Kolom
Kamis, 16 Mei 2024 - 20:19 WIB

Nihil Wajah Gianni Infantino

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Dari sekian banyak kekecewaan atas kegagalan Indonesia merebut tiket terakhir ke Olimpiade 2024 di Paris karena kalah dari wakil Afrika, Guinea, pada Kamis (9/5/2024) lalu, ada satu momentum yang sangat ingin saya lihat, tapi tidak pernah kesampaian hingga hari ini.

Momentum tersebut adalah tersorotnya muka Presiden FIFA Gianni Infantino ketika skuad Garuda Muda dihukum dua kali penalti ”gaib”, salah satunya menjadi gol yang mengubur mimpi Indonesia ke olimpiade bertanding di cabang sepak bola setelah menunggu 68 tahun.

Advertisement

Hingga saya menulis ini, saya tidak menemukan ada rekaman video atau jepretan kamera, pada siaran langsung RCTI sebagai pemegang hak siar maupun kamera amatir tentang momentum tersebut. Biasanya selalu ada momentum-momentum unik yang terabadikan oleh kamera yang lantas viral di media sosial.

Momentum ekspresi Gianni Infantino ini tidak temukan hingga hari ini. Jujur, saya termasuk dari jutaan pendukung tim nasional Indonesia yang tidak terima Indonesia tersingkir dengan cara yang tidak etis seperti itu.

Mirip yang terjadi pada kualifikasi Olimpiade tahun 1976 yang juga diselenggarakan di Prancis, di Kota Montreal. Kala itu Indonesia tersingkir setelah kalah adu penalti secara fair dengan Korea Utara, skor akhir 4-5. Kali ini Indonesia tersingkir karena penalti yang tidak layak penalti.

Advertisement

Saya penasaran bagaimana ekspresi wajah orang nomor satu di konfederasi sepak bola dunia itu ketika melihat seorang wasit FIFA menghadiahi Guinea dua penalti secara tidak fair. Penalti pertama ketika pemain Guinea Algassime Bah terjatuh ke dalam kotak penalti Indonesia saat mengejar bola umpan rekannya.

Dari tayangan ulang terlihat sentuhan tak sengaja itu terjadi di luar kotak penalti. Artinya ketika terjadi pelanggaran hukumannya adalah tendangan bebas dari luar kotak penalti. Sang pemain Guinea—yang  secara umum ternyata juga pandai main drama seperti pemain Qatar di fase grup Piala Asia U-23—menjatuhkan diri ke kotak terlarang sehingga menjadi alasan wasit memberikan hukuman penalti.

Dalam tayangan ulang terlihat sentuhan dua pemain itu terjadi sekitar 1,5 meter di luar kotak terlarang. Boleh saja wasit tidak melihat jelas, tapi setidaknya ada hakim garis yang memberikan masukan. Faktanya, hukuman langsung dijatuhkan dan gol terjadi. Cuma satu gol membuat Indonesia gagal ke Olimpiade Paris.

Penalti kedua tak bikin geram. Dalam tayangan ulang terlihat jelas tekel Alfeandra Dewangga bersih mengenai bola. Pemain Guinea yang pernah bermain di Barcelona, Ilaix Moriba, bereaksi seolah-olah dia dilanggar dan wasit langsung menghadiahi penalti.

Advertisement

Penalti kedua yang keterlaluan itu membuat Shin Tae-yong kehabisan kesabaran dan dia diusir dari pinggir lapangan oleh wasit. Hawa penjegalan memang tercium sejak awal. Ini pandangan subjektif, tapi setidaknya punya banyaki data pembenar.

Kejanggalan pertama adalah pemilihan lokasi laga play off di Prancis yang bisa dibilang bukan tempat netral meskipun bakal menjadi tempat olimpiade pada Juli 2024 mendatang. Wasit Francois Letexier yang memimpin juga dari Paris, makin menambah kejanggalan.

Seharusnya FIFA mempertimbangkan netralitas pengadil sebab Prancis punya ikatan emosional yang sangat kuat dengan Guinea.  Pada masa lalu Guinea koloni Prancis. Prancis negara kedua bagi masyarakat Guinea. Sebagian besar pemain Guinea merumput di Liga Prancis di berbagai level.

Hubungan Prancis dan Guinea masa lalu mirip Belanda dan Indonesia. Kejanggalan berikutnya adalah rencana penyelenggaraan laga secara tertutup. Melalui laman resmi, FIFA mengumumkan laga tidak boleh disaksikan penonton dengan alasan keamanan. Alasan ini terasa aneh karena tidak pernah ada catatan suporter Indonesia membuat rusuh di negeri orang.

Advertisement

Contoh paling jelas adalah Piala Asia pada Januari 2024 dan Piala Asia U-23. Stadion Abdullah bin Khalifah di Doha, Qatar, selalu dipenuhi pendukung timnasional Indonesia, namun tidak pernah sekalipun terjadi kericuhan. Setelah ramai di media sosial dan PSSI berkomunikasi dengan FIFA barulah laga boleh disaksikan penonton, meski sangat terbatas.

Sangat ironis. Pertandingan hidup mati dalam perebutan tiket olimpiade hanya disaksikan 200-an penonton, sementara nonton bareng di banyak tempat di Indonesia diikuti ribuan suporter di setiap tempat.

Kejanggalan berikutnya adalah pemilihan stadion. Rumput lapangan memang bagus, jelas masuk standar FIFA, tapi itu hanyalah lapangan untuk latihan. Tidak representatif untuk laga penting penentuan nasib sebuah negara ke olimpiade. Ini pelecehan.

Kejanggalan berikutnya, ketiadaan teknologi video assistant referee (VAR). Sangat aneh ketika FIFA justru mengkhianati kebijakan sendiri untuk sebuah laga penting perebutan tiket ke olimpiade. Saya tak sendiri memendam kedongkolan ini.

Advertisement

Sekali lagi kita ikhlas Indonesia gagal ke olimpiade asalkan secara fair play, bukan dengan manipulasi seperti ini. Jika pertandingan dibiarkan berjalan apa adanya, saya yakin Indonesia bisa mencetak sejarah lagi setelah Garuda Muda merangkai banyak sejarah sejak menginjakkan kaki di Piala Asia U-23 untuk kali pertama.

Guinea tak bagus-bagus amat. Anak asuh Kaba Diawara memang unggul pada fisik serta kemampuan eksploitasi skill khas Eropa, tapi secara permainan tim nasional Indonesia bisa mengimbangi, bahkan berpotensi besar mengalahkan mereka.

Akurasi Umpan

Permainan mereka tak istimewa. Statistik pada akhir pertandingan menunjukkan Indonesia unggul dalam penguasaan bola dengan perbandingan 54%: 46%. Garuda Muda juga unggul dalam mengoper bola sebanyak 317 kali sementara Guinea 252 kali.

Kekurangan Indonesia adalah akurasi umpan, yakni 76%, sedangkan Guinea tidak berbeda jauh, di kisaran 80%. Indonesia melakukan tujuh kali tendangan ke gawang dan hanya satu yang tepat sasaran. Kendati Guinea melakukan 13 kali tendangan ke gawang, hanya empat yang tepat sasaran dan tak satu pun yang menjadi gol.

Satu-satunya gol Guinea adalah hadiah gratis dari wasit yang menentukan hasil akhir laga. Nasi sudah menjadi bubur. Protes sekeras apa pun tak akan mengubah keadaan, Indonesia tetap gagal ke Olimpiade Paris  2024. Saatnya Indonesia menatap Piala Dunia yang sesungguhnya.

Peluang Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 untuk kali pertama setelah era kemerdekaan besar seiring bergabungnya sejumlah pemain keturunan berkualitas. Setidaknya ada 11 pemain di skuad tim nasional U-23 yang bisa tampil di tim nasional senior.

Advertisement

Apresiasi setinggi-tingginya untuk tim nasional U-23 untuk prestasi mereka di Piala Asia U-23. Datang sebagai debutan, berstatus sebagai tim medioker berisi skuad termuda turnamen, dan gagah berani melangkah ke semifinal. Menginjakkan kaki di Piala Asia U-23 saja sudah sejarah.

Lolos dari fase grup sejarah, ditambah lolos ke perempat final, bahkan hingga ke semifinal, dan berakhir sebagai juara keempat Asia. Terlepas dari banyak kekurangan, Witan Sulaeman dan kawan-kawan sungguh luar biasa. Ini adalah generasi emas sepak bola Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.

Meskipun liga dalam negeri masih kacau, setidaknya kita mengapresiasi prioritas Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang memilih berkonsentrasi ke tim nasional lebih dulu. Tim nasional adalah pintu terdepan marketing Indonesia di cabang sepak bola.

Prestasi tim nasional Indonesia–senior maupun kelompok umur—membuat dunia terbelalak. Ranking Indonesia yang meroket di FIFA—dari ke-175 pada 2020 menjadi ke-134 pada 2024—menjadikan Indonesia diperhitungkan dunia. Indonesia membuktikan ranking hanya sebatas angka di kertas. Di lapangan Indonesia lebih hebat daripada angka ranking.

Tim senior Garuda merepotkan Irak, Jepang, dan Australia. Tim junior Garuda mengalahkan Australia dan Korea Selatan. Jangan lagi bandingkan dengan Thailand dan Vietnam yang selalu menjadi momok Indonesia dalam satu dekade terakhir. Indonesia kini berada di atas dua negara tetangga itu. Mereka yang sekarang seharusnya ketar-ketir ketika akan bertemu Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif