SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto P.A. (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Atas  berkat, perlindungan, dan pertolongan Tuhan, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, akhirnya Sinuhun Paku Buwono II beserta seluruh keluarga, kerabat dalem, para abdi, dan seluruh rakyat Jawa bisa melewati cobaan besar yang mengancam kedaulatan Mataram Islam.

Itu semua harus dibayar dengan rusaknya bangunan dan benteng Keraton Kartasura Hadiningrat, ibu kota Kerajaan Mataram. Para pemberontak (1742-1743) mengobrak-abrik kedhaton. Setelah Sinuhun berhasil merebutnya kembali, ia merasa Kartasura tidak lagi bisa dijadikan pusat kerajaan dan pemerintahan.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Beberapa abdi kepercayaan mencari tempat pengganti. Dengan sepenuh usaha dan berbagai pertimbangan, dipilihlah Desa Sala sebagai tempat Keraton Mataram yang baru. Desa Sala adalah dataran rendah di tepi Bengawan Solo yang sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa yang ditumbuhi banyak pohon sala.

Desa ini wilayah yang secara alami terbentengi gunung dan pegunungan; dikelilingi desa-desa yang reja dan subur; dilewati belasan anak sungai, yang juga adalah jalur utama lalu lintas perdagangan antarwilayah. Desa Sala memenuhi syarat sebagai pancer dalam konsep kosmologi Jawa: papat kiblat lima pancer.

Kiai Gedhe Sala dan seluruh masyarakat Desa Sala rela menerima keputusan raja dan menyerahkan tanah desa mereka untuk dijadikan pusat baru Kerajaan Mataram Islam. Para abdi, atas titah raja, segera bekerja membangun keraton.

Setelah semuanya siap, pada tahun Jawa 1670, dengan perhitungan sengkala Sirnaning Resi Rasa Tunggal, tepatnya 17 Februari 1745 dalam penanggalan Masehi, keraton lama di Kartasura ditinggalkan dan Desa Sala resmi dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Ditandai penanaman beringin kembar, Tejadaru dan Tejadara, di Alun-alun Utara.

Desa Sala beserta desa-desa tepi sungai di sekitarnya disemati nama baru: Surakarta Hadiningrat. Wilayah itu disebut kutha negara atau kuthagara yang artinya ibu kota negara, ibu kota kerajaan: nagari Surakarta Hadiningrat.

Desa-desa di tepi Bengawan Solo dan beberapa anak sungainya memang merupakan wilayah yang cukup ramai, reja. Desa-desa tersebut adalah bentang pertanian. Desa-desa di tepi sungai ini juga dimakmurkan oleh lalu lintas perdagangan. Pekerjaan utama masyarakat desa tersebut bertani juga berdagang.

Bengawan Solo merupakan jalur perdagangan utama waktu itu, dengan komoditas utama kayu dan beras. Kayu dan beras adalah dua dari tiga komoditas yang dijual kepada kumpeni (VOC atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie), selain pewarna indigo, untuk dijual ke pasar internasional.

Wilayah ini semakin reja sejak dijadikan ibu kota Kerajaan Mataram. Di Desa Sala kedhaton didirikan. Nama Sala tetap melekat erat di ingatan masyarakat. Selain nama resmi kutha negara Surakarta Hadiningrat, mereka juga menyebut ibu kota kerajaan ini dengan sebutan Kutha Sala. Sebutan ini lestari hingga saat ini: Kota Surakarta, ya, Kota Sala atau Kota Solo.

Pada 1755, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Sejak itu, Kerajaan Mataram di Surakarta disebut Kasunanan Surakarta. Pada 1757 di Surakarta berdirilah kerajaan vassal di bawah Kasunanan Surakarta, sebuah kadipaten, yang bernama Kadipaten Mangkunegaran.

Wilayah kadipaten ini meliputi kurang lebih separuh luas Kasunanan Surakarta dengan cacah jiwa yang jauh lebih sedikit. Ibu kota Kadipaten Mangkunegaran juga berada di Surakarta, seluas kurang lebih separuh wilayah Kota Solo.

Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran inilah pemegang kekuasaan dan pemerintahan kerajaan tradisional Jawa, utamanya di wilayah Soloraya dan sekitarnya.

Merekalah penentu arah pembangunan Kota Solo, selain pemerintah kolonial Hindia Belanda, penjajah waktu itu, dan masyarakat, baik yang berada di wilayah Kasunanan Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda secara politik dan administratif menjahit dua wilayah ibu kota, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran, tetap utuh menjadi satu kota.

Ibu kota kerajaan tradisional Jawa ini, karena dinamika sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, seturut perkembangan zaman, juga menjadi kota modern yang maju. Ada beberapa kota besar, kota perdagangan, yang modern di wilayah Nusantara pada masa penjajahan Belanda, akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kota-kota itu Batavia, Medan, Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Ambon, dan banyak lagi yang lain. Solo dan Yogyakarta adalah dua kota modern yang unik. Dua kota tersebut adalah dua kota modern, namun juga menjadi pusat pemerintahan kerajaan tradisional Jawa, dinasti Mataram Islam.

Seperti kota-kota besar lainnya, Kota Solo menjadi kota pusat perdagangan. Para pedagang, kalangan wirausaha, atau yang juga disebut kalangan partikelir (swasta) tumbuh sejalan pesatnya perputaran modal dan perekonomian masyarakat kota yang majemuk.

Kalangan partikelir ini, yang mayoritas masyarakat kebanyakan, dengan kekuatan modal, akhirnya menjadi pesaing kalangan bangsawan, seperti halnya kalangan saudagar batik di Laweyan.

Mereka juga dominan di ranah sosial, politik, dan budaya. Dunia pendidikan yang dulu hanya didominasi kalangan bangsawan lambat laun juga dimasuki kalangan partikelir ini; kalangan borjuasi kecil. Muncullah priayi-priayi baru, kalangan elite cendekia dan profesional dari kalangan rakyat jelata.

Mereka, selain kemudian banyak menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan, pemerintahan modern yang dimotori oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintahan dua otoritas tradisional, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, juga menjadi pendidik, cendekiawan, ulama, teknokrat, budayawan, dan aktivis politik (nasionalis!).

Tidak mengherankan hingga sekarang ada banyak tokoh ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Kota Solo yang kiprahnya menasional, bahkan menginternasional; benih-benihnya disemai sejak saat itu, sejak wacana jaman kemadjoean, modernisasi, disuarakan. Demokratisasi dan nasionalisme tumbuh subur di kota ini jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan.

Unik

Kecintaan rakyat Solo terhadap demokrasi, nasionalisme, keadilan sosial, semangat kerakyatan, membuat mereka, atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Tidak mengherankan kalau Sinuhun Paku Buwono XII, raja Kasunanan Surakarta, menyatakan diri mendukung dan menjadikan Kasunanan Surakarta bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia pionir bagi otoritas kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain, termasuk Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.



Sebelum menjadi ibu kota Kerajaan Mataram, Desa Sala dan sekitarnya dihuni orang-orang Jawa saja. Pedagang-pedagang dari luar Jawa hanya ada di sekitar bandar tepi Bengawan Solo, berbaur dengan para pemasok barang dagangan dan pedagang Jawa.

Rata-rata mereka boro. Tidak sepenuhnya menetap. Sejak menjadi kuthagara, makin lama, makin beragam latar belakang budaya dan asal-usul orang-orang yang tinggal di Solo. Kebanyakan mereka awalnya datang mengadu nasib di kota ini sebagai pelaku ekonomi, utamanya di ranah perdagangan barang maupun jasa.

Ada gula, ada semut. Sejak itulah, sejak mula berdirinya, Solo menjadi kota yang majemuk dan multikultur. Beragam latar belakang profesi yang digeluti masyarakatnya, beragam latar belakang kulturnya, beragam latar belakang pendidikannya, beragam latar belakang kepercayaannya, dan banyak keragaman lainnya.

Keberagaman itulah yang membuat masyarakat Kota Solo cenderung demokratis, meskipun tetap ada rasa primordial feodalistis. Unik. Pada masa penjajahan Belanda, meskipun tentu dominasi latar belakang budaya masyarakat Solo tetap Jawa, di kota ini juga ada komunitas Arab, India, Tionghoa, Eropa, Bugis, Banjar, Bali, Madura, dan banyak lagi.

Masing-masing komunitas dari luar Jawa tersebut ditata, dikelompokkan dalam distrik-distrik. Komunitas Arab ditempatkan di sekitar Pasar Kliwon; di dekat pasar itu pula ada komunitas Madura, di kampung Sampangan; komunitas Tionghoa di sekitar Pasar Gedhe, di kampung Sudiroprajan; komunitas Eropa di Loji Wetan; dan komunitas Bali di kampung Kebalen.

Tentu ada konflik-konflik kecil di antara penduduk kota yang sangat beragam ini, demikianlah dinamika kehidupan kota yang majemuk, dan itu semua pada akhirnya selalu bisa diselesaikan dengan baik. Perjumpaan dengan keberagaman ini membuat masyarakat Kota Solo tumbuh sebagai masyarakat yang cenderung toleran terhadap berbagai macam perbedaan.

Bukankah dalam keberagaman sebenarnya bisa lebih banyak kita temukan persamaannya daripada perbedaannya? Keberagaman dan toleransi antarkomunitas masyarakat yang beragam ini membuat Kota Solo lebih dinamis dan, dengan demikian, menjadi lebih pesat bertumbuh.

Keberagaman ini juga menjadi simpul perjumpaan dengan keberagaman yang lebih luas lagi melalui, misalnya, jalur-jalur koneksi perdagangan masing-masing yang lintas bangsa, lintas negara. Solo rupanya menjadi kota internasional, kosmopolit, sejak mulanya, dan menjadi semakin canggih koneksitasnya seiring waktu.

Buah dari masyarakat yang majemuk, multikultur, dan kosmopolit ini bisa dilihat pada pembangunan infrastruktur Kota Solo sebagai kota modern pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Seiring dengan pembangunan kota-kota modern di Eropa.

Pada masa-masa itu di Kota Solo mulai ada trem, listrik, air ledeng, stadion, stasiun radio, perusahan es, stasiun kereta api, gedung-gedung kesenian, dan sebagainya. Sinuhun Paku Buwono X adalah orang pertama yang memiliki mobil di Indonesia, mobil Benz Victoria Phaeton, produksi Marcedes-Benz.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Februari 2023. Penulis adalah pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya