru di sungi.

Yang membikin saya mengelus dada adalah bekas galon Le Minerale’ yang besar itu pun dibuang di got dan menyangkut di bawah jembatan kecil. Hal yang sama terjadi di tempat saudara saya yang lain di Indramayu, Jawa Barat. Situasinya setali tiga uang.

Bisa jadi mereka bukan tidak mau membuang sampah pada tempatnya. Mereka kesulitan mengolah sampah setelah dibuang pada tempatnya. Mau dikemanakan sampah tersebut? Bagi yang punya pekarangan luas bisa menimbun atau kadang membakar sepanjang jauh dari rumah tetangga.

Bagi yang tidak punya pekarangan luas, membuang sampah di sungai biasa menjadi jawaban. Pengelolaan sampah di desa-desa umumnya memang tak sebaik di permukiman di kawasan perkotaan.

Advertisement

Di desa sangat jarang ditemui TPS. Armada pengangkut sampah lazim tidak menjangkau desa-desa. Sampah orang desa jadi masalah orang desa. Pemerintah desa seharusnya bergerak dan memikirkan bagaimana sampah warga dikelola.

Mereka harus bisa membuat dan mengelola TPS atau TPA sendiri. Anggaran pemerintah desa saya kira cukup mampu mendukung upaya tersebut. Tinggal kepala desa mau melaksanakan atau tidak.

Untuk mengurangi sampah yang dibuang ke TPS bisa dengan mendirikan bank sampah seperti yang dilakukan warga di sejumlah daerah. Sampah dipilah. Sampah yang masih memiliki nilai ekonomi di kumpulkan dan didaur ulang. Sampah tak bernilai ekonomi sama sekali dibuang ke TPS/TPA.

Berkah dan Bencana

Dulu tinggal di rumah dekat sungai itu penuh keberkahan. Melihat air yang jernih mengalir di sela bebatuan dan mendengar gemericik air bisa memberikan efek menenangkan dan memunculkan rasa bahagia.

Advertisement

Sungai menjadi salah satu variabel perwujudan tempat hunian yang ideal. Bukan gunung. Bagi umat Islam parameternya gampang. Kitab Suci Al-Qur’an mendeskripsikan surga sebagai “taman-taman yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.

Tidak mengherankan orang-orang zaman dulu betah tinggal di desa meski dengan segala keterbatasan asalkan masih bisa makan dan punya sungai yang bersih. Mereka seperti tinggal di surga.

Sungai menjadi simbol peradaban. Peradaban Mesir kuno muncul dan berkembang di sepanjang alirnan Sungai Nil. Sungai merupakan representasi dari air. Sumber kehidupan manusia pada setiap era.

Sungai juga menjadi prasarana transportasi yang bisa diandalkan saat belum ada jalanan beraspal dan jalanan berbayar. Kini sungai kebanyakan beralih fungsi. Terutama sungai di kawasan permukiman. Terlebih di kawasan industri.

Advertisement

Sungai menjadi tempat sampah terbesar dan terpanjang. Bertolak belakang dengan pola pikir sempit dan pendek orang yang membuang sampah dan limbah di sungai. Banyak sungai yang kini jadi sumber bencana.

Tinggal di pinggir sungai lebih banyak rekasa. Kalau hujan kebanjiran. Begitu masuk musim kemarau sungai bak comberan. Sumber penyakit dan bau. Mengatasi persoalan sampah memang harus dimulai dari hulu.

Manajemen buruk pengelolaan sampah di TPA dan TPS itu persoalan di hilir. Banyak sampah di rumah tangga dan banyak penggunaan kantong plastik belanja itu belum hulu dari persoalan ini. Hulu masalah sampah adalah mindset atau pola pikir masyarakat.

Belum banyak yang sadar bahwa sampah adalah sumber persoalan. Semakin banyak sampah yang kita hasilkan, masalah bertambah. Jika sampah dibuang sembarangan, masalah akan menyebar dan menjadi bom waktu.

Agar tidak menghadapi masalah di kemudian hari, ya, kita perlu mengurangi persoalan itu. Jika kita tetap memproduksi sampah, pastikan sampah itu dibuang di tempat seharusnya sehingga bisa dikelola dengan tepat.

Menanamkan mindset yang tepat soal sampah ini harus sejak kecil, sejak anak usia taman kanak-kanak atau TK. Aturan mengurangi, menggunakan kembali, dan membuang sampah pada tempatnya harus diajarkan bukan dalam aspek biner, salah atau benar, boleh atau tidak boleh.

Advertisement

Harus lebih mengedepankan upaya menjawab pertanyaan kenapa saya harus melakukan. Pihak yang paling bertanggung jawab menanamkan mindset ini pada anak adalah orang tua.

Sebelum menanamkan pola pikir demikian kepada anak, orang tua perlu bermuhasabah sudahkah kita benar dalam mengelola sampah? Kalau belum, kita bisa memulai sekarang.

(Esai in terbit di Harian Solopos edisi 7 September 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif