SOLOPOS.COM - Gamaliel Septian Airlanda, dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO-Media massa heboh dengan pemberitaan calon legislatif (caleg) yang mengalami kegagalan hingga depresi, siswa saling adu kekuatan di sekolah dengan membentuk geng, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang tidak percaya hasil Pemilihan Umum. Berita ini mengundang banyak cuitan pro dan kontra di media sosial. Guliran opini mengalir deras hingga obrolan di kantor, sekolah, pasar, pos kamling, transportasi umum dan warung makan.

Fakta di lapangan ditemukan, di awal obrolan biasa seperti layaknya sebuah diskusi. Namun lama kelamaan saling mengundang emosi dan adu kekuatan argumen. Padahal arah pembicaraannya tidaklah jelas produknya. Kejadian seperti ini lazim didapati di kalangan masyarakat akar rumput termasuk siswa, guru, orang tua yang jumlahnya banyak. Fenomena inipun menjelaskan ketidaksiapan seseorang menghadapi kekalahan argumen yang dimaknai dari sisi negatif.

Peristiwa silih berganti hingga menutupi berita-berita positif seperti peluncuran Satelit Merah Putih 2 sebagai upaya pemerataan telekomunikasi di Indonesia, panen raya yang terjadi di Kabupaten Purworejo, ataupun peluang menguatnya IHSG di bursa saham per 27 Februari 2024 (solopos.com). Berita positif bukan menjadi tulisan menarik yang diletakkan di headline sebuah media. Drama ketidaksiapan terhadap sebuah kekalahan atau adu kekuatan adalah tontonan yang membuai pikiran kebanyakan masyarakat. Mengapa demikian?

Dominansi sudut pandang masyarakat lahir dari cara setiap anggotanya mendapat sebuah didikan. Sebuah tulisan dari Universitas Brawijaya dengan judul Mengenali Opini Publik menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi opini publik adalah pendidikan (muwafikcenter.lecture.ub.ac.id). Dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa orang yang memiliki pendidikan kuat cenderung memiliki pandangan secara mandiri, namun yang berpendidikan rendah akan cenderung ikut arus.

Pernyataan tersebut menyentak logika kita. Jadi siapa yang paling berdampak jika media massa secara besar-besaran melakukan blow up ketidaksiapan seseorang terhadap sebuah kegagalan? Namun, di sisi lain muncul sebuah analisis bahwa pendidikan menjadi salah satu cara mensiasati masalah ini.

Pendidikan adalah proses mengelola pikiran, sikap dan keterampilan seseorang yang punya produk jangka panjang. Hasil dari sebuah proses pendidikan tidak bisa muncul dalam 1–2 tahun. Rata-rata indikator indeks keberhasilan diukur ketika seseorang mulai masuk dunia kerja pada usia 20-25 tahun. Hal ini nampak dari cara ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ataupun Indeks Daya Saing Global. Kedua indeks ini menjadi penentu peringkat sebuah negara dibandingkan dengan kualitas negara lain.

Melalui kedua indeks ini bahkan melihat bagaimana sebuah negara berhasil menghadapi kegagalan (repositori.kemdikbud.go.id). Dari indeks keberhasilan ini, dapat disimpulkan bahwa hasil sesungguhnya dari proses pendidikan seseorang tidaklah instan ketika mereka masih di masa studi, ketika siswa lulus semester ataupun tahun pelajaran. Seseorang dapat diukur kualitasnya ketika sudah bekerja. Masa studi adalah periode berlatih mempersiapkan diri menghadapi tuntutan hidup sesungguhnya.

Hasil inilah yang akan menceritakan kesiapan seseorang secara holistik dari situasi nyata dalam hal menyadari adanya masalah, menemukan jalan keluar dari masalah, merealisasikan solusi, mengevaluasi solusi hingga memprediksi masalah yang akan muncul di kemudian hari. Argumen inipun seharusnya meruntuhkan kewajiban semu dari seorang siswa yang diminta harus mendapat nilai 100 atau 10 (nilai sempurna) dalam semua mata pelajaran. Pencapaian itu hanya minim kegunaanya di kehidupan nyata.

Berkaca pada area hasil belajar, pendidikan kita mengatur tentang standar keberhasilan siswa. Capaian Pembelajaran (CP) di Kurikulum Merdeka mengatur tentang kompetensi dan materi yang wajib dan berhasil dikuasai oleh siswa. Namun, belum banyak muncul teknik antisipasi baik dalam kurikulum atau pun kegiatan mengajar di lapangan tentang cara menghadapi ketidakberhasilan.

Stresnya para caleg gagal, ketidakpuasan angka pemilu, hingga banyaknya siswa yang melakukan kekerasan fisik dengan membentuk geng merupakan bukti nyata rendahnya kendali mental, pengetahuan, dan keterampilan menghadapi kegagalan. Harapan dan kenyataan sering tidak sinkron. Tetapi hati dan pikiran ada di bawah kendali manusia untuk disinkronisasi.

Ironisnya, siswa dibuai dengan harapan sekaligus dibekap dengan tuntutan memenuhi kriteria yang ada di kurikulum. Siswa wajib mencapai sesuatu yang telah diatur oleh Peraturan Menteri. Selain itu, guru di lapangan juga terkunci dengan kewajiban pemenuhan CP.

Di mana ruang untuk belajar tentang kegagalan, jika sistem pendidikan hanya mengajarkan wajib mencapai keberhasilan? Apakah di dunia nyata tidak ada sebuah kegagalan? Inilah pertanyaan besar bagi sistem pendidikan Indonesia.

Salah satu pendidikan yang mampu mengajarkan seseorang untuk fasih dan berdamai menghadapi kegagalan adalah pendidikan berbasis kesenian. Proses pendidikan ini sebenarnya telah tumbuh subur di Nusantara. Ketika sebuah kesenian berupa lagu dirasa gagal, nyatanya juga tetap dapat dinikmati dengan rasa gembira. Kesenian tarian tidaklah jelas unsur gagal dan berhasilnya karena kesenian adalah sesuatu yang dapat dinikmati dari segala sisi.

Negara ini hidup dalam budaya luhur yang penuh dengan seni. Filosofi inilah yang perlu dikuatkan dalam sudut pandang kurikulum. Selain namanya Kurikulum Merdeka, perlu ada sebuah teknik untuk belajar merdeka menghadapi kegagalan. Dengan demikian akan ada proses pembangunan manusia yang seutuhnya.

Melalui tulisan ini diharapkan dapat mengangkat suara praktisi pendidikan yang terkunci dengan seruan-seruan keberhasilan atas Capaian Pembelajaran yang diatur pemerintah. Tulisan ini dapat menjadi peluang diskusi cara memunculkan pembelajaran dengan dasar penyelesaian kegagalan.

Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, M.Pd, dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UKSW

Rekomendasi
Berita Lainnya