Kolom
Selasa, 25 Oktober 2022 - 01:34 WIB

Wajah Kedamaian Kiai Dian Nafi’

Ajie Najamuddin  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ajie Najmuddin (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Menjelang waktu Isya awal Oktober 2022, pengasuh Pesantren Al Muayyad Windan, Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah, K.H. M. Dian Nafi’ wafat.

Saya mengingat salah satu perjumpaan dengan Pak Dian, begitu saya kerap memanggilnya, di Pesantren Al Muayyad Windan pada 2017. Kala itu, Pesantren Al-Muayyad Windan belum direnovasi. Seusai mengikuti salat berjemaah, saya dipersilakan menuju aula pondok. Pak Dian menyambut saya dengan hangat.

Advertisement

Pak Dian kelahiran Sragen pada 4 April 1964. Sejak masa kecil ia tumbuh di pondok pesantren. Ayahnya K.H. Ahmad Djisam Abdul Mannan, perintis Pesantren An-Najah, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah.

Ibunya adalah Hj. Siti Fathonah binti Barmawi, lulusan Al-Muayyad tahun 1956. Pak Dian adalah cucu K.H. Abdul Mannan, pendiri Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Kota Solo. Sejak berusia delapan tahun ia tinggal di Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Kota Solo,  belajar kepada pakdenya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, yang biasa disapa Mbah Umar.

Advertisement

Ibunya adalah Hj. Siti Fathonah binti Barmawi, lulusan Al-Muayyad tahun 1956. Pak Dian adalah cucu K.H. Abdul Mannan, pendiri Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Kota Solo. Sejak berusia delapan tahun ia tinggal di Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Kota Solo,  belajar kepada pakdenya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, yang biasa disapa Mbah Umar.

Mbah Umar ulama Al-Qur’an yang wafat pada 1980. Kedekatan dan kebersamaan yang cukup lama dengan Mbah Umar memberikan banyak pelajaran berharga baginya. Mbah Umar adalah sosok yang menginspirasi. Pak Dian menceritakan salah satu kisah. Pernah suatu ketika Mbah Umar mendapat kiriman surat bertinta merah.

”Diperlihatkannya surat tersebut kepada saya, isinya begitu keras dan kasar bahasanya. Saya bertanya: lantas bagaimana, Pakde? Pakde menjawab: Saya akan sowan kepada sang pengirim,” kata Pak Dian kepada saya.

Advertisement

Rekonsiliasi

Kariernya sebagai pegiat rekonsiliasi dimulai dari kerja sama dengan tim pada 2000-2003, ketika bertugas di medan konflik di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.

Melalui proses yang panjang dan melelahkan, akhirnya semua usaha tim membuahkan pelajaran yang positif. Pelajaran itu adalah perdamaian bukanlah hadiah, melainkan buah dari perjuangan tulus dari para pihak yang terlibat dalam persengketaan untuk mencapai perdamaian di antara mereka.

Kesuksesan itu kemudian menjalar ke daerah lain. Tim Pak Dian diminta memfasilitasi pertemuan tokoh-tokoh Dayak dan Madura di Jakarta dan Bogor. Pada akhir Juni 2014 bersama sejawatnya Pak Dian hadir dalam pertemuan segitiga, yaitu 65 orang tokoh adat Papua dan Maluku, wakil-wakil dari 11 perusahaan tambang minyak dan gas dalam dan luar negeri, dan SKK Migas.

Advertisement

Banyak pengalaman mengesankan dan pelajaran berharga yang diperoleh dalam tugas-tugas semacam itu. Keberhasilan Pak Dian menyemai perdamaian membuka kesempatan belajar di forum dan konferensi-konferensi internasional

Berbagai pengalaman berkesan dan pelajaran berharga didapat selama melakukan pendampingan. Hari-hari mendampingi korban kerusuhan belakangan membuatnya bersyukur atas latar belakangnya sebagai santri. Budaya pesantren yang ramah pada perbedaan telah membekalinya wawasan bahwa di balik kemajemukan terdapat potensi besar untuk membangun integrasi bangsa Indonesia.

Menurut Pak Dian, keunikan gaya pendidikan pesantren ifmembangun kemampuan perseptual dalam diri para santri, yakni kemampuan memahami realitas yang melintasi batas kewajaran. Pergulatan yang intens dengan teks-teks kenabian membekali mereka dengan kearifan yang mampu menangkap makna-makna simbolis, sehingga tidak mudah memvonis orang lain.

Advertisement

Pelbagai nilai dan pelajaran yang ia dapatkan semasa aktif dalam proses rekonsiliasi juga ia turunkan kepada para santrinya. Dalam beberapa kesempatan, Pak Dian senantiasa mengajak para santri menjadi garda terdepan membangun perdamaian sesuai dengan misi Islam sebagai pembangun perdamaian. Santri perlu belajar dari banyak sumber, termasuk masyarakat, agar dapat menjadi pendamping yang baik.

”Santri harus menjadi pribadi yang mendamaikan. Jangka pendeknya dapat melerai pertikaian, jangka menengah memulihkan hubungan, dan jangka panjangnya ikut membangun relasi yang adil,” tutur Pak Dian.

Pendidikan multikultural dalam pembelajaran di Pesantren Al-Muayyad Cabang Windan menjadi kunci kesadaran para santri mempersiapkan diri hidup bermartabat di ruang publik. Santri dituntut mampu menyiapkan kebutuhan sendiri, menyelesaikan masalah, menyusun setiap rencana dengan baik, berperan positif dalam kerja tim, serta mampu menerima berbagai budaya dan pemikiran warga yang berbeda agama.

Tiga Pertanyaan

Sejak tahun 1996 hingga kini, Pak Dian diberi amanah mengasuh Pesantren Al-Muayyad Windan. Lambat laun, pesantren Al-Muayyad Windan mendapatkan respons yang baik dari masyarakat. Pada awal santri hanya tujuh orang. Kini alumninya hampir seribuan. Mereka para mahasiswa yang berasal dari beberapa pulau di Indonesia.

Di mata para santri, Pak Dian adalah kiai yang disiplin, arif, penyayang, profesional sekaligus humoris. Santri-santri juga menganggapnya sebagai bapak, pendidik, sekaligus teman belajar yang sangat asyik. Penerima Solopos Award dan Penghargaan Rektor UNS sebagai Alumni Berprestasi ini tidak sekadar menyampaikan wejangan kepada santri, tetapi juga memberikan contoh agar santri cakap menerapkan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Yang khas dalam pola pengajaran di Pesantren Windan adalah dalam tiga tahun pertama para santri diberi tugas untuk menjawab tiga pertanyaan pokok. Pertama, siapa saya? Kedua, siapa diri ini bersama orang lain? Ketiga, siapa diri ini untuk orang lain? Setiap level perlu dijawab oleh santri dalam waktu satu tahun lamanya. Santri harus menemukan siapa jati diri yang sesungguhnya itu.

“Dengan itu Al-Muayyad Windan meneruskan tradisi tua pesantren Nusantara, yaitu dalil agama diupayakan menubuh ke dalam pengamalan para santri, kemudian dikaitkan dengan pengalaman pendampingan masyarakat agar mereka dapat hidup bermartabat di ruang publik,” kata Pak Dian.

Pak Dian juga dikenal produktif menulis. Sejumlah karyanya antara lain Mendayung Juanga, sebagai anggota tim penulis, Jakarta: PPRP, 2003; Menuju Rekonsiliasi Halmahera, sebagai anggota tim penulis, Jakarta: PPRP, 2003; Menimba Kearifan Masyarakat, kumpulan tulisan, Sukoharjo: Amwin Institute dan Pustaka Pesantren, 2004;  Praksis Pembelajaran Pesantren, sebagai ketua tim penulis, Sukoharjo: Yayasan Selasih bekerjasama dengan ITD Amherst Massachussetts dan Forum Pesantren, 2007.

Kemudian, Fikih Puasa untuk Remaja, Jakarta: Inti Medina (Tiga Serangkai Group), 2008; Aqiqah dan Hikmahnya, Jakarta: Inti Medina (Tiga Serangkai Group), 2009; dan Penanganan Kekerasan Berbasis Agama: Naskah Akademik Diajukan kepada Walikota Surakarta, sebagai aggota tim penulis, Surakarta: Spek-HAM, Commitment, dan FKPI, 2010.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Oktober 2022. Penulis adalah Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif