Kolom
Selasa, 10 Januari 2023 - 22:33 WIB

Standar Kebenaran

Kaled Hasby Ashshidiqy  /  Syifaul Arifin  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Wonder, sebuah film keluaran tahun 2017 yang diadopsi dari novel berjudul sama karya R.J. Palacio menggelitik saya untuk mempertanyakan kembali makna kebenaran. Film ini mengisahkan tentang seorang anak yang mengalami kelainan fisik. Mukanya berbeda dengan kebanyakan anak 10 tahun pada umumnya.

August Pullman, nama si anak itu, memiliki wajah yang membuatnya dirisak teman-temannya. Untungnya, bocah yang disapa Auggie ini memiliki orang tua dan seorang kakak perempuan yang sangat suportif. Ia memiliki tempat berlindung saat dunia di luar sana tak berpihak padanya. Berkat inner circle yang sangat mendukungnya, Auggie mampu bertahan dan menjadi pribadi yang kuat dan optimis.

Advertisement

Teman-teman Auggie menganggapnya seorang monster hanya karena memiliki wajah tak seperti mereka. Wajah Auggie memang terlihat berbeda, ya bisa dibilang buruk. Tapi apakah hal itu serta membuat Auggie menjadi pribadi yang buruk? Tentu tidak. Justru perilaku teman-temannya yang mencerminkan sikap buruk meski wajah mereka terlihat sangat bagus.

Dalam satu adegan di dalam kelas, salah satu guru Auggie menuliskan kutipan “When given the choice between being right or being kind, choose kind“. Terjemahan bebasnya, “Jika  diberi pilihan antara menjadi benar atau menjadi baik, maka pilihlah menjadi baik”.

Advertisement

Dalam satu adegan di dalam kelas, salah satu guru Auggie menuliskan kutipan “When given the choice between being right or being kind, choose kind“. Terjemahan bebasnya, “Jika  diberi pilihan antara menjadi benar atau menjadi baik, maka pilihlah menjadi baik”.

Jika dihadapkan pada keadaan untuk memilih antara kebenaran dan kebaikan, apa yang akan kita pilih? Kadang menjadi baik itu lebih penting ketimbang menjadi benar, atau sebaliknya. Memang, sulit untuk memilih di antara kebenaran atau kebaikan karena keduanya pada dasarnya sama-sama bernilai positif jika ditempatkan dalam konteks yang tepat.

Orang umumnya menganggap kebenaran satu paket dengan kebaikan. Kebenaran pasti akan membawa kebaikan. Kebaikan pasti didasari kebenaran. Tapi, kenyataannya tidak selalu demikian.

Advertisement

Kebenaran dan kebaikan sama-sama bersifat relatif. Setiap orang mungkin akan punya standar yang berbeda dalam mengukur kebenaran maupun kebaikan. Saya tidak bisa memaksa teman saya yang Nasrani untuk tidak makan daging babi hanya karena itu dilarang di dalam Al-Qur’an. Teman saya yang Nasrani juga tak bisa memaksa saya meminum anggur meski itu dibolehkan dalam agamanya.

Tapi, yang terjadi saat ini banyak sekali orang yang memaksakan “baju” mereka dipakai oleh orang lain. Jika tak mau atau tak pas langsung divonis buruk, jelek, dan hal negatif lain. Kita bisa dengan mudah menemui contoh kasusnya di media sosial. Memasuki tahun politik ini akan lebih banyak lagi contoh kasusnya.

Orang dengan mudahnya saling menghujat hanya karena mereka memiliki pandangan berbeda tentang kebenaran dan kebaikan.

Advertisement

Kadangkala, perlu ada jembatan yang bisa mempertemukan antara kebenaran dan kebaikan. Jembatan itu bernama toleransi. Menyadari bahwa orang lain itu bisa berbeda dengan kita dalam mempersepsikan kebenaran dan kebaikan adalah suatu kebutuhan mendasar yang sejatinya harus dimiliki siapa pun.

Dosen filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Jogja, Fahruddin Faiz, menyebut toleransi ada tingkatannya. Menghargai perbedaan keyakinan atau pandangan orang lain terhadap sesuatu hal itu ada pada tingkatan toleransi paling bawah atau paling dasar. Kalau sikap ini saja tidak dipunyai seseorang, maka orang itu menjadi penyakit di lingkungannya.

Tingkatan toleransi yang kedua adalah mutual understanding. Ternyata kemampuan menghargai perbedaan persepsi kebenaran orang lain aja belum cukup. Sikap menghargai perbedaan saja masih rentan timbul konflik. Kita bisa menghargai orang lain yang berbeda pandangan sepanjang orang lain tidak menyenggol kita. Begitu tersenggol sedikit saja karena tak sengaja, bisa ribut.

Advertisement

Maka diperlukan adanya upaya memahami kenapa perbedaan itu bisa terjadi. Apa latar belakang seseorang memiliki keyakinan atau pandangan yang berbeda dengan kita akan suatu hal. Jika kita bisa memahami sudut pandang mereka, sikap saling menghargai perbedaan ini semakin kuat karena kita tahu alasannya.

Tingkatan yang ultimate atau puncak dari toleransi adalah prokreasi. Pada tingkatan ini pribadi-pribadi yang saling berbeda tersebut punya kemauan untuk berkolaborasi, memikirkan bagaimana perbedaan itu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan orang lain.

Jika boleh sedikit beranda-andai, Indonesia mungkin sudah sangat maju bila bangsa ini memiliki toleransi pada tingkatan tertinggi prokreasi. Kita sudah tidak akan lagi memikirkan apa agama, suku, parpol, capres, dan artis dangdut favoritmu untuk sama-sama berkolaborasi membangun bangsa ini. Perbedaan sudah jadi masa lalu. Kita selesai dengan itu.

Nyatanya yang terjadi, setiap menjelang 25 Desember kita masih ribut soal boleh tidaknya muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani. Di interal sesama muslim pun masih sering terjadi perselisihan tentang boleh tidaknya tahlilan, kunut subuh, dan lain-lain. Belum lagi soal perbedaan pilihan politik yang terbukti telah memecah belah bangsa kita.

Dampak negatif Pemilu 2019 itu masih terasa. Bisa-bisanya istilah cebong dan kadrun masih berseliweran di lini masa media sosial kita. Mau sampai kapan kita begini?

Sebenarnya kita pernah mengalami masa-masa di mana toleransi bangsa ini sudah pada tahap tertinggi. Yes, di masa perang merebut kemerdekaan. Ayah dan kakek kita dulu sama sudah tak lagi memikirkan perbedaan di antara mereka saat berperang melawan penjajah Belanda. Justru mereka berpikir bagaimana memanfaatkan dan mengoptimalkan perbedaan masing-masing untuk bisa mengalahkan musuh bersama, yaitu penjajah Belanda. Mereka sadar harus bersatu untuk menang, untuk merdeka.

Sayangnya, setelah lebih dari 77 tahun merdeka, toleransi kita justru mengalami kemunduran. Apakah kita butuh musuh bersama untuk bersatu? Pasti. Musuh bersama kita saat ini adalah masalah ekonomi, tingginya kasus korupsi, penegakan hukum yang lemah, dan silakan sebutkan lainnya.

Yuk, sudahi sikap sok benar kita dengan merendahkan apalagi sampai menyakiti orang lain. Menjadi baik dan benar itu harus. Tapi kita pun tak perlu memaksakan orang lain menggunakan standar kebenaran dan kebaikan kita yang belum tentu pas bagi mereka.
(Penulis esai ini telah dimuat di Harian Solopos Senin (9 Januari 2023). Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)  

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif