SOLOPOS.COM - Daryanto (JIBI/SOLOPOS/dok)

Hari ini, suasana memperingati HUT ke-66 Kemerdekaan RI masih terasa kental. Nuansa dwi warna merah-putih dan lampu penjor masih menghias seluruh pelosok negeri tercinta. Ini menandakan rasa suka cita bangsa mensyukuri kemerdekaan yang diraih dengan perjuangan keras.

Daryanto (JIBI/SOLOPOS/dok)

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Kemarin, pada puncak acara Peringatan HUT ke-66 Kemerdekaan RI banyak kalangan membicarakan pidato Presiden SBY yang disampaikan pada 16 Agustus. Optimisme mendominasi isi pidato tersebut yang menggugah semangat menyongsong masa depan gemilang. Terlebih jika menyimak angka-angka statistik pembangunan yang melompat signifikan jika dibandingkan masa awal reformasi. Pertumbuhan ekonomi 1998 yang minus 13%, kini sudah mendekati 7%. Demikian pula angka kemiskinan dan pengangguran terus ditekan. Catatan utang kepada IMF yang tadinya menjulang kini sudah terbayar.

Bahkan Indonesia yang saat ini merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara disebut-sebut sebagai emerging economy. Kondisi itu menjadikan RI pada 2-3 dasawarsa mendatang berpeluang sangat baik untuk menjadi salah satu negara dengan skala ekonomi sepuluh besar di dunia.

Namun, di sisi lain, sebagai negara agraris Indonesia juga masih tercatat sebagai negara besar pengimpor pangan dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada semester I 2011 impor pangan nasional sudah mencapai Rp 45 triliun, dengan komoditas impor cukup menonjol yang tergolong bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan keseharian, seperti beras, gula, terigu, kedelai dan bawang merah.

Krisis karakter
Kendati demikian, pencapaian optimisme masa depan Indonesia itu harus didukung untuk kemakmuran bersama dengan langkah konkret mulai saat ini juga. Tanpa itu, niscaya cita-cita tersebut akan terus menggantung di awang-awang, terlebih jika melihat setumpuk problem baru yang muncul sebagai akibat dari “kebebasan” pascareformasi, terutama yang mengemuka belakangan ini, yaitu krisis karakter kebangsaan.

Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan kerusakan moral individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk budaya atau kebiasaan. Fenomena sosial-ekonomi yang mencuat belakangan ini, baik di panggung politik maupun berbagai sendi kehidupan masyarakat yang sarat konflik, kriminalitas, korupsi, disintegrasi dan melemahnya peran dunia pendidikan ditengarai sebagai gejala degradasi karakter kebangsaan yang dikhawatirkan menjadi “hama” bagi suksesnya pembangunan.

Menguatnya sentimen daerah, sejak pelaksanaan otonomi daerah pada 1999, hingga saat ini telah melahirkan 205 daerah daerah baru, terdiri tujuh Provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Akibatnya, alokasi anggaran yang sesungguhnya diperuntukkan meningkatkan kesejahteraan rakyat, banyak yang harus dialihkan untuk pembangunan fasilitas pemerintahan, belanja pegawai dan keperluan lain bagi pemekaran daerah baru.

Krisis karakter juga berdampak terhadap menurunnya kualitas kehidupan masyarakat luas. Hal ini dapat mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama sehingga kemerdekaan yang diraih tidak dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkembangkan kekuatan menjadi bangsa maju dan bermartabat di antara bangsa lain di dunia.

Peran pendidikan
Melihat gejala degradasi karakter kebangsaan tersebut, sejumlah teori mengemukakan pentingnya reorientasi pendidikan nasional sebagai sarana paling efektif membangun persamaan persepsi antarkomunitas sehingga terjalin komunitas besar yang memiliki karakter jelas dan kuat sebagai karakter bangsa yang sesungguhnya. Sebab, karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Jika pendidikan gagal dalam membangun persepsi antarkomunikasi, yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan, serta akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya karakter bangsa.

Jika selama ini pendidikan dianggap gagal dalam membangun karakter bangsa, perlu dilakukan revitalisasi terhadap komponen pendidikan seperti pendidik, peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional. Cukup melegakan bahwa pemerintah masih memasukkan bidang pendidikan dalam tiga besar pengalokasian anggaran dari 11 program prioritas RAPBN 2012, setelah pertahanan dan pekerjaan umum.

Sejauh ini anggaran pendidikan terus mengalami peningkatan hingga melampaui amanat konstitusi minimal 20% APBN. Alokasi anggaran pendidikan nasional 2012 itu diprioritaskan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun nonformal di semua jenjang pendidikan.
Tentu anggaran bukanlah segalanya bagi sukses sebuah program, namun setidaknya hal itu akan membantu percepatan pelaksanaannya di lapangan, di tengah isu menguatkan kearifan lokal sebagai garis awal membangun karakter kebangsaan.
Lakukan saja sekarang, mulai dari lingkungan terkecil yang ada di sekitar kita. Niscaya cita-cita memiliki persepsi kebangsaan yang kuat dan jelas segera terwujud. Dirgahayu Republik Indonesia!

Daryanto, Wakil Bupati Sragen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya