Kolom
Minggu, 26 Februari 2023 - 09:45 WIB

Suara Lirih Lelaki Presto

Febrian  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Febrian (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dua  tahun yang lalu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Solo. Kala itu saya pernah membeli ikan emas di dekat kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Penjualnya adalah bapak-bapak dengan penampilan garang dan tegas.

Waktu itu ia berbicara dengan halus kepada saya. Dengan bahasa Jawa krama inggil dan sopan santun yang membuat saya sangat terkejut karena lemah lembutnya itu. Saya terkejut ketika berefleksi dengan akar budaya saya, yaitu budaya Batak dengan ciri khas suara dan sikap keras.

Advertisement

Saya memang bisa berbahasa Jawa. Saat itu saya katakan,”Nuwun, Bapak. Saya mboten saged basa krama.” Saat itu dia mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba pikiran saya berkecamuk. Pertanyaan yang mengemuka adalah unggah-ungguh dengan bahasa kelembutan itu apakah menjadi salah satu fenomena toxic masculinity yang sedang merajalela?

Ini istilah asing yang dituduhkan kepada orang-orang seperti saya atau bisakah kepada bapak itu juga nantinya? Toxic masculinity dalam beberapa tahun terakhir menjadi gosip hangat di media sosial.

Toxic masculinity adalah tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang lelaki, misalnya lelaki harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.

Advertisement

Saya contohkan diri saya sebagai laki-laki yang dianggap memiliki derajat maskulinitas rendah. Perilaku dan penampilan saya menjadi tolok ukur suatu standar yang saat ini digandrungi oleh banyak teman-teman saya tentang tingkat maskulinitas seseorang.

Toxic itu menyatakan bahwa laki-laki yang menangis, bersedih, bersikap sedikit feminin, dan tidak macho dalam tanda kutip tidak disebut sebagai seorang yang maskulin dalam arti sempit tentang definisi kejantanan.  Lantas apakah memiliki sifat feminin bagi lelaki menjadi hal yang salah?

Yuval Noah Harari berkisah dalam bukunya Sapiens bahwa pada zaman renaissance para raja di Eropa menggunakan wig panjang, stoking, sepatu berhak tinggi, postur tubuh penari dengan pedang besar, yang saat itu dianggap sangat maskulin. Tanpa basa-basi pola seperti itu disebut sebagai simbol kejantanan.

Kecuali pedang, saat ini sisanya dianggap sebagai representasi perempuan. Sementara itu, Nusantara juga memiliki fenomena serupa, yakni Tari Lengger. Dua maestro Tari Lengger, Rianto dan Didik Ninik Thowok, menari dengan lincah gemulai. Apakah mereka tidak terkena imbas dari toxic masculinity? Tentu iya.

Advertisement

Pemikiran ini sebenarnya lebih melihat penampilan dengan menyangkutpautkan sesuatu yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma?umum?yang berlaku. Dalam kacamata lain, perlu diketahui bahwa sebuah karya memiliki nilai estetika yang mampu membiaskan penilaian kita terhadap gender seseorang.

Apakah hal itu bisa menarik kesimpulan dan premis bodoh dengan menyebut bahwa seorang laki-laki tidak boleh memiliki sifat feminin? Harari menyatakan bahwa dominasi sifat maskulin bukan sebuah kekuatan, tapi lebih mengarah pada sikap yang agresif. Bagaimana jika hakikat seorang laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin memiliki sifat yang dinilai sangat maskulin tanpa punya sedikit sifat feminin?

Tentu yang terwujud adalah hal yang sangat agresif dan penuh kekerasan. Definisi tentang kejantanan ini setidaknya memberikan kesan sempit pula pada pemikiran perihal bagaimana seharusnya seorang laki-laki bersikap.

Berekspresi

Sebenarnya hal tersebut sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika seorang anak laki-laki terjatuh dan menangis, orang tua dan orang dewasa di sekitar berteriak untuk tidak mengekspresikan kesakitan tersebut dengan air mata.

Advertisement

Itu yang menjadikan kita selalu menam dalam ingatan bahwa laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang lemah dan tidak jantan. Sebelum berlanjut, bila benar terjadi, menurut hemat saya, pemahaman tersebut layak dikatakan sebagai pengertian pesakitan.

Ilmu kedokteran dan psikologi menyatakan bahwa menangis tidak mencerminkan diri lemah, melainkan menangis memiliki manfaat untuk mendetoksifikasi racun dalam tubuh dan juga sebagai fungsi menaikkan mood seseorang.

Apakah setelah tahu bahwa manfaat tersebut berguna bagi tubuh seolah-olah langsung mengubah pandangan kita terhadap fenomena ini? Tentu tidak. Kita cenderung bebal dan bahkan menjadikan ini sebagai lelucon murahan dalam beberapa podcast, bahkan komentar-komentar pedas terkait fenomena ini di media sosial.

Kita bisa melihat jika seorang laki-laki yang berjoget dianggap banci atau mungkin disebut sebagai lelaki presto (lunak, lemah, lembut). Seorang laki-laki yang memiliki keterampilan make-up juga terkena imbas dari fenomena ini.

Advertisement

Bukan hanya itu, saya yang berpenampilan sangat rare dan berambut panjang juga tak luput dari tuturan-tuturan yang sebenarnya mengarah pada fenomena menyebalkan ini. Di sisi lain, apakah saya harus melakukan kampanye tentang diri saya sendiri dan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap tidak maskulin dengan penyuaraan diri?

Apakah saya harus melakukan kampanye serupa seperti yang dilakukan Greta Thunberg?aktivis lingkungan?tentang isu lingkungan? Saya rasa kita setuju bahwa orang-orang akan menolak melakukan itu karena mungkin dinilai akan menyimpang dari pemahaman umum tentang definisi laki-laki yang harus maskulin dan sangat macho.

Saya jadi tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin seseorang laki-laki tidak dibolehkan memiliki sedikit sifat feminin. Apakah dunia ini akan terasa sangat kaku atau bahkan kita tidak bisa menemukan seorang laki-laki yang lemah lembut? Membahas toxic ini, apakah salah bila berbicara lembut juga dapat diartikan sebagai lelaki dengan maskulinitas rendah?

Bagaimana indikator yang disediakan oleh orang-orang yang meyakini pemikiran ini tentang kesejatian laki-laki itu seharusnya bersikap sehingga ia dapat disebut sebagai laki-laki yang maskulin dan macho? Apakah dalam pekerjaan kita mengategorikan laki-laki yang berdandan dan menari sebagai seorang yang tidak maskulin?

Lantas apakah itu tidak menjadikan kita tidak bebas berekspresi di depan orang-orang? Atau, mungkin dari suaranya yang dinilai harus tegas keras dan sangat lantang? Apakah itu tidak menyalahi aturan konsep kesantunan berbahasa dalam konteks tuturan dalam ilmu pragmatik?

Atau, bahkan kita ditantang untuk tetap telihat maskulin tanpa mengeluarkan air mata ketika orang yang kita cintai pergi atau bahkan sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Masih banyak pertanyaan yang berkelindan di kepala saya.

Advertisement

Sementara itu ada adagium ”diam itu emas” yang membuat saya berhenti bertanya. Sebagaimana yang terjadi di kehidupan nyata bahwa sedikit kesempatan bagi seorang laki-laki dengan tingkat maskulinitas rendah untuk berekspresi dan mengekspresikan suara mereka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Februari 2023. Penulis adalah alumnus S2 Ilmu Linguistik Universitas Sebelas Maret yang tertarik dengan topik-topik gender)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif