Kolom
Jumat, 14 Oktober 2022 - 20:35 WIB

Stabilitas dan Produktivitas

Edy Purwo Saputro  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria atau UUPA pada 24 September 1960 secara tidak langsung menjadi cikal bakal penetapan Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September. September lalu, tahun ini, adalah peringatan ke-62.

Peringatan Hari Tani Nasional tidak bisa mengelak dari kajian tentang sektor pertanian pangan yang kini semakin pelik. Ironisnya, pengembangan pertanian pangan terkendala oleh jumlah rumah tangga petani yang semakin berkurang dan luas areal tanam pertanian yang juga semakin kecil.

Advertisement

Selain itu, pertimbangan nilai tukar pertanian yang tidak lagi menjanjikan serta daya tarik impor pangan yang lebih menguntungkan secara tidak langsung berdampak terhadap jumlah pasokan pangan di dalam negeri.

Betapa tidak, saat ini jumlah rumah tangga pertanian di perdesaan semakin berkurang. Argumen yang mendasari karena faktor migrasi sehingga banyak warga desa yang notabene sebagai petani beralih pekerjaan menjadi pelaku usaha di sektor informal di perkotaan. Imbasnya terjadi peningkatan impor pangan setiap tahun.

Ironi impor pangan memberikan gambaran bahwa salah satu tantangan ekonomi adalah pembangunan sektor unggulan di bidang kedaulatan pangan, yaitu target produksi padi. Urgensi target ini adalah untuk meminimalisasi impor pangan, termasuk risiko defisit pangan.

Advertisement

Defisit pangan menjadi ironi bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan ini ditandai dengan impor pertanian pangan yang trennya terus meningkat. Fakta ini secara tidak langsung menjadi peringatan tentang urgensi meningkatkan produksi pangan yang sekaligus berdampak positif terhadap ketersediaan pangan dengan harga murah untuk rakyat.

Pangan adalah faktor penting untuk mendukung stabilitas karena ini terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat dan produktivitas. Jika harga pangan kian mahal, akan memicu kerawanan sosial apalagi pandemi Covid-19 pasti berdampak sistematis terhadap aspek sosial, ekonomi, dan bisnis.

Otonomi daerah harus menciptakan pusat budi daya pangan di daerah sesuai karakteristik dan berkontribusi secara nasional dan juga global. Persoalan tentang pangan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaannya, tetapi juga aspek produktivitas lahan pertanian.

Advertisement

Persoalan alih fungsi lahan saat ini menjadi isu global. Fakta tentang alih fungsi lahan tentu tidak bisa terlepas dari problem mendasar tentang tuntutan ketersediaan perumahan atau permukiman. Oleh karena itu, ledakan jumlah penduduk secara tidak langsung berpengaruh negatif terhadap aspek kepemilikan lahan.

Artinya, ketika jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta jiwa dan kini masih menjadi yang terbesar ke-4 di dunia, maka ini membutuhkan perumahan dan permukiman. Hal ini menjadi pembenar dari ancaman terhadap swasembada dan ketahanan pangan.

Ancaman yang muncul adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap pangan dan akhirnya situasi ini dipenuhi dengan impor pangan yang cenderung terus meningkat setiap tahun. Impor beras dan kerawanan ketahanan pangan mengindikasikan ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan untuk menjaga ketahanan pangan.

Pertama, persoalan tentang lahan. Tidak dimungkiri persoalan lahan adalah penting bagi peningkatan kuantitas dan kualitas budi daya bahan pangan. Ketika luas areal pertanian kian berkurang dengan berbagai faktor penyebabnya tentu ini berdampak serius terhadap kuantitas dan kualitas hasil produksi pangan.

Kedua, infrastruktur yang masih lemah. Komitmen meningkatkan ketahanan pangan dan harapan terhadap swasembada harus juga didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai, termasuk misalnya irigasi dan pengangkutan hasil produksi pertanian pangan.

Dana desa yang jumlahnya terus meningkat bisa dimanfaatkan untuk memacu produksi di sektor pertanian pangan dan produk unggulan di setiap daerah. Otonomi daerah dengan dana desa dan dana kelurahan harus dimanfaatkan untuk memacu produksi pertanian pangan yang akhirnya menciptakan lumbung pangan per daerah sehingga surplus pangan tercipta.

Ketiga, fakyor ketersediaan gudang logistic untuk menyimpan hasil pertanian pangan. Minimnya gudang logistik berpengaruh bagi kualitas pangan. Keempat, ketersediaan benih dan pupuk saat ini merupakan isu penting karena ketersedian benih yang berkualitas dan kelangkaan pupuk menjadi persoalan serius untuk dapat mencapai ketahanan pangan.

Kelima, sektor pertanian pangan selama ini masih dianaktirikan dari pendanaan kredit perbankan karena kondisi daya tarik sektor pertanian pangan yang kian rendah. Oleh karena itu, kredit pertanian tidak memberikan pengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pangan karena nilai tukar pertanian rendah.

Keenam, koordinasi lintas kementerian untuk mendukung sektor pertanian pangan cenderung lemah. Komitmen meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian pangan tidak bisa dibebankan hanya kepada satu kementerian. Paling tidak, alih fungsi lahan dan migrasi pertanian juga melibatkan kementerian yang lainnya. Fakta alih fungsi lahan juga menandai kegagalan era otonomi daerah.

Pertanian Organik

Terlepas dari problem klasik pertanian pangan, di sisi lain ada kecenderungan untuk mengembangkan pertanian organik dan tentunya hal ini menarik untuk dicermati. Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pertanian organik dunia.

Bisa dikatakan pemicu utama pertanian organik di Indonesia adalah tingginya permintaan hasil pertanian organik di negara-negara maju. Permintaan hasil pertanian organik di negara-negara maju dipicu oleh menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami.

Pemicu lainnya adalah dukungan dengan kebijakan pemerintah, dukungan industri pengolahan pangan, akses pasar konvensional yaitu supermarket menyerap 50% produk pertanian organik, harga premium di tingkat konsumen, label generik, dan kampanye nasional pertanian organik secara gencar.

Artinya, ada jaminan terhadap kepastian perkembangan pertanain organik pada masa depan, meski pertanian tradisional terus terancam. Meski sudah ada perkembangan menarik atas pertanian organik, tetapi upaya itu masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat terutama atas kebutuhan pangan, apalagi dikaitkan dengan ketahanan pangan global.

Pertumbuhan permintaan  hasil pertanian organik dunia mencapai 15%-20% per tahun, tetapi pangsa pasar yang mampu dipenuhi berkisar 0,5%-2% dari total produk pertanian. Di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata di bawah 1% (dari total lahan pertanian) pada 2019, menjadi 2%-7% pada tahun 2020 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), tapi tetap saja belum dapat memenuhi pesatnya permintaan.

Realitas ini menjadi kontras jika dikaitkan dengan ketahanan pangan karena di satu sisi ada kesadaran menggunakan produk organik, tetapi di sisi lain muncul kerawanan pangan karena ketidakseimbangan demand dan supply. Situasi ini di Indonesia ditutup dengan impor pangan, apalagi kecenderungannya terus meningkat setiap tahun.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 September 2022. Penulis adalah dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif