Kolom
Senin, 24 Agustus 2020 - 20:50 WIB

Siasat Oligarki

St. Tri Guntur Narwaya  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - St. Tri Guntur Narwaya (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Perdebatan tentang politik dinasti kembali mencuat. Profil pemilihan kepala daerah serentak 2020 dibayangi representasi kekerabatan. Perspektif lain melihat ini sebagai hal yang tidak bermasalah. Perspektif ini menilai narasi politik dinasti tak relevan.

Secara prosedural tidak ada yang dilanggar. Perdebatan lalu lebih menguat pada dua arus narasi, yakni satu sisi menyoal problem etika politik dan sisi lain memotret tentang prosedur demokrasi. Dalam jejak panjang pemilihan umum, kontroversi tentang isu ini sebenarnya bukan hal baru.

Advertisement

Pola politik kekerabatan sudah lazim. Demokrasi belum sepenuhnya bisa memutus kultur politik ini. Sistem politik terus mengalami perkembangan, namun kultur feodal ini masih terus bertahan. Garis kekerabatan menjadi modal sosial dan modal simbolis penting.

Karakter kroni kekeluargaan ini sering kali bersenyawa dengan oligarki politik. Keduanya menopang pola-pola pemusatan dan penguasaan sumber-sumber daya politik penting. Ironisnya kedua pola ini bisa eksis dalam tubuh demokrasi.

Sebagian pandangan melihat politik dinasti sebagai fenomena anomali demokrasi. Demokrasi dipercayai sebagai antitesis dari sistem dinasti politik. Sebagian kritik juga menyertakan ada problem pelanggaran etika.

Advertisement

Skema demokrasi secara normatif mensyaratkan kompetisi terbuka yang lebih rasional. Sistem dinasti dianggap akan mereduksi tatanan demokrasi. Sebagian kalangan yang tidak mempersoalkan masih menekankan klaim procedural.

Bahwa tak ada satu pun aturan yang dilanggar dalam pola kekerabatan. Semua warga negara berhak sepenuhnya secara politis untuk berkompetisi secara bebas. Dua perbedaan sudut pandang ini yang kerap mengemuka. Dua-duanya memberikan basis asumsi.

Jika dibaca lebih mendalam, dua sudut pandang narasi ini masih memiliki kelemahan mendasar. Kritik terhadap politik dinasti selama ini tidak cukup kuat menawarkan gagasan yang mampu mengikis modus politik dinasti.

Memang ada problem etika politik dalam nalar kekerabatan, namun basis argumentasi semacam ini terlalu lemah dan mudah dipatahkan. Dalam prosedur demokrasi tidak tegas melarang politik dinasti.

Advertisement

Dalam aturan terbaru tentang pemilihan kepala daerah serentak yang sudah disahkan menjadi undang-undang tidak tertera secara definitif pelarangan atas politik dinasti.

Paradoks dan Ambivalensi

Sebenarnya sudah ada upaya membatasi politik dinasti yang bisa dilihat dalam jejak aturan UU No. 22/2014 yang kemudian diperkuat dalam Perppu No. 1/2014 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo beleid ini diubah dan dikuatkan menjadi UU No. 1/2015 dan selanjutnya direvisi lagi dalam UU No. 8/2015.

Dalam aturan ini setidaknya memberikan batas pelarangan secara lebih ketat. Pasal 7 huruf I UU No. 8/2015, misalnya, menyatakan bahwa syarat calon kepala daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Advertisement

Hal utama yang dimaksud dalam syarat ini adalah bahwa seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman,  bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Jejak ketiga undang-undang tersebut setidaknya pernah ada sebagai komitmen untuk membatasi peluang politik dinasti. Sayangnya, sebelum undang-undang tersebut dijalankan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pada 8 Juli 2015 melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XIII/2015 dan selanjutnya diperkuat dalam UU No. 10/2016.

Landasan pembatalan merujuk pada asumsi bahwa UU tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28 ayat (2). Dengan pembatalan ini maka tak ada norma aturan yang melarang politik kekerabatan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Jika perdebatan ini lalu tak mengindahkan pembacaan dimensi ini, diskursus perdebatannya tak akan menghasilkan kemajuan apa pun. Prosedur dalam demokrasi (liberal) membuka ruang kompetisi yang bebas dan setara.

Advertisement

Setiap warga negara diasumsikan sebagai pribadi rasional yang memiliki hak politik sepenuhnya untuk ikut berpartisipasi dalam kontestasi politik. Tidak ada batasan spesifik yang mengatur soal pelarangan kekerabatan dalam kompetisi demokrasi.

Dalam pola demokrasi semacam ini, peluang politik dinasti sangat terbuka mendapat tempat. Tak cukup itu, demokrasi pada akhirnya tak sepenuhnya mampu menjadi antitesis atas pewarisan kekuasaan oligarki maupun  politik dinasti.

Demokrasi pada akhirnya tidak bisa menjadi tameng yang efektif untuk menjinakkan ekspansi oligarki ini. Dalam banyak hal demokrasi justru mudah dibajak menjadi jalan lapang bagi bersemainya struktur dan kultur politik dinasti. Inilah hal serius dari wajah ambivalensi demokrasi yang sebenarnya.

Menjinakkan Demokrasi

Mengapa demokrasi masih tak cukup kuat menjadi antitesis atas politik dinasti? Problem dasar ini yang harus secara serius dijawab. Transisi demokrasi masih terbata-bata, belum mampu menjinakkan beroperasinya dinasti politik.

Setelah kejatuhan Soeharto, sebagai ikon wajah sempurna dari politik kroni dan kekeluargaan, tak diikuti perubahan yang signifikan. Jeffrey A. Winters (2001) dalam telaah tentang oligarki menjelaskan jauh setelah Soeharto lengeser tak diikuti pergeseran kekuasan.

Advertisement

Winters menyebut sebagai ”oligarki sultanistik”, jenis oligarki yang bisa dijelaskan relasinya dengan fenonmena politik dinasti. Melalui penguasaan sumber daya politik, kekuatan oligarki mampu mendikte dan mengarahkan norma politik dan hukum bekerja.

Kapasitas politik dinasti tak lagi persis melekat pada ciri garis kekerabatan semata (modal sosial/simbolis), namun telah bertransformasi menyangkut relasi penguasaan sumber daya politik yang lebih luas.

Jejak eletoral pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang lalu juga menemukan fakta penting menguatnya oligarki ini. Representasi keterpilihan anggota parlemen hingga kepala daerah sebagian besar didominasi oleh kekeuatan pemilik modal yang menguasai hampir sebagian besar aset bisnis ekonomi.

Data ini belum ditambah fakta bahwa prakrik klientelisme dan politik uang masih menjadi pola dominan yang menentukan hasil kompetisi. Edward Aspinal dan Ward Berenschot (2019) maupun Burhanudin Muhtadi (2020) dalam telaah mutakhir tentang demokrasi dan politik klientelisme memberi catatan dari riset berharga bahwa ada korelasi sangat erat antara dominasi politik uang pada keberhasilan kontestasi pemilu pasca-Orde Baru.

Demokrasi pada akhirnya secara prinsip tak berlawanan dengan praktik oligarki. Dengan begitu, fenomena politik dinasti tak tepat dibaca sekadar  sebagai anomali penyimpangan demokrasi.

Realitas semacam ini meneguhkan bahwa demokrasi  dalam struktur imanennya  tak hanya mudah dimanipulasi oleh kepiawaian oligarki, namun lebih jauh dari itu, secara signifikan justru melembaga dan memungkinkan oligarki dan dinasti politik bisa eksis dan leluasa bergerak.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif