SOLOPOS.COM - Dona Alloydya Shafira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Pernahkah Anda mendengar tentang burnout? Kita sering kali mendengar istilah burnout atau malah mungkin ada yang belum pernah mendengar istilah tersebut. Menurut Pines dan Aronson dalam Nursalam (2015), burnout adalah istilah yang menggambarkan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental.

Penyebabnya keterlibatan individu dalam situasi yang penuh tuntutan emosional dalam jangka panjang. Cordes dalam Law (2007) menyatakan burnout memiliki keterkaitan dengan kemunduran dalam hubungan interpersonal dan berkembangnya perilaku negatif yang dapat merusak individu.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Burnout bisa terjadi karena beberapa faktor. Leiter dan Maslach dalam Nursalam (2015) membagi beberapa faktor penyebab munculnya burnout, yaitu work overload, lack of work control, rewarded for work, breakdown in community, treated fairly, dan conflict values.

Work overload adalah kondisi individu melakukan terlalu banyak pekerjaan dalam waktu yang singkat. Lack of work control berhubungan dengan aturan yang terkadang membatasi individu dalam berinovasi. Rewarded for work adalah apresiasi yang kurang dari lingkungan.

Breakdown in community yaitu individu kurang merasa memiliki lingkungannya. Treated fairly merupakan perasaan ada ketidakadilan dan conflict values adalah individu melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

Apa hubungan antara burnout dengan mahasiswa? Bisakah mahasiswa mengalami burnout? Tentu saja. Burnout juga sering dialami mahasiswa yang secara lebih spesifik disebut sebagai academic burnout. Seorang mahasiswa dihadapkan dengan berbagai tuntutan untuk membantu proses adaptasi dengan lingkungan kerja yang sesungguhnya.

Seorang mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan, keterampilan sosial, hingga metode belajar yang sangat berbeda dari jenjang pendidikan sebelumnya. Saat berkuliah, mahasiswa diharapkan mampu memenuhi berbagai tuntutan, seperti tugas kuliah, materi yang semakin sulit, pemenuhan harapan untuk mendapatkan pencapaian akademis yang memuaskan, sampai hal-hal kecil seperti jalinan pertemanan atau penyesuaian dengan interaksi sosial di sekitarnya.

Jika mahasiswa tidak dapat menangani masalah perkuliahan tersebut dengan baik, membuat mahasiswa rentan mengalami academic burnout. Schaufeli dan rekan-rekannya (2002) mendefinisikan academic burnout sebagai perasaan lelah disebabkan tuntutan akademis, bersikap sinis (tidak peduli) terhadap tugas -tugas perkuliahan, dan timbulnya perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa.

Sebenarnya ada beberapa hal yang menandakan seseorang mengalami academic burnout. Hal ini perlu diketahui agar kita bisa mewawas diri terhadap kondisi kesehatan mental diri sendiri, terutama dalam hal academic burnout yang terkadang tidak disadari oleh individu.

Artikel Elizabeth Scott yang dikutip dari Verywellmind menjelaskan gejala-gejala yang dirasakan seseorang saat burnout terdiri atas gejala fisik, gejala emosional, dan gejala perilaku. Stres kronis akibat burnout dapat menyebabkan gejala fisik, seperti sakit kepala, sakit perut atau masalah pencernaan, gangguan tidur, dan imunitas yang menurun sehingga mudah terserang penyakit.

Gejala emosional juga dapat muncul saat seseorang mengalami academic burnout, yaitu merasa energinya terkuras, tidak mampu mengatasi masalah, kelelahan, kekurangan energi untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan gejala perilaku antara lain berpandangan negatif atau perasaan tidak menyukai tugas-tugas yang harus dikerjakan, kesulitan dalam berkonsentrasi, dan sering kali kreativitas menurun.

Academic burnout yang terjadi pada mahasiswa dan tidak teratasi dengan baik dapat menimbulkan berbagai hal negatif. Mahasiswa akan mengalami penurunan performa di bidang akademis. Mahasiswa sering membolos dari kelas, tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik, tidak maksimal dalam ujian, hingga menarik diri dari hubungan pertemanan atau lingkungan sosial.

Konseling

Ia merasa tidak percaya diri terkait dengan kemampuan akademisnya, sulit berkonsentrasi dalam proses belajar, mengalami kebosanan dalam segala kegiatan akademis, dan bermasalah dalam manajemen waktu. Jika semua hal ini dibiarkan begitu saja, terbuka kemungkinan akan mengakibatkan masalah, termasuk drop out (DO) dari universitas bahkan hingga depresi yang berujung bunuh diri.

Academic burnout menimbulkan banyak dampak negatif yang tentu juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi individu yang mengalami, bahkan juga orang-orang di sekitarnya. Apa yang seharusnya kita lakukan ketika teman atau orang terdekat kita mengalami academic burnout? Atau, bagaimana jika kita sendiri yang mengalaminya?

Yang pertama harus dilakukan adalah memberikan kesempatan bagi tubuh dan pikiran untuk beristirahat. Jika sudah merasa lelah, tidak baik untuk terus memaksakan diri mengerjakan tugas karena hasilnya pasti tidak akan maksimal.

Beristirahat sejenak dan melakukan hal-hal yang disukai, seperti mendengarkan musik, memasak, melukis, atau membaca. Aktivitas demikian bisa membantu mengembalikan semangat dan menjernihkan pikiran sehingga bisa kembali menyelesaikan tugas dengan baik. Intinya adalah memberikan waktu terlebih dahulu kepada diri sendiri.

Academic burnout sering kali terjadi karena individu tidak mampu mengatur pembagian waktu mengerjakan tugas yang banyak, sedangkan waktu yang tersedia singkat. Hal inilah yang membuat kita terkadang kewalahan dan menjadi stres yang dapat berkembang menjadi academic burnout.

Oleh karena itu, membuat daftar prioritas juga bisa menjadi salah satu cara mengatasi academic burnout. Kerjakan terlebih dahulu tugas-tugas yang dianggap penting dan mendesak. Ini akan membuat kita lebih fokus dan teratur dalam mengerjakan tugas.

Prioritas yang dibuat harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing agar ilmu yang didapatkan bisa diterima secara maksimal dan tidak menimbulkan kelelahan fisik maupun emosional. Dukungan sosial dari orang-orang di sekitar juga dapat berpengaruh dalam mengatasi academic burnout.

Cobalah berkumpul dan mengelilingi diri dengan orang-orang yang positif dan dapat dipercaya. Ketika sudah merasa mengalami academic burnout, kita bisa mencoba menghubungi teman atau keluarga untuk bercerita tentang hal yang sedang dialami. Ketika menceritakan permasalahan yang dialami kepada orang lain, dapat membuat kita merasa lega dan akhirnya bisa rileks kembali.

Setelah itu memiliki semangat baru dalam menyelesaikan tugas karena mendapatkan dukungan dari orang terdekat. Jika memang merasa ragu dalam menceritakan suatu masalah kepada teman-teman atau keluarga, bisa mendatangi psikolog atau tenaga profesional lainnya agar bisa memberikan saran dan masukan yang tepat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Oktober 2022. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya