Kolom
Kamis, 14 Maret 2024 - 20:16 WIB

Sawahe Padha Ditanduri Watu

Imam Yuda Saputra  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Imam Yuda Saputra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — “Sawahe dha ditanduri watu [sawahnya ditanami batu],” ucap seorang tetangga saat menanggapi kenaikan harga beras belakangan ini.

Harga sejumlah kebutuhan pokok, termasuk beras, beberapa pekan terakhir memang naik signifikan. Kenaikan harga ini sangat memberatkan masyarakat, terutama menjelang bulan puasa atau Ramadan dan Idulfitri.

Advertisement

Berbagai kalangan menyampaikan pendapat tentang penyebab kenaikan harga beras tersebut. Banyak yang menyebut kenaikan harga beras salah satunya disebabkan anomali cuaca.

Ada juga yang menilai kenaikan harga beras tak terlepas dari bonus demografi atau ledakan populasi penduduka yang membuat permintaan bahan pangan, utamanya beras, kian meningkat.

Ada juga yang menyebut kenaikan harga beras disebabkan program bagi-bagi bantuan sosial (bansos) yang dilakukan pemerintah menjelang pemungutan suara atau coblosan Pemilihan Umum 2024 beberapa hari lalu.

Advertisement

Meski demikian, ada juga yang menyebut kenaikan harga beras itu disebabkan lahan pertanian yang semakin menyempit. Apa pun alasannya, fakta bahwa lahan pertanian semakin menyempit memang berdampak pada produksi padi sekaligus beras.

Ini yang menjadi salah satu penyebab harga beras di pasaran terus merangkak naik.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 1 Maret 2024, luas panen padi di Indonesia pada tahun 2023 menurun atau berkurang.

Luas panen padi di Indonesia pada tahun 2023 turun sekitar 2,29% dibandingkan tahun 2022. Pada tahun 2022 luas panen padi di Indonesia mencapai 10,45 juta hektare dan pada tahun 2023 turun menjadi 10,21 juta hektare.

Advertisement

Penurunan luas area panen itu berdampak pada produksi padi yang pada tahun 2023 menurun  atau berkurang sekitar 1,40% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada tahun 2022, panen padi di Indonesi mencapai 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG), sedangkan pada tahun 2023 hanya sekitar 53,98 juta ton GKG.

Sedangkan produksi beras untuk konsumsi pangan pada tahun 2023 juga menurun sekitar 1,39% dibandingkan tahun lalu. Pada tahun 2022 produksi beras di Indonesia mencapai 31,54 juta ton, sedangkan pada tahun 2023 turun menjadi 31,10 juta ton.

Penurunan panen padi atau produksi beras ini membuat status Indonesia sebagai negara produsen beras berpotensi hilang. Berdasarkan data United States Departement of Agriculture (USDA) pada 2023, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami minus beras atau angka konsumsi lebih besar dibanding angka produksi.

Berdasarkan data USDA itu, Thailand menjadi negara di Asia Tenggara dengan surplus beras terbesar karena produksi beras mencapai 20,9 juta metrik ton dengan angka konsumsi 12,5  juta metrik ton. Surplus 8,4 juta metrik ton.

Vietnam surplus 5,5 juta metrik ton dan Kamboja surplus 1,88 juta metrik ton. Sedangkan Indonesia justru minus karena produksi beras hanya 34 juta metrik ton, sedangkan konsumsi mencapai 35,7 juta metrik ton. Defisit sekitar 1,7 juta metrik ton.

Penurunan produksi beras dan luas area panen padi ini memang bisa disebabkan berbagai faktor. Salah satu alasan yang kerap disampaikan para pejabat pemerintah pusat maupun daerah adalah kondisi cuaca yang tidak menentu atau anomali cuaca.

Terlepas dari anomali cuaca, kita tidak bisa abai dengan fakta bahwa lahan pertanian di Indonesia memang kian menyempit. Masifnya pembangunan hingga ke perdesaan menjadi salah satu penyebab area atau lahan pertanian semakin berkurang.

Sawah-sawah yang dulu ditanami padi kini banyak yang berubah wujud atau alih fungsi menjadi bangunan gedung, perumahan, infrastruktur jalan, hingga tempat-tempat healing seperti kafe dan lain sebagainya.

Ironisnya, alih fungsi lahan ini juga menyasar daerah-daerah yang dulu dikenal sebagai lahan produktif di perdesaan. Banyak sawah di perdesaan yang beralih fungsi menjadi bangunan rumah hingga lokasi wisata.

Bisnis.com memberitakan, berdasarkan data Kementerian Pertanian, lahan pertanian di Indonesia berkurang sekitar 90.000 hektare hingga 100.000 hektare per tahun. Situasi itu membuat kita waswas menyusul terus berkurangnya lahan pertanian.

Oleh karena itulah, pemerintah harus mengawasi secara ketat lahan pertanian agar tidak semakin berkurang. Pemerintah harus mulai bertindak tegas dalam mengantisipasi alif fungsi lahan pertanian.

Daerah yang masuk zonasi lahan subur harus mendapat proteksi ketat agar tidak sembarangan dialihfungsikan menjadi bangunan gedung hingga tempat wisata yang tidak menjamin perekonomian masyarakat secara berkesinambungan.

Selain itu, pemerintah harus mulai memberikan edukasi yang masif kepada semu apihak ihwal pentingnya mempertahankan lahan pertanian.

Jika tidak segera ditangani, niscaya semua lahan pertanian yang potensial bisa beralih fungsi atau sawahe dha ditanduri watu dan berdampak pada ketahanan pangan di negeri ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif