SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dalam sebuah kunjungan biasa, seorang kenalan agak terkejut mendapati koleksi buku saya yang berjibun. Buku-buku bertumpuk-tumpuk di lantai dan lainnya berjubel-jubel di rak cukup besar, belum lagi ratusan koleksi yang sudah saya pindahkan sementara di tempat lain.

Sebagai kepunyaan pribadi, buku-buku ini memang tampak keterlaluan dan merepotkan. Kenalan saya meyakinkan lagi apakah buku ini benar-benar milik saya, bukan warisan keluarga misalnya.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Kenalan saya bercerita bahwa ia memiliki banyak buku, tapi buku-buku itu milik bapaknya. Tentu tanpa kesepakatan tertulis sekalipun, anak-anak biasanya memang mewarisi buku-buku orang tuanya.

Bagaimana jika seseorang bisa begitu menyukai membaca dan memiliki buku—lebih-lebih ia bukan seorang Maudy Ayunda dengan keberuntungan memiliki orang tua yang siap pulang-pergi Indonesia-Singapura hanya untuk membelikan buku bacaan atau tiga putri Bung Hatta yang selalu memiliki waktu berbuku sejak belia?

Bagi seseorang, kepunyaan pribadi itu cenderung diciptakan dari ketidaksengajaan atau teladan tidak langsung di sekitar. Setiap buku terkadang seperti amarah dari masa kecil yang sepi perjumpaan dengan buku sekaligus angan-angan untuk meraba dunia dari setiap halaman buku.

Sejak pengenalan seseorang pada aksara yang menarik dan terkadang ajaib, ada saja hal-hal kecil yang dialami dengan gigih asalkan meredakan dahaga pada aksara; membaca tuntas semua cerita di buku pelajaran Bahasa Indonesia, menemukan kisah kecil di balik kertas pembungkus tempe; atau mengulang kisah riwayat wali dan nabi yang dikemas dalam kertas buram dan sedikit gambar.

Sebuah buku paling tidak menarik sekalipun—anggaplah buku-buku bacaan proyek instruksi presiden atau inpres masa Presiden Soeharto yang disisipi doktrin—justru membuka pintu ke buku apa saja.

Waktu-waktu perjumpaan dengan buku selalu menyisipkan ragam emosi. Saya menjadi ikut geram saat anak perempuan di novel naturalis The Evolution of Calpurnia Tate (Jacqueline Kelly) tidak diperlakukan secara intelektual hanya karena ia perempuan.

Saat tidak lagi bocah, saya bersyukur menemukan cerita-cerita berdaya dari Tajima Shinji di buku Legenda Planet Kejutan. Cerita itu menandai perubahan era—energi bagi anak-anak (Asia)—untuk menghadapi dunia yang akan terus berlari.

Terkadang saya berpikir kenapa tidak bertemu buku kanak-kanak Si Samin (M. Kasim) atau keseharian Si Doel Anak Betawi (Aman Dt. Madjoindo) ketika masih belia. Ketika dewasa, haus buku semakin menguatkan tekad menjadi pembaca—ahli waris buku-buku dari penulis yang telah tiada.

Lagi-lagi Sang Pembaca

Dalam beberapa kasus, keluarga yang melegitimasi segala bentuk legal mewarisi memang tidak menjaminkan nasib mujur para buku. Di luar sang ahli waris, dibutuhkan upaya lebih besar untuk menjaga buku-buku tetap di markahnya.

Majalah Tempo (14-20 September 2015) menelusuri jejak buku-buku para tokoh. Jose Rizal Manua menemukan buku-buku koleksi budayawan Wiratmo Soekito di lapak buku Edward Sitompul, Terminal Pasar Senen, Jakarta.

Sekitar 300-an judul buku langsung dibayar. Jose Rizal juga pernah menyewa bajaj untuk memboyong buku koleksi mantan Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Penemuan ini tidak lantas membuat Jose gembira. Ia justru berpikir atas nasib buku-bukunya pada masa depan.

Buku-buku sebagian tokoh lain memang dirawat keluarga, dibuatkan yayasan, atau dirumahkan di ruang-ruang akademis. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, misalnya, menjadi rumah bagi buku-buku sejarawan Sartono Kartodirdjo, pakar sastra Jawa Petrus Josephus Zoetmulder, dan ahli linguistik Johannes Wilhelmus Maria Verhaar.

Buku-buku itu pada perjalanannya menemukan ahli waris—para pembaca yang terhormat. Beberapa waktu lalu, saya merasa terhormat diajak menata buku-buku koleksi seorang penulis perempuan di Kota Solo. Buku-buku diboyong ke rumah baru.

Dalam beberapa peristiwa menata yang saya alami, hal ini tidak pernah sesederhana menata agar menjadi rapi. Beberapa buku memang menempati ruang khusus secara spasial serta mental. Penulis di Kota Solo ini memberi tempat kehormatan bagi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Soekarno, dan Moh. Hatta di rak kaca paling atas. Tidak bisa digugat!

Demi buku-buku yang ditulis dengan bagus, penyusunan itu benar-benar melelahkan tenaga sekaligus pikiran—buku-buku apa yang bakal masuk rak kaca kedua, apa/siapa bersanding dengan karya-karya Umar Kayam, atau apakah sah meletakkan Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, dan Orhan Pamuk dalam satu rangkaian.

Yang tak kalah sengit, kawan saya  yang penulis ini kukuh tidak akan menjajarkan karya-karya perempuan penulis yang menarik perhatian pada era reformasi 1998 dengan buku-buku prosais perempuan yang belakangan populer lewat novel berlatar 1998 tentang mahasiswa yang dihilangkan oleh Orde Baru.

Seolah-olah keduanya benar-benar akan saling mencabik jilidan buku satu sama lain jika disandingkan. Belum lagi masalah menyortir buku-buku karena ruang di rumah terbatas serta ruang diri yang berubah, kesulitannya berlipat dibandingkan ketika kali pertama memiliki buku-buku itu.

Alih-alih terdengar konyol, inilah pernyataan kelekatan pembaca sebagai sang ahli waris buku. Meski darah lebih kental daripada air, siapa pun para ahli waris buku jalur nonkeluarga ini membentuk caranya masing-masing terikat secara emosional dan intelektual dengan buku-buku.

Buku-buku ditempatkan penuh hormat sekaligus welas asih. Buku-buku menjadi irisan diri yang sejati. Ada buku-buku yang cepat terlupa. Buku-buku lain diingat dan dimiliki sebagai warisan sepanjang masa.

Berkah buku adalah menemukan pembaca dan tempat berada. Keberuntungan pembaca bertemu buku yang pas secara banyak hal. Roger Mifflin sang penjual buku di novel The Haunted Bookshop (2023) itu berkata, “Surga di dunia yang akan datang, itu tidak pasti, tetapi memang ada surga di Bumi ini, surga yang kita huni ketika kita membaca buku yang bagus.”

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Januari 2024. Penulis adalah penulis emerging di Ubud Writers and Readers Festival atau UWRF 2021 dan peminat pustaka anak)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya