Kolom
Jumat, 8 September 2023 - 09:30 WIB

Skripsi adalah Masterpiece

Tundjung W. Sutirto  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto

Solopos.com, SOLO – Dunia  pendidikan tinggi di Indonesia baru saja dihebohkan tentang skripsi yang tidak lagi wajib ditulis mahasiswa jenjang sarjana dan vokasi. Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi tentang skripsi menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat luas, terutama masyarakat kampus.

Fakta yang menarik adalah banyak rektor yang mengapresiasi keputusan menteri tersebut. Ada rektor yang memamerkan bahwa di perguruan tinggi yang ia pimpin sudah sejak lama tidak mewajibkan penulisan skripsi bagi mahasiswa.

Advertisement

Mengapa skripsi tiba-tiba dianggap menjadi masalah serius terkait kelulusan mahasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi? Mengapa hanya jenjang sarjana atau S1 dan vokasi yang tidak wajib menulis skripsi? Apakah selama ini  skripsi hanya menjadi ritual akademis sehingga perlu diubah dari wajib menjadi sunah?

Sejarah skripsi dalam dunia pendidikan tinggi pararel dengan sejarah perkembangan pendidikan modern. Berawal pada zaman abad pertengahan di Eropa ketika tradisi menulis skripsi bukan murni dari kurikulum perguruan tinggi.

Universitas di Eropa pada abad pertengahan itu mengadopsi fenomena pengakuan dari asosiasi-asosiasi profesi yang mewajibkan seseorang apabila ingin menjadi anggota profesi itu membuat sebuah karya yang dikategorikan sebagai masterpiece (mahakarya).

Advertisement

Karya yang diajukan oleh seorang calon anggota asosiasi profesi itu dinilai dan diuji oleh pengurus asosiasi. Jika karya itu dinilai memenuhi kualifikasi, calon anggota asosiasi profesi itu diberi gelar atau sebutan master di bidangnya dan diterima sebagai anggota asosiasi profesi itu.

Ketika universitas-universitas di Eropa mulai berdiri pada abad pertengahan, tradisi pengakuan keahlian semodel yang dikembangkan oleh asosiasi profesi itu diadopsi menjadi salah satu asesmen untuk mendapat gelar master atau doktor.

Skripsi bukan lahir dari rahim universitas, melainkan dari fenomena unjuk potensi diri yang dikembangkan asosiasi profesi di Eropa pada abad pertengahan untuk seseorang yang ingin menjadi anggota asosiasi profesi.

Secara kumulatif  tradisi membuat masterpiece itu berkembang menjadi istilah scriptie (bahasa Balanda) yang artinya menulis. Di Indonesia pada zaman sekolah dasar dahulu ada istilah “buku sekrip” yang artinya buku tulis.

Advertisement

Substansinya adalah skripsi merupakan pengakuan keahlian yang diwujudkan dalam bentuk menulis (scriptie). Idealnya skripsi sebagai tulisan ilmiah yang taat kaidah keilmuan harus menjadi instrumen untuk mengetahui pola pikir, logika berpikir, dan kerangka pikir penulisnya.

Oleh karena itu, yang terkandung dalam skripsi adalah manajemen berpikir dalam keahlian merumuskan masalah, menganalisis, dan menyajikannya dalam abstraksi secara tertulis. Jika manajemen berpikir kacau, akan terlihat dalam skripsinya. Skripsi haruslah mengandung prinsip masterpiece yang intinya adalah novelty (kebaharuan).

Harus diakui secara kejujuran akademis bahwa faktanya banyak skripsi yang tidak lagi mengandung unsur kebaruan. Tema sama, rumusan masalah sama, tujuan sama, manfaat sama, hanya beda spasial (ruang dan tempatnya).

Banyak konstruksi skripsi yang hanya berbeda secara ekstrapolasi, yaitu menarasikan atau mendeskripsikan dengan gaya bahasa yang berbeda. Misalnya, skripsi dengan tema analisis pasar sebuah perusahaan, maka skripsi berikutnya dan lainnya hanya mengganti nama perusahaan, menggunakan perusahaan yang berbeda.

Advertisement

Persentase plagiat akan menjadi tinggi karena jika diidentifikasi dengan perangkat lunak yang namanya Turnitin akan banyak didapati skripsi-skripsi yang mirip, bahkan sama. Tidak banyak lagi skripsi yang benar-benar menjadi masterpiece.

Substitusi

Saya sependapat bahwa skripsi tidak lagi menjadi syarat wajib bagi lulusan sarjana dan vokasi. Rancangan pengganti untuk syarat kelulusan bisa direkayasa dengan banyak model. Sifat program studi dan fakultas yang bermacam-macam sebaiknya mengembalikan sifat wajib atau tidak wajib menulis skripsi kepada program studi terkait.

Dalam sebuah buku berjudul De Idee Der Universiteit terbitan tahun 1874, dapat diketahui bahwa skripsi adalah bagian dari laporan belajar di perguruan tinggi. Seseorang yang duduk di universitas harus bisa menyampaikan ide dalam bentuk tertulis dari tangannya sendiri ke dunia akademik (geleerde wereld).

Jadi, sebenarnya dari sejarahnya skripsi itu sangat penting. Syarat wajib dari Universitas Amsterdam Belanda (Pasal 10 ayat (4) Handleiding voor Studenten Aan De Vrije Universiteit) menyatakan bahwa untuk ujian sarjana maka skripsi harus diterbitkan.

Advertisement

Artinya, skripsi wajib disusun mahasiswa jika ingin lulus menjadi sarjana di Universitas Amsterdam. Materi kuliah dan hasil studi kepustakaan wajib diterapkan dan dituangkan dalam penulisan skripsi.

Jika ada kebijakan pendidikan tinggi bahwa skripsi tidak wajib lagi lantas apa substitusi dan alternatifnya? Tentu semua model substitusi skripsi dapat dirumuskan yang bobotnya sama dengan skripsi.

Wacana asesmen kelulusan sarjana dan vokasi seperti membuat prototipe mudah dilakukan untuk program studi sains dan teknologi. Untuk program studi sosial humaniora, ruang lingkup prototipe relatif terbatas. Tidak mungkin mahasiswa program studi Ilmu Sejarah membuat prototipe.

Substitusi atau alternatif pengganti skripsi perlu rumusan yang cermat dan butuh waktu yang cukup agar pengukuran derajat kesarjanaan berkualitas. Di beberapa universitas di Australia tidak ada tuntutan menulis skripsi untuk program sarjana.

Di Australia pada program bachelor ada coursework program yang bobotnya setara dengan tugas akhir. Di Amerika Serikat tidak ada kewajiban menulis skripsi untuk meraih gelar S1. Mahasiswa sarjana di Amerika Serikat punya pilihan ujian skripsi atau tesis, professional project berupa film dokumenter, tulisan jurnal atau presentasi ilmiah.

Mahasiswa juga bisa memilih ujian komprehensif berbentuk tulisan. Harus ada banyak pilihan untuk mengukur standar kelulusan sarjana dan vokasi. Semua itu dikembalikan kepada program studi sejalan dengan paradigma pendidikan saat ini, yaitu Merdeka Belajar, Kampus Merdeka.

Advertisement

Mahasiswa tidak lagi menjadikan skripsi seperti hantu yang lebih menakutkan daripada sosok hantunya sendiri. Memang faktanya skripsi bukan lagi sebuah masterpiece sebagaimana genetiknya dahulu pada abad pertengahan di Eropa .

Skripsi kini bukan lagi ritual akademis, hanya untuk bukti bahwa seseorang pernah kuliah. Bukan berarti skripsi tidak baik karena banyak juga skripsi yang kualitasnya lebih baik daripada tesis magister atau bahkan ada skripsi yang ditulis mahasiswa S1 lebih baik daripada disertasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 September 2023. Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif