SOLOPOS.COM - Ivan Indra Kesuma (Solopos/Istimewa)

Pelangi, pelangi, alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan

Pelangi, pelangi, alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Solopos.com, SOLO  – Lirik  lagu anak-anak berjudul Pelangi ciptaan A.T. Mahmud itu semoga tidak asing di telinga kita semua. Bukan saja di kalangan anak-anak, tapi juga orang dewasa –yang dulu juga pernah mendengar dan menyanyikan lagu ini.

Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pelangi bermakna lengkung spektrum warna di langit, tampak karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun; bianglala. Pelangi juga berarti warna yang beraneka macam.

Pelangi adalah fenomena alam yang tidak selalu tampak di hadapan kita, namun saat pelangi itu muncul, decak kagum dan rasa senang niscaya akan kita rasakan.

Dalam kehidupan nyata, sepertinya tak pernah ada yang mengatakan “Awas pelangi, awas pelangi….”. Saat pelangi tampak di hadapan kita, seruan yang muncul, “Eh, pelangi, lihat ada pelangi.” Ini diucapkan dengan nada ceria.

Pelangi yang berarti aneka warna, dalam kehidupan ini, saya maknai sebagai keragaman, heterogenitas. Di dunia ini tak ada yang sama. Anak kembar pun mempunyai perbedaan. Setiap perbedaan yang diberikan Sang Pencipta tentu juga membawa hal positif dan manfaat.

Kalau pun muncul hal negatif, itu datang dari masing-masing pribadi, bukan dari Sang Pencipta. Lagu Pelangi sering dinyanyikan dan diajarkan kepada anak-anak sebagai cara paling mudah mengajak anak memahami perbedaan sekaligus keindahan.

Selain liriknya yang mudah diingat, lagu ini juga mudah dicerna dan menggambarkan keindahan ciptaan Tuhan. Bila dicermati, pelangi itu terlihat begitu indah karena aneka warna berada dalam satu tempat. Aneka warna itu muncul bersamaan dalam satu kesatuan membentuk lengkung layaknya bando.

Mengingat aneka warna, antara lain merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan lainnya, layaknya aneka warna identitas partai politik (parpol) di negara kita. Masing-masing warna ini menjadi ciri khas partai politik dengan visi dan misi yang berbeda-beda, tapi mestinya mempunyai satu tujuan, yaitu untuk kepentingan Indonesia.

Warna jati diri partai politik tidak bisa serta-merta diidentikkan dengan warna pelangi yang selalu membuat hati kita senang. Menuju hari pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, aneka warna identitas partai politik justru bikin gundah, bahkan lebih ekstrem lagi bikin panas suasana.

Saya sebagai warga negara berharap warna-warni partai politik, warna-warni kepentingan, dan warna-warni cara berpolitik tetap mempunyai satu tujuan, yaitu membuat semua orang senang. Senang karena bisa bergandengan tangan, bisa sejalan dari awal hingga akhir, dan bisa bersanding.

Perbedaan itu indah bila kita sikapi dengan menjaga dan membuka pikiran, menjaga tutur kata, mengatur sikap dan perilaku. Tidak ada yang melarang perbedaan. Kita berbeda pilihan presiden dan wakil presiden ya wajar. Bagaimana kita bersikap itulah yang paling penting. Jadikan perbedaan sebagai aneka cara menuju satu tujuan.

Tidak perlu gontok-gontokan karena budaya Indonesia mengajarkan kita untuk saling menghormati dan saling menghargai. Jangan cuma mengajarkan kepada anak-anak sekolah tentang menghargai perbedaan melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Ajarkan juga kepada para politikus untuk saling menghargai dan menghormati.

Apa perlu para politikus di negara ini juga diberi program penguatan profil politikus Pancasila agar bisa benar-benar menghormati dan menghargai? Bukan hanya dalam konteks menghormati dan menghargai sesama politikus atau partai politik, tetapi juga menghargai dan menghormati rakyat Indonesia secara keseluruhan yang sebenarnya menjadi tuan di negeri ini.

Ironis, saat pelajar seluruh Indonesia diajari dan dipaksa secara sistematis melalui kurikulum untuk saling menghargai, menghormati, bahkan memberi apresiasi,  orang-orang yang seharusnya menjadi contoh justru menjadi sampah. Bukannya memberi contoh beretika dalam segala hal, tapi menunjukkan keserakahan.

Dalam dunia pendidikan dikenal semboyan atau slogan dari Ki Hadjar Dewantara yang seharusnya bisa diterapkan dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang pluralis ini, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani.

Semboyan ini menunjukkan bahwa figur seseorang yang bisa menjadi pemimpin yang baik adalah tidak hanya menjadi suri teladan atau panutan. Dia juga harus mampu menggugah semangat, memberikan dorongan moral bagi orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Harapannya dia menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain atau rakyat Indonesia.

(Esai ini terbiat di Harian Solopos edisi 13 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya