Kolom
Senin, 22 Januari 2024 - 20:30 WIB

Sarjana yang Masih Menganggur Bukanlah Aib

Rohmah Ermawati  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rohmah Ermawati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menyelesaikan masalah pengangguran tidak mudah. Dari tahun ke tahun, angka pengangguran yang tinggi masih menjadi pekerjaan bersama untuk diselesaikan.

Setiap pergantian pemerintahan dari hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah nyaris selalu ada janji untuk  menambah lapangan pekerjaan dan memperbaiki keadaan ekonomi, tapi usaha yang dilakukan tidak selalu berjalan mulus.

Advertisement

Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang pada Agustus 2023. Angka tersebut berkurang sekitar 560.000 orang atau 6,77% dibandingkan pada Agustus 2022.

Jumlah pengangguran di Indonesia cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir setelah pandemi Covid-19. Kemudian pada Agustus 2020, jumlah pengangguran di Indonesia tembus 9,77 juta orang. Angka itu naik 2,67 juta orang dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Sedangkan pada 2021, jumlah pengangguran atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 mencapai 6,49% dari jumlah angkatan kerja atau setara dengan 9,10 juta. Jumlah ini lebih rendah daripada TPT pada Agustus 2020.

Advertisement

Walaupun angka pengangguran per Agustus 2023 cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya masih lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi Covid-19, misalnya pada Februari 2019 dengan jumlah pengangguran di Indonesia 7,05 juta orang.

Selain angkanya yang masih terbilang cukup tinggi, terdapat fenomena menarik soal pengangguran di Indonesia. Mengemuka fakta tentang sarjana yang sulit mencari kerja.

Solopos beberapa hari lalu memberitakan sejumlah sarjana di Soloraya tak kunjung mendapatkan pekerjaan meski sudah berbulan-bulan giat mengirimkan surat lamaran ke beberapa perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan.

Berdasar data BPS, tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2023 dari kalangan lulusan perguruan tinggi (diploma IV, S1, S2, S3) menempati urutan ketiga sebesar 5,18%.

Advertisement

Di urutan pertama tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) sebesar 9,31%, disusul lulusan sekolah menengah atas (SMA) 8,15%. Selanjutnya lulusan diploma I, II, III di tempat keempat sebesar 4,79%. Tamatan SMP sebesar 4,78% dan TPT yang paling rendah adalah pendidikan sekolah dasar  ke bawah, yaitu sebesar 2,56%.

Beberapa faktor menyebabkan banyak sarjana di Indonesia yang menganggur. Salah satunya masih terdapat kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja. Penelitian McKinsey, UNESCO, dan ILO pada 2008 menyimpullkan kompetensi lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pengguna kerja.

Hal ini berkaitan dengan kurikulum, metode pembelajaran, kualitas dosen, fasilitas, dan lain-lain. Banyak sarjana yang tidak memiliki keterampilan (skill) dan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja.

Persaingan ketat juga menjadi faktor yang menyebabkan sarjana menganggur. Kesempatan kerja terbatas, padahal jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat setiap tahun, apalagi jika sarjana itu tak rajin mencari informasi seputar lowongan kerja. Bisa jadi kalan cepat dalam mengambil kesempatan.

Advertisement

Pengamat pendidikan Darmaningtyas seperti diberitakan Solopos, Senin (15/1/2024), menyebut tidak perlu heran ketika lulusan S1 berkontribusi besar terhadap angka pengangguran. Hal itu karena keterbatasan lapangan kerja sesuai kompetensi sarjana.

Faktor lainnya adalah orientasi pendidikan Indonesia sejak dulu adalah menyiapkan tenaga kerja untuk kantor atau korporasi atau ujung-ujungnya ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS), padahal lowongan PNS juga terbatas.

Terlalu pilih-pilih pekerjaan juga bisa menjadi mimpi buruk bagi para pencari kerja, tak hanya dari kalangan sarjana. Memang wajar seseorang bermimpi bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar dan bonafide dengan gaji tinggi dan fasilitas menarik.

Tenu saja sebaiknya tetap realistis dengan kondisi pasar kerja tanpa melewatkan peluang-peluang kerja yang bisa dimanfaatkan. Dari persoalan tersebut, sarjana atau calon sarjana harus menyadari gelar akademis saja tidak cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkualitas.

Advertisement

Mereka harus terus mengembangkan diri serta menambah pengetahuan dan keterampilan agar dapat bersaing secara lebih kompetitif dengan sarjana-sarjana lainnya. Untuk mengatasi masalah sarjana menganggur di Indonesia, diperlukan upaya-upaya dari berbagai pihak, baik pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, maupun sarjana itu sendiri.

Pertama, memperbaiki sistem pendidikan agar lebih berkualitas dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Langkah yang bisa ditempuh merevisi kurikulum, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif, meningkatkan kualitas dosen dan fasilitas, serta menjalin kerja sama dengan industri.

Selanjutnya meningkatkan kesempatan kerja yang lebih banyak dan beragam. Pemerintah dan perusahaan harus berusaha menyediakan informasi lowongan kerja yang akurat dan mudah diakses oleh sarjana. Misalnya dengan memanfaatkan media-media online seperti situs atau website, media sosial, e-mail, atau aplikasi.

Di sisi lain, sarjana harus berusaha untuk meningkatkan kreativitas dan profesionalisme dalam melamar pekerjaan. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat riwayat hidup yang menarik dan informatif, menyiapkan portofolio atau hasil karya, melakukan riset tentang perusahaan tujuan, serta bersikap sopan dan percaya diri saat wawancara.

Membekali diri dengan aneka kecakapan dan keterampilan juga menjadi nilai lebih bagi seorang pencari kerja. Jika memang masih sulit mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, janganlah berputus asa.

Menjadi sarjana yang masih menganggur bukanlan aib. Setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda untuk “berjodoh” dengan pekerjaan yang tepat. Sembari terus mencari pekerjaan yang diharapkan, mencoba berwirausaha menjadi salah satu solusi terlepas dari predikat “pengangguran”.

Advertisement

Ada banyak usaha yang bisa dipilih, bahkan tidak membutuhkan modal besar. Siapa tahu, usaha tersebut dapat berjalan sukses menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif