SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pemilihan  umum (pemilu) akan dilaksanakan pada Februari 2024, namun situasi panas telah berlangsung saat ini. Mesin-mesin politik dipanasi dan digerakkan. Pasukan siber disebar untuk memengaruhi pandangan politik di media sosial.

Di ruang-ruang publik nyata makin banyak gambar calon presiden, calon wakil rakyat, dan partai politik. Di ruang maya, gambar dan video kontestan Pemilu 2024 tersiar di berbagai saluran dan platform.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Pemilu 2019 disebut pemilu yang menciptakan polarisasi politik sangat kuat. Kondisi yang sama bisa saja terjadi pada Pemilu 2024. Kini ada tiga calon presiden yang akan berkontestasi.

Anies Baswedan telah menunjuk Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden. Ganjar Pranomo dan Prabowo Subianto belum menentukan siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi mereka.

Tiga calon presiden tersebut didukung partai politik yang pada Pemilu 2019 berkoalisi maupun atau beroposisi. Anies Baswedan didukung Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Prabowo Subianto diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Ganjar Pranowo sejauh ini didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan beberapa partai politik nonparlemen.

Di tiga koalisi partai politik tersebut terdapat unsur kelompok yang diasosiasikan sebagai cebong dan kampret—kelompok pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Pemilu 2019. Sebutan cebong dan kampret tampaknya tidak lagi relevan digunakan dalam peta perpolitikan Pemilu 2024.

Apakah potensi polarisasi akan terkikis? Tentu tidak. Meski belum benar-benar terlihat jelas, potensi polarisasi tetap ada. Entah nanti kelompok itu akan bermetamorfosis menjadi apa.

Pertarungan para politikus kini tidak hanya di dunia nyata, tetapi lebih besar di dunia maya. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 213 juta orang per Januari 2023.

Jumlah ini sekitar 77% dari total populasi penduduk Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang. Media sosial menjadi ruang bagi warga untuk beradaptasi dan bersosialisasi pada era digital.

Kondisi ini menjadi potensi untuk meningkatkan popularitas yang diharapkan berdampak pada elektabilitas. Media sosial tidak hanya menjadi ruang untuk berinteraksi, tetapi juga menjadi arena pertarungan ideologi dan politik.

Fenomena Filter Bubble

Sistem kerja media sosial berbasis algoritma. Itu adalah serangkaian langkah untuk menyelesaikan masalah. Aplikasi digital menggunakan algoritma untuk menuntun pengguna mengarungi dunia maya.

Algoritma memengaruhi tata cara konten di media sosial disajikan kepada pengguna. Saat kita berselancar di media sosial kemudian mencari sesuatu, sistem akan memberikan rekomendasi konten yang sesuai dengan profil kita.

Ini bisa terjadi karena aplikasi merekam setiap aktivitas sesorang di ruang digital. Begitu juga dalam konteks politik. Saat kita kerap mengikuti pemberitaan atau konten salah satu kontestan, sistem akan merekam aktivitas yang sesuai preferensi dan profil pengguna.

Dengan menyediakan konten-konten yang sesuai dengan preferensi seseorang, tentu akan berdampak pada lama waktu berada dalam satu platform.  Efek algoritma ini oleh para ahli disebut sebagai filter bubble dan echo chamber.

Filter bubble adalah fenomana ketika pengguna media sosial cenderung terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Hal ini terbentuk karena pengguna disodori frame tunggal tentang seorang tokoh politik.

Begitu juga sebaliknya. Saat pengguna media sosial hanya disodori konten yang buruk terkait tokoh politik tertentu maka pengguna akan terus menerus dijejali dengan konten sejenis.

Algoritma menciptakan opini manipulatif. Bahwa seakan-akan tokoh A memang buruk di mata publik, tanpa ada persepsi yang berbeda. Kondisi ini tentu memicu polarisasi politik yang semakin meresahkan.

Dampak filter bubble membentuk fenomena echo chamber atau kamar gema. Fenomena ini membuat seseorang hanya mendengar suaranya sendiri atau suara yang sama. Sedangkan suara yang berbeda ditolak.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan Greenhill dan Oppenheim (2017), kondisi ini membuat seseorang terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan seseorang percaya tentang informasi yang sesuai dengan persepsinya, tanpa memedulikan perspektif lain.

Fenomena ini merusak iklim demokrasi. Ini ditambah pasukan siber atau buzzer memanipulasi opini publik. Kondisi ini yang semakin memperkuat persepsi publik untuk menyukai atau membenci seseorang.

Ruang maya yang seharusnya membuat seseorang lebih bijak dalam mengambil suatu keputusan, malah jadi ruang gelap yang meniadakan perspektif lain. Pengawas pemilu harus memiliki regulasi yang lebih sensitif pada perkembangan teknologi.

Pertarungan menggiring opini publik tidak hanya terjadi di media massa, tetapi juga di media sosial. Kalau media massa sangat jelas regulasinya, media sosial masih abu-abu.

Sangat mungkin kontestan pemilu berkongsi dengan perusahaan digital untuk memengaruhi opini publik melalui algoritma. Di Amerika Serikat pernah terbukti salah satu kandidat dalam pemilihan presiden pada 2016 menggunakan data pengguna media sosial sebagai target kampanye (Heawood, 2018).



Melalui sistem algoritma, perusahaan digital bisa saja menjejali pengguna dengan informasi yang berkaitan dengan salah satu calon presiden. Pada akhrinya opini publik terarahkan untuk memilih calon presiden tertentu.

Pemilu yang seharusnya menjadi sarana memilih pemimpin kredibel terpatahkan hanya oleh opini manipulatif yang dijejalkan kepada warga. Manipulasi opini di media sosial perlu menjadi perhatian para pengawas pemilu karena akan membuat iklim demokrasi semakin buruk.

Banyak orang yang mengambil keputusan didasarkan bukan pada rasionalitas individu, melainkan dipengaruhi narasi kelompok tertentu (Sloman & Fernbach, 2017).

Pemilih harus lebih kritis dalam menerima informasi yang beredar di media sosial. Jangan sampai menjadi korban pasukan siber yang diciptakan untuk menghancurkan demokrasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya