SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Akhirnya Indonesia memiliki moda raya terpadu atau mass rapid transit (MRT) meskipun layanan ini baru tersedia di Jakarta dan masih single line. Sebagai warga Indonesia saya jelas senang sekaligus bangga.

Setelah belasan tahun berlalu menunggu, akhirnya saya bisa menjajal moda transportasi massal ini di negeri sendiri. Kebetulan pada September 2022 lalu saya berkesempatan ke Jakarta, sehingga momen ini saya manfaatkan betul untuk menjawab rasa penasaran saya: seperti apakah MRT Jakarta?

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Jangan membandingkan MRT Jakarta dengan kota-kota besar di negara lain yang memiliki banyak jalur. MRT dan LRT Jakarta hanya single line, jadi cukup mudah dihafalkan, dari ujung sini ke ujung sana cuma bolak-balik itu saja.

Belum ada perlintasan dengan jalur lain seperti sistem MRT di Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura, dan Tokyo. Jalur MRT di Jakarta ”hanya” membentang mulai Bundaran Hotel Indonesia (HI) hingga Lebak Bulus. Kendati hanya single line, stasiun MRT kita nggak beda jauh kok dengan stasiun MRT di negara maju: super bersih dan modern.

Semua informasi mengenai jalur MRT tersaji di papan informasi, termasuk kedatangan kereta. Di dalam kereta juga diinformasikan stasiun pemberhentian berikutnya. Penumpang bisa turun di stasiun tujuan tanpa harus bertanya-tanya kepada penumpang lain.

Tarif MRT di Jakarta juga sangat terjangkau, tergantung rute yang dipilih. Misalnya, rute Bundaran HI-Lebak Bulus Rp14.000, Bundaran HI-Senayan Rp5.000, dan Bundaran HI-Dukuh Atas Rp3.000. LRT Jakarta juga baru single line.

Jalur LRT membentang sepanjang 5,8 kilometer mulai dari Stasiun Kelapa Gading hingga Pulo Gadung. Sedangkan tarif LRT Jakarta juga sangat terjangkau, yaitu Rp5.000 untuk satu kali perjalanan, berlaku sama untuk jarak jauh maupun jarak dekat semua stasiun.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga kita, kehadiran MRT dan LRT di Jakarta sebetulnya sudah sangat terlambat. Saya kali pertama menjajal moda transportasi massal ini justru di negara tetangga, yaitu Kuala Lumpur, Malaysia, dan Bangkok, Thailand pada 2010.

Kuala Lumpur telah memiliki monorail yang resmi dioperasikan pada 31 Agustus 2003 dan melayani 11 stasiun yang membentang sepanjang 86 kilometer dengan dua jembatan kereta paralel. Monorel Kuala Lumpur menghubungkan hub angkutan Kuala Lumpur Sentral dengan “Golden Triangle”. Pembangunannya dilaksanakan dengan biaya MYR 1,18 miliar oleh KL Infrastructure Group (KL Infra).

Bangkok memiliki dua sistem transportasi berbasis kereta api komuter, yaitu Bangkok Mass Transit System (BTS) atau Skytrain  dan Metropolitan Rapid Transit alias MRT. Skytrain Bangkok beroperasi sejak akhir 1999, sementara MRT Bangkok menyusul pada 2004.

Perbedaan yang menyolok dari dua moda transportasi itu adalah lokasi beroperasi. Seluruh kereta Skytrain, seperti namanya, melewati jalur melayang melintasi kota. MRT beroperasi sepenuhnya di bawah tanah sehingga penumpang tidak dapat menyaksikan pemandangan kota.

Dua gaya itu diadopsi MRT Jakarta yang jalurnya berada di bawah tanah dan melayang di atas perkotaan. Hal ini membuat penumpang MRT Jakarta bisa menyaksikan perubahan pemandangan dari gelap gulita bawah tanah hingga suasana kota yang berlatar langit cerah.

Pada era 2000-an itu ibu kota negara kita masih berkutat dengan buruknya sistem transportasi umum. Bukan hanya kualitas armada yang jelek, keamanan penumpang hingga kualitas pelayanan juga masih memprihatinkan.

Polusi Udara

Kita memang sangat terlambat dibandingkan Malaysia dan Thailand dalam hal pembangunan dan pengembangan MRT. Hal itu seperti diungkapkan Gubernur DKI Jakarta pada 2013, Joko Widodo.

Ia pernah mengungkapkan pembangunan alat transportasi MRT dan monorel di Jakarta sebenarnya sudah direncanakan sejak lama, namun pembangunan kedua moda transportasi tersebut kalah cepat dibandingkan Malaysia.

Rencana pembangunan monorail ada sejak 14 tahun lalu, sedangkan rencana pembangunan MRT ada sejak 24 tahun lalu. Meski sudah lama direncanakan, pelaksanaan pembangunan proyek tersebut baru berjalan saat ini, sedangkan Malaysia sudah berjalan 11 tahun yang lalu.

Sekarang impian memiliki MRT dan LRT di Indonesia telah terealisasi.  Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bukan hanya bikin bangga warga Indonesia, sebetulnya kehadiran moda transportasi  massal ini jelas sangat dibutuhkan kota-kota besar di Indonesia.

Selain bisa mengurangi kemacetan, kehadiran transportasi massal seperti MRT dan LRT bisa mengurangi polusi udara sehingga memperbaiki kualitas udara di kota-kota besar. Ini tentu sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia menurunkan emisi karbon.

Sebanyak 90% polutan di perkotaan bersumber dari kendaraan bermotor, oleh karena itu penggunaan kendaraan pribadi di perkotaan mau tidak mau harus dikurangi. Pemakaian sarana transportasi publik yang sifatnya massal seperti bus, kereta, dan MRT tentu sangat berdampak signifikan terhadap pengurangan gas buang dari kendaraan pribadi.

Bukan hanya itu, pemakaian transportasi umum bikin masyarakat lebih sehat lantaran memaksa mereka aktif bergerak atau berjalan kaki, namun upaya pengurangan emisi secara besar-besaran dengan mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke sarana transportasi publik massal perlu kesadaran dari setiap individu.

Budaya masyarakat mau tidak mau harus berubah. Kehadiran MRT dan LRT Jakarta ini semoga menjadi awal positif untuk penataan transportasi umum di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Dengan adanya sarana transportasi massal yang aman, nyaman, dan menjangkau seluruh wilayah bisa mengurangi ketergantungan kita pada kendaraan pribadi.

Multiplier effect tentu banyak, yaitu kualitas udara lebih baik, konsumsi bahan bakar fosil berkurang, angka pengidap penyakit tidak menular berkurang, hingga mengurangi biaya kesehatan nasional. Investasi pembangunan MRT memang tidak murah.

Kita tentu harus berpikir untuk benefit jangka panjang. Berpikir tentang benefit pada masa depan tentu harus berani berkorban atau bekerja keras pada masa sekarang. Kita hidup bukan untuk hari ini, melainkan untuk masa depan yang lebih baik. Namaste.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya