SOLOPOS.COM - Shoqib Angriawan (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beberapa hari yang lalu saya berbincang-bincang dengan kawan saya. Dia maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ini bukan kali pertama dia maju sebagai caleg.

Pada 2004-2009, dia pernah dipercaya untuk menduduki kursi DPRD di salah satu daerah di Jawa Tengah. Politik uang (money politic) menjadi salah satu tema yang kami perbincangkan pada siang itu.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Bukan rahasia lagi ketika mendekati pemilu sebagian calon kepala daerah atau caleg mengumbar janji manis kepada masyarakat. Sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau bahan pokok.

Mereka telah melakukan politik uang secara sadar, padahal praktik ini adalah akar korupsi menuju berbagai jenis korupsi lainnya. Larangan politik uang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 515 undang-undang itu mengatur setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Politik uang adalah upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Tujuannya beragam, misalnya supaya peserta pemilu tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.

Bisa juga politik uang bertujuan supaya calon pemilih memilih pasangan calon tertentu, memilih partai politik peserta pemilu tertentu, dan/atau memilih calon anggota DPR/DPRD/DPD tertentu.

Politik uang adalah praktik merendahkan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Tentu saja tidak semua caleg melakukan politik uang. Ada sebagian caleg paham bahwa politik uang adalah salah satu praktik suap.

Mereka tidak ingin setelah menjabat kemudian tergiur melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, menerima gratifikasi, atau korupsi karena terjerat untuk mengembalikan modal. Mereka memilih memaksimalkan penawaran program unggulan bagi masyarakat.

Kenyataannya memang tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Ketika sosialisasi, caleg akan sering menjumpai bermacam tipe masyarakat yang bakal menjadi calon pemilih. Ada masyarakat yang telah menjadi pemilih cerdas, seperti mendukung program, mengkritik, dan memberikan masukan.

Ada kalanya caleg malah ditodong ketika menyosialisasikan program, misalnya masyarakat meminta amplop, speaker aktif, tikar, bahkan kursi dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok.

Jika tidak kuat mental, caleg yang sedari awal memilih jalan lurus ini bisa jadi terseret dalam pusaran politik uang. Ini mungkin jadi satu contoh dari banyak kejadian di masyarakat menjelang pemilu.

Bermacam cara sebenarnya dilakukan untuk menghentikan politik uang. Proses pendidikan politik memang membuat masyarakat pemilih menjadi pintar dan cerdas, namun tidak sepenuhnya mampu menghentikan praktik kotor tersebut.

Yang lebih membikin miris lagi, sebagian pelaku bisa jadi pejabat yang maju lagi dalam pemilu, baik menjadi caleg atau calon kepala daerah. Penegakan hukum yang masih lemah menjadi salah satu penyebab.

Sering kali kita mendengar ada orang yang tertangkap basah sedang membagikan amplop berisi uang kepada calon pemilih, namun tidak mendapatkan hukuman. Jalan damai untuk kasus politik uang tampaknya menjadi jalur ajaib dalam praktik politik di Indonesia.

Kondisi inilah yang tidak memunculkan perubahan sikap dan perilaku, meskipun mereka memiliki pemahaman yang cukup tentang pemilu. Penegakan hukum terhadap transaksi politik uang seharusnya dilakukan secara lebih tegas sehingga bisa memberikan efek jera kepada pelakunya.

Jangan mau menjual hak suara kepada politikus yang bermain politik uang. Bagaimanapun, satu suara sangat berarti bagi masa depan bangsa. Tak pantas satu suara ditukar dengan uang Rp50.000 atau Rp100.000 atau dibarter dengan barang demi kepentingan individu atau kelompok.

Jangan memilih calon wakil rakyat yang melakukan praktik kotor ini. Mereka tidak akan mendengarkan suara rakyat dan bakal menyibukkan diri untuk mengembalikan modal. Pilihlah pemimpin karena rekam jejak, integritas, dan kapabilitas.

Dengan mengetahui latar belakang caleg, masyarakat akan lebih bisa menimbang apakah layak dipilih atau tidak. Ujilah program-program caleg yang mereka tawarkan. Selaraskan dengan program prioritas yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Jangan aji mumpung dengan kebutuhan caleg untuk menghimpun suara. Bagi caleg, raihlah kemenangan tanpa melanggar aturan, salah satunya tidak menggunakan politik uang. Jangan kotori pesta demokrasi dengan politik uang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya