SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dugaan bunuh diri keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak remaja di salah satu apartemen di Jakarta Utara ramai dibicarakan sepekan terakhir.

Kasus desperate death alias kematian karena putus asa itu tak hanya menjadi alarm kejadian bunuh diri di negeri ini, namun juga soal anak-anak yang menjadi korban dalam permasalahan keluarga.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Ini bukan kali pertama anak-anak dilibatkan dalam kasus bunuh diri yang dilakukan orang tua mereka. Beberapa kejadian serupa sebelumnya terjadi dengan korban masih berusia di bawah lima tahun atau balita.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut mengutuk sejumlah kekerasan yang melibatkan anak-anak. Kekerasan terhadap anak tak hanya soal fisik. Child abuse ini juga dalam bentuk psikis, melalaikan pengasuhan, hingga kesulitan mengakses pendidikan.

Hal tersebut tentu saja berdampak pada bahaya kesehatan, kelangsungan hidup, hingga martabat dan perkembangan mereka. Sayangnya, kekerasan terhadap anak atau child abuse jamak dilakukan oleh orang terdekat, misalnya keluarga dan kerabat.

Mereka semua yang seharusnya bertanggung jawab atas anak atau memiliki kuasa atas anak. Ini terjadi di semua kalangan, baik keluarga mapan maupun masyarakat menengah ke bawah.

Laporan dengan judul Ending Violence in Childhood: Global Report  yang diterbitkan kelompok advokasi internasional di India, Know Violence in Childhood, menyebut hampir 1,7 miliar anak-anak mengalami kekerasan dalam setahun.

Angka tersebut belum termasuk mereka yang menjadi korban perang. Dalam konteks yang lebih luas seperti tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina, misalnya. Hampir separuh korban adalah anak-anak.

Pada akhir 2023, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebut hingga 4 November 2023 lebih dari 1.400 warga Israel dan 9.485 warga Palestina tewas.

Lembaga Defense for Children International Palestine menyebut per 3 November 2023, sebanyak 3.826 korban tewas di Gaza merupakan anak-anak. Keluarga memiliki peran yang sangat besar untuk menghindarkan anak-anak dari menjadi korban kekerasan.

Dimulai dari kesiapan setiap pasangan untuk menjadi orang tua hingga pola asuh yang diterapkan. Dalam hal ini, maraknya pernikahan dini bisa jadi salah satu penyebab tindak kekerasan terhadap anak-anak.

Salah satu contoh pola asuh yang berdampak buruk bagi anak adalah norma atau budaya yang menormalisasi pemukulan sebagai bentuk pendisiplinan. Tindakan tersebut bisa membuat mereka mengalami gangguan sejak masih kecil.

Minimnya edukasi seksual sejak anak masih berusia balita juga bisa menjadi salah satu penyebab mereka mengalami kekerasan seksual. Indonesia disebut-sebut masuk dalam posisi ketiga sebagai negara tanpa ayah atau fatherless country.

Fatherless merujuk pada tekanan emosional seorang anak yang disebabkan kehilangan sosok ayah, baik secara fisik maupun psikis. Salah satunya disebabkan ketimpangan peran ayah dan ibu dalam rumah tangga.

Budaya di Indonesia menempatkan seorang ibu sebagai penanggung jawab tunggal urusan domestik atau rumah tangga. Ayah seolah-olah hanya wajib bekerja dan memenuhi kebutuhan ekonomi.

Menilik Pasal 76 huruf c Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mereka yang berusia di bawah 18 tahun memiliki beberapa hak yang harus dipenuhi orang tua mereka. Hak mereka adalah mendapatkan identitas, pendidikan, bermain, mendapat perlindungan, rekreasi, mendapatkan makanan, dan jaminan kesehatan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya