SOLOPOS.COM - Bramastia (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Rekognisi bermakna pengakuan. Rekognisi dalam dunia pendidikan diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 41 Tahun 2021 tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).

RPL adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan formal dan melakukan penyetaraan dengan kualifikasi tertentu.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Peraturan menteri ini menggantikan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2016 tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 723).

Metode rekognisi dianggap mengakomodasi berbagai jenis metode pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan pengalaman kerja yang bisa dikonversi menjadi mata kuliah. Selanjutnya dipakai untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Bagi seseorang dengan pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja dapat memperoleh penyetaraan kualifikasi pada jenjang yang sesuai melalui RPL pada program studi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Rekognisi diberlakukan bagi mahasiswa dengan memberi penilaian konversi pada prestasi, keterampilan, kompetensi, atau keterlibatan mahasiswa yang bisa diakui dan dikonversi ke dalam sistem satuan kredit semester (SKS) sesuai jenjangnya.

Beban Administratif

Kini afa gejala rekognisi juga mencakup kaum akademikus. Istilah akademisi atau akademikus merujuk pada seseorang yang berpendidikan tinggi atau intelektual atau seseorang yang menekuni profesi sebagai pengajar dan guru besar di perguruan tinggi.

Pengajar perguruan tinggi atau yang dikenal dengan sebutan dosen serta guru besar adalah akademikus yang terkena dampak rekognisi. Kebijakan pemerintah yang meresahkan kaum akademikus adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kredit.

Para akademikus perguruan tinggi negeri dan swasta memprotes beban administrasi yang mereka tanggung. Pengisian berbagai data kinerja tridarma perguruan tinggi yang wajib dilakukan para akademikus tersebar di berbagai platform, tetapi ternyata tak terintegrasi.

Kaum akademikus ini harus mengisi aplikasi untuk mengajukan pengakuan angka kredit kinerja hingga 31 Desember 2022. Mulai 1 Januari 2023 penghitungan angka kredit bagi akademikus harus mengikuti sistem baru. Ini adalah wujud gagal paham pemerintah memahami definisi dosen/akademikus.

Pengajuan pengakuan administrasi dosen demi penyesuaian angka kredit menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kredit seolah-olah meragukan kompetensi akademikus yang sudah diakui dan mumpuni di luar institusi, baik tingkat regional, nasional, maupun internasional.

Bentuk pengakuan akademikus itu bersifat administratif belaka apabila ingin meraih jenjang puncak jabatan akademik sebagai guru besar. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Payung hukum tersebut menjadi pijakan utama bagi akademikus melenggang dan melebarkan sayap serta kiprah ke segala lini kehidupan di negeri ini. Pertanyaan sederhana yang muncul adalah apakah akademikus siap melaksanakan tugas tersebut?

Tidak Sehat

Situasi yang terjadi saat ini menunjukkan justru posisi dosen sebagai akademikus menjadi tak berbeda dengan mahasiswa yang menggunakan metode rekognisi demi mengakomodasi jenis dan metode pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan pengalaman kerja yang lantas dikonversikan menjadi mata kuliah.

Model konversi bagi mahasiswa diharapkan membuat mereka lebih cepat lulus kuliah dan mendapatkan gelar akademik. Hasil rekognisi dipakai untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Bagi kaum akademikus rekognisi justru tidak sehat karena rekognisi hanyalah sebagai portofolio yang tersusun rapi setiap bulan demi meraih jenjang tertinggi sebagai guru besar.

Artinya kebijakan ini hanya akan melahirkan akademikus yang diharuskan terlebih dulu berdarah-darah serta berkeringat melewati jenjang tenaga pengajar, asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga guru besar.

Akademikus dituntut sabar dan tekun pada urusan kiprah akademis dan administratif yang semakin banyak dan meningkat setiap tahun.

Rekognisi bagi mahasiswa sangat memudahkan kelulusan karena orang dengan pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja dapat memperoleh penyetaraan kualifikasi pada jenjang yang sesuai di program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi.

Ini juga sangat membantu pekerja dan siapa saja yang punya keterampilan untuk  melanjutkan studi tanpa perlu mengambil semua mata kuliah di perguruan tinggi. Pola rekognisi seolah-olah menjadi cara untuk menyiasati seseorang meraih gelar tertinggi akademikus.

Beberapa orang tidak harus menjadi akademikus yang harus bertatap muka dengan mahasiswa dan rajin melakukan riset serta pengabdian kepada masyarakat. Beberapa orang itu tidak harus belajar banyak dan membaca buku demi menemukan konstruksi konsep untuk meraih jenjang jabatan di pendidikan tertinggi.

Pola rekognisi berubah menjadi ”sim salabim” menuju jenjang jabatan di pendidikan tertinggi. Model rekognisi melegitimasi seorang dari nonakademis sehingga meraih jabatan tertinggi seorang akademikus.

Caranya, terlebih dulu masuk partai politik lalu menjadi pejabat tinggi negara. Selanjutnya, tanpa melalui jalan yang panjang dalam pembuatan skripsi, tesis, maupun desertasi, tiba-tiba bisa meraih gelar doktor honoris causa dan bahkan meraih gelar profesor kehormatan.

Itu diraih tanpa harus berkarya dan menulis apa-apa. Mekanisme rekognisi akademikus demikian ini melahirkan akademikus rekognisi dengan gelar tertinggi di lingkungan akademis yang tanpa disadari sesungguhnya menyabotase ”gelar luhur” di perguruan tinggi. Akademikus rekognisi bukan akademikus sebenarnya.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juli 2023. Penulis adalah pemerhati kebijakan pendidikan dan dosen pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya