SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Literasi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama di era digital seperti sekarang ini. Literasi tidak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, menganalisis informasi, dan membuat keputusan yang tepat.

Mari kita baca kutipan teks di atas. Apakah teks tersebut tulisan saya? Oh, tidak! Teks tersebut karya artificial intelligence (AI) Chat GPT. Saya hanya menyuruh membuat opini tersebut dengan mengetikkan ”buatkan opini pentingnya literasi 100 kata”. Dalam hitungan detik, jadilah opini tiga paragraf, paragraf pertama saya kutip di atas.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Kalau dilihat dari konten, struktur teks, sintaksis, dan ejaan, teks tersebut sempurna. Walaupun jumlah kata pada teks tersebut lebih dari yang saya perintahkan, sebagai seorang guru, (jika hanya melihat hasil tanpa melihat proses penulisan)  beranilah saya memberi nilai di atas 85 untuk tulisan tersebut.

Ketika dicek dengan aplikasi pengecek plagiasi, hasilnya mencengangkan. Tulisan tersebut bebas dari plagiasi. Mesin pengecek menunjukkan hasil 0% plagiasi dan 100% unik. Saya ketikkan lagi ”buatkan pengertian media dengan sitasi ilmiah”. Kali ini saya suruh AI untuk menghasilkan karya ilmiah. Hasilnya seperti ini.

Media adalah suatu sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu pihak kepada pihak yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut McQuail (2010), media adalah “semua bentuk organisasi dan praktek yang digunakan untuk memproduksi dan menyampaikan pesan kepada publik yang luas”. Sumber: McQuail, D. (2010). Mass communication theory. London: SAGE Publications.

Definisi media menurut ahli sudah didapatkan. Komplet dengan sumber pustaka. Nyaris sempurna. Kesalahan penggunaan tanda baca, kata baku, dan penggunaan huruf kapital pada sumber pustaka sedikit mengurangi kesempurnaan teks tersebut.

Hasil pengecekan di aplikasi pengecek plagiasi menunjukkan hasil yang sama. Konten tersebut bebas dari plagiasi dan 100% unik. Berdasarkan FYP di Tiktok, teks hasil karya Chat GPT dapat dicek dengan menambahkan kalimat “Apakah ini tulisanmu?” di  awal atau akhir teks tersebut.

Ketika pengecekan itu saya lakukan, justru terdapat balasan bahwa sebagai sebuah AI, aplikasi tersebut tidak memproduksi tulisan, tetapi dapat membantu menghasilkan teks yang dibutuhkan berdasarkan input yang diberikan.

Ah, sudahlah. Kejulidan saya cukupkan sampai segitu. Saya sudah cukup tercengang dengan “kecerdasan” aplikasi tersebut. Menulis merupakan salah satu keterampilan yang membutuhkan proses dan pelibatan kemampuan intelektual. Keterampilan yang tidak bisa dilakukan secara instan oleh manusia.

Diperlukan waktu, konsistensi, kemampuan, dan kemauan untuk dapat memproduksi sebuah tulisan. Keterampilan yang ditempatkan pada level kognitif tertinggi menurut taksonomi Bloom ini begitu mudah dikerjakan oleh kecerdasan buatan tersebut.

Benar kiranya apabila para akademisi, terutama di perguruan tinggi, mengkhawatirkan perkembangan kecerdasan buatan tersebut. Beberapa negara mulai melarang penggunaan Chat GPT, sebut saja China yang mengetatkan penggunaan aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan yang didirikan Elon Musk dan Sam Altman tersebut,

Akademisi di sebuah universitas di Prancis melarang penggunaan AI tersebut di kampus. Kekhawatiran para akademisi tersebut dapat dimaklumi. Karya ilmiah yang merupakan bukti intelektualitas civitas academica di perguruan tinggi dikhawatirkan tidak ditulis melalui prosedur dan metode ilmiah yang benar.

Tantangan

Jangankan di perguruan tinggi, di tingkat sekolah menengah pun kekhawatiran tersebut mulai merambat. Kekhawatiran bahwa tulisan siswa merupakan hasil campur tangan kecerdasan buatan. Bukan hasil kecerdasan asli dari manusia.

Terlepas dari kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, dari hasil uji coba banyak hal yang lebih penting untuk direfleksi bagi saya, seorang guru. Pertama, perkembangan kecerdasan buatan adalah tantangan dalam membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa. Setiap orang dikaruniai kemampuan berpikir oleh Tuhan. Tinggal bagaimana pewujudan luaran dari kemampuan berpikir tersebut. Secara lisan atau tertulis.

Setiap orang mempunyai dominasi yang berbeda berkaitan dengan hal itu. Satu yang pasti, apabila setiap orang mau berpikir dan menuangkannya dalam wujud tulisan, pastilah akan tercipta luaran berupa karya tertulis.

Oleh sebab itu, guru dituntut mampu membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa. Pemberian pemodelan karya guru,  pemahaman, motivasi, dan ketelatenan untuk membimbing siswa dalam menulis merupakan salah satu kunci.

Kedua, berkaitan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, guru dituntut adaptif dengan hal tersebut. Jangan sampai guru tidak melek dengan teknologi alias ketinggalan zaman. Penghadiran teknologi kekinian berbasis website ke dalam ruang-ruang kelas menjadi hal yang perlu dibiasakan.

Tak terkecuali pula dalam hal penugasan dan pengoreksian tugas siswa. Kecakapan guru dalam hal literasi digital perlu dikedepankan. Walaupun guru dan siswa merupakan individu yang berbeda generasi, hal tersebut dapat dijembatani dengan kemauan guru berliterasi digital sehingga guru juga secakap siswa berkaitan dengan kemampuan teknis secara digital.

Hal tersebut sangat bermanfaat untuk mengakses aplikasi yang dapat mengecek karya AI (yang diakui sebagai karya siswanya). Ketiga, sebagai penentu kesuksesan pembelajaran, guru dituntut memahami level berpikir siswa.

Seorang siswa SD tentu memiliki pola pikir yang berbeda dengan siswa SMP. Begitu pula siswa SMP dan SMA, tentu memiliki tingkat berpikir yang berbeda. Oleh sebab itu, guru /perlu membelajarkan sesuai level mereka. Teaching at the right level.

Hal tersebut dapat diadaptasi pula pada karya siswa, writing at the right level. Secerdas-cerdasnya kecerdasan buatan, manusia mempunyai intuisi untuk membedakan tulisan dan level penulisnya.

Misalnya, puisi karya AI tentu tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh siswa. Ingat, siswa SMP dan SMA memiliki perbedaan kemampuan intelektual. Menjadi guru pada era 5.0 tentu memiliki tantangan tersendiri. Hanya guru yang mampu beradaptasilah yang akan eksis di tengah gempuran kemudahan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi10 Mei 2023. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMAN 5 Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya