Kolom
Senin, 10 Oktober 2011 - 10:38 WIB

Untuk apa Brigjen itu?

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - R Bambang Aris Sasangka, wartawan SOLOPOS (JIBI/SOLOPOS/dok)

R Bambang Aris Sasangka, wartawan SOLOPOS (JIBI/SOLOPOS/dok)

Pernyataan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Mulhim Asyrof saat peringatan HUT ke-66 TNI di Alun-alun Utara Jogja, Rabu (5/10/2011), sangat menggelitik. Kepada wartawan dia mengungkapkan pada 2013 ada sejumlah Komando Resor Militer (Korem) yang akan dipimpin perwira tinggi berbintang satu atau brigadir jenderal (SOLOPOS, Kamis (6/10/2011)).
Advertisement

Alasan peningkatan pangkat Danrem itu ”untuk peningkatan pelayanan keamanan kepada masyarakat.” Pangdam menyebut sejumlah daerah memiliki ”beban tugas lebih berat dan tingkat kerawanannya tinggi.” Pernyataan Pangdam ini menurut saya terkesan mengulang pemikiran yang pada masa Orde Baru selalu didengungkan yaitu adanya kerawanan wilayah yang membutuhkan kehadiran militer sebagai stabilisator dan dinamisator keamanan.

Selain itu, penempatan perwira tinggi bintang satu untuk memimpin sebuah komando kewilayahan atau teritorial dengan luas wilayah lebih kecil dari provinsi juga menonjolkan kesan pemborosan ketimbang pemenuhan kebutuhan strategis. Banyak hal yang bisa dipertanyakan dari pernyataan Pangdam ini. Yang paling utama tentu apa definisi dari kerawanan dan beban tugas berat seperti yang disampaikannya.

Advertisement

Selain itu, penempatan perwira tinggi bintang satu untuk memimpin sebuah komando kewilayahan atau teritorial dengan luas wilayah lebih kecil dari provinsi juga menonjolkan kesan pemborosan ketimbang pemenuhan kebutuhan strategis. Banyak hal yang bisa dipertanyakan dari pernyataan Pangdam ini. Yang paling utama tentu apa definisi dari kerawanan dan beban tugas berat seperti yang disampaikannya.

Istilah yang sangat abstrak itu di masa lalu mungkin sudah menjadi ”jamu mujarab” untuk membungkam pertanyaan orang, namun di era sekarang justru bisa memicu kontroversi. Kerawanan seperti apa yang dimaksud itu, yang harus dijawab dengan menghadirkan seorang jenderal untuk ”terjun” ke daerah? Apakah kerawanan yang dimaksud terkait dengan terorisme?

Jika masalah ini ditanggapi dengan memekarkan struktur organisasi militer, jelas bukan jawaban yang tepat. Masalah terorisme adalah masalah keamanan dalam negeri yang tanggung jawab penanganannya di tangan Polri, mulai dari pendeteksian sampai penindakan. Ini sejalan dengan di negara demokrasi modern lainnya. Institusi kepolisian atau penegak hukum (law enforcement) menjadi ujung tombak dan pemegang peran utama. Jika alasan yang dikemukakan adalah agar TNI–dalam hal ini TNI-AD–mampu mendukung tugas Polri, penempatan perwira tinggi di daerah ini justru makin tidak pas.

Advertisement

Dari tahun-ke tahun, isu utama yang mencuat terkait TNI adalah minimnya anggaran pertahanan karena harus mengalah dengan kebutuhan anggaran lain yang lebih mendesak seperti untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, aneka subsidi dan sebagainya. Dampak keterbatasan anggaran ini adalah tidak segera terpenuhinya kebutuhan pemutakhiran alat utama sistem senjata (Alutsista). Atau ketika pemutakhiran itu akhirnya dilakukan, jumlah dan kualitasnya belum signifikan untuk dijadikan sebagai sarana tawar politik internasional dengan fungsi sebagai penggentar atau deterrent.

Karena itu, rencana peningkatan status komandan Korem menjadi perwira berbintang satu justru berpotensi merongrong anggaran pertahanan yang masih terbatas itu, meski sudah ada janji dari pemerintah bahwa nilai anggaran terus ditingkatkan. Peningkatan status ini jelas akan diikuti dengan pemekaran struktur birokrasi, penyediaan fasilitas dan sebagainya yang menyedot lebih banyak anggaran, dengan kemanfaatan langsung yang tidak jelas.

Tak sesuai zaman
Kebijakan ini juga akan memancing lagi kontroversi soal komando teritorial yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Komando teritorial di Indonesia punya peran yang berbeda dibandingkan komando teritorial di negara lain, seperti Territorial Army di Inggris, Rejimen Askar Wataniah di Malaysia atau National Guard di AS. Di negeri-negeri itu, komando teritorial berfungsi sebagai pembina program wajib militer. Komando teritorial berfungsi merekrut, melatih dan membina warga masyarakat yang mengikuti wajib militer dan lantas menjadi personel komponen cadangan, atau dalam istilah di Indonesia disebut sebagai rakyat terlatih atau Ratih, yang hingga kini masih dalam tataran konsep.

Advertisement

Di Indonesia, komando teritorial lahir dari kebutuhan perang gerilya setelah Proklamasi Kemerdekaan, ketika Indonesia harus berkali-kali menghadapi agresi militer Belanda. Dalam kondisi konflik yang tidak seimbang itu–Belanda menggelar kekuatan dengan perangkat militer modern, para tokoh TNI seperti Panglima Besar Sudirman dan AH Nasution menetapkan strategi perang gerilya dengan sistem kantong-kantong atau wilayah (wehrkreise). Dari sini lahir konsep perang rakyat semesta. Rakyat dan TNI melebur dalam satu kegiatan perjuangan bersama.

Dalam perkembangannya, seperti diuraikan Salim Said dalam bukunya Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi (Aksara Karunia, Jakarta, 2002), komando teritorial berkembang sebagai alat militer untuk memperkuat posisi politik, khususnya ketika pemerintah Orde Baru tumbuh dan berkembang. Jaringan komando teritorial yang hampir setara dengan pembagian wilayah administratif pemerintahan mulai dari pusat, provinsi atau kumpulan provinsi (dengan Kodam), bekas karesidenan (dengan Korem), kabupaten (merata dengan keberadaan Kodim) hingga kecamatan (melalui Koramil) dan bahkan desa (dengan penempatan bintara pembina desa atau Babinsa), memudahkan pemerintah mengontrol situasi politik dan memanfaatkan keluasan jaringan ini untuk kepentingan politik.

Seperti diuraikan dalam tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik UI oleh Mulyadi pada 2004 dengan judul Komando Teritorial TNI AD Pascagerakan Mei 1998: Studi Kasus Pembentukan Kodam Iskandar Muda dan Kodam Pattimura, komando teritorial di Indonesia rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau kepentingan lain di luar kebutuhan pertahanan.

Advertisement

Istilah ”kerawanan” yang dipergunakan Pangdam selalu digunakan pada era Orde Baru mengacu pada masalah sosial politik yang dinilai merongrong wibawa pemerintah. Akibatnya seperti dijelaskan Mulyadi, ”kerawanan” ini justru ada di kota-kota besar yang penuh dengan warga kelas menengah yang terpelajar dan kritis, bukannya kerawanan riil dalam arti masalah pertahanan yaitu daerah-daerah perbatasan dengan negara lain.

Kita perlu mengritisi rencana penempatan perwira tinggi berbintang satu di Korem. Harus ada jawaban yang jelas dan tegas, untuk tujuan apa sebenarnya rencana ini? Jangan sampai istilah ”kerawanan” yang dikemukakan itu ternyata pengulangan alasan sama dari era Orde Baru. Istilah ”kerawanan” ini bisa menjadi kedok untuk ”memanfaatkan” militer demi kepentingan-kepentingan politik atau yang lainnya dan mengabaikan fungsi ideal yang harus terus dibangun sebagai perangkat pertahanan nasional yang modern dan profesional.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif