Kolom
Rabu, 3 Agustus 2011 - 16:19 WIB

Tafsir pernyataan Marzuki Alie

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fathorrahman Hasbul (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Ketua DPR Marzuki Alie melontarkan pernyataan yang cukup paradoksal. Inti gagasannya, KPK hendaknya dibubarkan dan koruptor sebaiknya dibebaskan jika mau bertaubat dan mengembalikan seluruh uang hasil korupsi kepada negara. Sepintas disimak, pernyataan ini jelas menyimpan muatan politik.

Fathorrahman Hasbul (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Advertisement
Pernyataan tersebut memunculkan multitafsir dari publik. Betapa tidak, di tengah lemahnya proses penegakan hukum, susahnya menangkap koruptor, seorang petinggi negara berani melontarkan premis yang destruktif. Bahasa yang dipakai Marzuki Alie adalah bahasa verbal dengan logika bersayap.

Semantiknya–ambisi membebaskan koruptor yang mengakui kesalahannya–adalah bahasa lain dari usaha untuk membebaskan rekannya di Partai Demokrat seperti Nazaruddin, Andi Nurpati dan sebagainya, meskipun dalam partai keduanya dikesankan saling memunggungi. Logika ”membebaskan” koruptor adalah logika tidak tepat ketika di negeri ini nalar korupsi menjadi identitas yang tak terkelupas.

Advertisement

Semantiknya–ambisi membebaskan koruptor yang mengakui kesalahannya–adalah bahasa lain dari usaha untuk membebaskan rekannya di Partai Demokrat seperti Nazaruddin, Andi Nurpati dan sebagainya, meskipun dalam partai keduanya dikesankan saling memunggungi. Logika ”membebaskan” koruptor adalah logika tidak tepat ketika di negeri ini nalar korupsi menjadi identitas yang tak terkelupas.

Basis gerak korupsi telah menjadi narasi paling besar yang dialami bangsa ini. Ia menjadi semacam malapetaka penggerus kemurnian entitas agung bangsa dan negara. Sehingga pernyataan dari petinggi negara yang sama sekali tidak mendorong laju mencitakan negara yang bersih adalah representasi dari kerja buruk seorang petinggi negara. Jika dianalisis lebih jauh, pernyataan Marzuki Alie menunjukkan; pertama, rasa pesimistis dalam rangka menghukum seberat-beratnya para pemakan uang negara. Rasa pesimistis ini sebenarnya rasa yang sama sekali jauh dari upaya menciptakan negara yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur (makmur dan sejahtera). Pernyataan tersebut sangat oposisional dengan tanggung jawab struktur yang ia emban, khususnya sebagai ketua DPR.

Kedua, mengabaikan kredibilitas dan kerja profesional KPK. Selain pernyataan di atas, Marzuki juga mengungkapkan pernyataan bahwa KPK lamban dalam menangkap pelaku korupsi, karena itu layak dibubarkan. Ini menunjukkan pernyataan Marzuki Alie sebenarnya proses adaptatif yang cukup eksklusif untuk merobohkan mobilitas KPK yang terus bergerak.

Advertisement

Keempat, pernyataan itu menodai proses reformasi birokrasi. Ada indikasi proses aplikasi reformasi birokrasi di negeri ini sebatas wacana an sich. Sangat minimalis para birokrat yang terjerat kasus korupsi berhasil direformasi. Yang ada adalah proses perlindungan terselubung, masif dan politis. Pernyataan Marzuki Alie secara de jure merupakan bagian dari wacana yang mengandung makna pelemahan reformasi birokrasi, karena tidak ada kata sedikit pun yang mengarah pada penerapan hukum (terutama pidana) pada koruptor.

Komunikasi tendensius
Dalam tradisi komunikasi sebagaimana perspektif Little John dan M Griffin (1990), komunikasi Marzuki Alie bisa dikategorikan sebagai bagian dari komunikasi tingkat tinggi. Seorang figur publik adalah representasi publik. Ketika ia tidak mampu mewakili kepentingan dan harapan publik, jelas komunikasi tersebut sama sekali tidak efektif.

Dalam kajian strukturalisme sebagaimana pandangan Ferdinand de Saussure (1943), pernyataan baik lisan maupun tulisan adalah narasi abstraksi yang memiliki proposisi dengan pernyataan dan fenomena di depan dan di belakang (sebelumnya). Bahasa Marzuki Alie adalah sebuah logosentrisme yang erat kaitannya dengan dirinya sebagai orang Partai Demokrat, ketua DPR, fenomena Nazaruddin, kekalahan melawan Anas Urbaningrum dalam Kongres Partai Demokrat dulu dan fenomena politik di negeri ini.

Advertisement

Secara sederhana pernyataan tersebut berhubungan langsung dengan ketidakterusterangan rekannya seperti Andi Nurpati dan ”nyanyian” Nazaruddin menyangkut keterlibatan Anas dan dirinya. Pernyataan tersebut memiliki pertalian struktur yang serupa yakni membela dan menyelamatkan diri dan kroni. Dengan kata lain, peryataan Marzuki Alie merupakan pola dekonstruktif yang kental dengan dimensi kepentingan. Proses komunikasi itu cukup tendensius. Publik kini membutuhkan pernyataan dan komunikasi yang mencerahkan, progres, bukan komunikasi yang oposisional, di mana antara komunikator politik dan publik justru terjadi overlapping of interest berupa kesepahaman pandangan dan paradigma berpikir.

Para elite tidak mampu berkomunikasi secara efektif. Mereka abai pada hal-hal subtansial yang menjadi kubutuhan publik. Kesalahan proses komunikasi akan berimplikasi pada kesalahan persepsi dan tindakan. Dalam perspektif Jalaluddin Rahmat (2001), ketika proses komunikasi tidak tepat, persepsi elite pada kepentingan dan kebutuhan publik juga akan keliru. Pada titik klimaksnya, pola tindakan kaum elite sendiri juga nyaris tidak sejalan dengan apa yang menjadi dasar kebutuhan publik.

Langkah preventif yang penting untuk kita pahami bersama adalah bagaimana posisi KPK sebagai tumpuan fundamental bagi pemberantasan korupsi tetap menjadi lembaga yang memiliki legitimasi kuat. Pernyataan Marzuki Alie yang seakan-akan menganggap KPK ”lemah” sejatinya menjadi titik tolak bagaimana publik memahami semua itu dengan logika terbalik.
Ketika elite tidak mampu menjaga integritas KPK, proses penyelamatan yang paling penting dilakukan adalah bagaimana dorongan publik terus mengalir. Di negeri ini, korupsi tak sekadar budaya, tetapi telah mendekati hiperbudaya, di mana kepentingan, hak dan nurani publik benar-benar telah lenyap. Pada tahap inilah pernyataan Marzuki Alie harus benar-benar diklarifikasi kembali. Tafsir terhadap pernyataan tersebut tak hanya menisbatkan keliru pada Marzuki Alie, melainkan juga kredibiltas DPR dan Partai Demokrat.

Advertisement

Fathorrahman Hasbul, peneliti pada Media Literacy Circle (MLC) Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Jogja

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif