SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Segelas cappuccino Rp28.000; espresso Rp22.000; caramel latte Rp35.000; dan caramel machiatto Rp39.000. Lalu jangan lupa tambahkan Rp2.000 di setiap pesananmu apabila yang kamu pesan adalah minuman dingin.

Deretan itu sebenarnya masih panjang. Semua yang saya sebut itu adalah menu coffe shop yang ramah di kantong, dengan kata lain termasuk murah, yang jumlahnya entah berapa juta kedai di kota-kota besar maupun kota kecil. Jadi, ngomong-ngomong, berapa anggaran ngopi sebulanmu?

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Saya sebenarnya bukan penggemar berat kopi, apalagi semenjak saya punya gangguan lambung. Sudah bertahun-tahun saya tidak lagi menyentuh kopi, apalagi setelah perjalanan ngopi saya berakhir di ranjang rumah sakit karena tubuh saya lemah sekali: segala isi perut keluar, membuat saya tidak sanggup melakukan apa pun, bahkan sekadar berdiri.

Namun, setelah gangguan lambung saya sembuh, perjalan ngopi saya dimulai lagi sedikit demi sedikit. Seperti yang sudah saya tulis, saya bukan fans berat ngopi, apalagi kalau ngopinya di coffee shop. Itu karena, menurut saya, harga kopi di tempat-tempat itu terlalu mahal, tak sesuai dengan pendapatan bulanan saya yang buruh ini. Jadi, tentu saja saya tahu diri.

Namun, bukan berarti saya tidak pernah nongkrong di coffee shop. Tentu saja pernah dan itu bukan karena saya yang ingin ke sana, melainkan karena diundang teman saya. Ada seorang teman (kontraktor), yang sering mengajak saya nongkrong di kedai kopi bersama kawan-kawannya.

Dia adalah narasumber saya yang lama-kelamaan menjadi teman baik saya. Ada masa di mana saya intensif membuat indepth news perihal pembangunan infrastruktur di Kota Solo, dimulai dari tahap lelang hingga proses pembangunannya.

Teman saya itulah yang begitu baiknya mengajarkan saya banyak istilah dan tahapan teknis dalam pembangunan infrastruktur, dimulai dari bagaimana lelang yang benar, bagaimana yang janggal, bagaimana permainannya, bagaimana kesesuaiannya dengan realisasi di lapangan, dan masih banyak lagi. Dari dia, saya belajar banyak sekali.

Saya masih ingat bagaimana dia tertawa ketika melihat saya hanya bisa bengong melihat segelas kopi Rp80.000 yang terhidang di hadapan saya. Kopi di gelas dia tinggal separuh sedang punya saya masih utuh. Yang saya tak habis pikir, harga Rp80.000 pilihan saya itu termasuk di dalam daftar harga minum yang murah.

Saya pun minum kopi Rp80.000 saya dengan perasaan seperti leher dicekik. Dan itu bukan hanya sekali karena dia dan teman-temannya gemar mengajak saya nongkrong sehingga itu sama saja dengan menraktir saya berkali-kali. Bayangkanlah saya merasa tercekik berkali-kali.

Begitulah ingatan saya perihal ngopi ini dan tentu saja ada alasan kenapa saya tiba-tiba membicarakan soal kopi dalam tulisan kali ini. Pertama, karena sejauh mata saya memandang, hamparan coffee shop saat ini ada di segala penjuru. Gilanya, semua kedai itu ramai. Baru saya sadari lagi bahwa Indonesia dalam kondisi darurat kafein.

Mau tak mau saya tentu saya bertanya-tanya dalam hati melihat situasi tersebut. Apakah, batin saya, tuntutan pekerjaan di zaman sekarang sebegitu tidak boleh tidurnya sampai jutaan tubuh manusia harus digelontor kafein setiap hari? Apakah memang demikian? Atau barangkali ada alternatif lain, seperti misalnya tempat sosialisasi yang layak saat ini memang hanya di kafe kopi? Itu berarti, apakah ada persoalan serius dengan ruang tamu-ruang tamu kita di rumah? Atau apakah memang mereka sudah tidak relevan lagi menerima kawan-kawan kita?

Baca Juga: Mengasuh Anak dengan Logika Pasar

Saya masih membayangkan alternatif lain yang kemudian saya dapat ketika memeriksa tugas reporter magang di kantor saya. Reporter tersebut membuat reportase tentang pengeluaran mahasiswa di Soloraya selama sebulan dan mendapatkan nilai Rp1 juta sampai Rp1,5 juta per bulan. Dalam perincian pengeluaran itu ada pengeluaran ke kafe kopi sebesar Rp150.000-R200.000 per bulan!

Saya kemudian bertanya pada reporter itu perihal apakah para mahasiswa itu harus minum kopi di kafe? Tidak bisakah mereka seperti saya yang membawa tumbler dengan isi teh atau kopi panas saja ke mana-mana? Bukankah itu lebih hemat? Bukankah itu tidak akan membelit mereka dalam lubang uang bulanan habis di tengah bulan atau Paylater?

Reporter saya itu menggelengkan kepala mendengar pertanyaan saya sambil tertawa kecil. Dia mengatakan gaya hidup tidak ada hubungannya dengan tumbler. Saya pun tersenyum kecut. Rupanya begitu.

Sesuatu yang mengusik pikiran saya tentang kopi ini adalah ketika beberapa hari sesudahnya saya menerima limpahan data rilis dari Badan Pusat Statistik (BPS). Rilis itu berbicara tentang kemiskinan ekstrem di Indonesia per Maret 2023 yang sebesar 1,12% dari 250-an juta penduduk.

Saya tidak akan menghubungkan secara langsung gaya hidup dengan kemiskinan karena saya merasa itu terlalu artifisial, terlalu susah dibayangkan. Namun, yang tidak berhenti mengusik pikiran saya adalah saat BPS mengategorikan kemiskinan ekstrem dengan paritas daya beli senilai US$1,9 per hari atau setara Rp29.858.

Nilai itu rasa-rasanya terlalu mirip dengan harga segelas kopi sekali minum yang foto-fotonya kemudian diunggah di Instagram atau yang video-videonya kemudian diabadikan di Tiktok. Saya merasakan sebuah ironi yang menyakitkan. Bagaimana kesenjangan ekonomi dan ketidakkepedulian ini bisa begitu besarnya pada masa kini? Betapa gilanya dunia tempat saya tinggal.

Lalu itu pun belum cukup. Fakta kedua yang menendang nalar saya adalah soal sampah makanan yang menurut catatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas menjadi penyumbang terbesar timbunan sampah di Indonesia, tepatnya 40% dari total sampah Indonesia.

Awalnya saya kesusahan membayangkan angka itu, namun ketika saya melihat isi tempat sampah di rumah saya adalah sisa bahan makanan mentah; makanan matang yang tidak habis dimakan; snack basi; dan sejenisnya – lalu itu ditambahkan dengan sampah restoran, food court mal, pedagang kaki lima, bayangannya menjadi lebih jelas. Bappenas juga mencatat 40% sampah makanan itu setara dengan kerugian negara sebesar Rp213 triliun – Rp551 triliur per tahun.

Namun, bukan kerugian itu yang membuat saya tertegun. Catatan Bappenas yang lain menyebutkan pada periode yang sama, 2022 tepatnya, prevalensi gizi buruk di Tanah Air mengalami peningkatan hingga mencapai di atas 10%. Catatan itu yang membuat saya merasa tidak berdaya. Ada anak balita stunting yang jumlahnya sekitar 8 juta anak yang saya bayangkan menjadi sangat kenyang dengan ratusan triliun yang terbuang sia-sia itu!

Jadi, bagaimana bisa sementara sebagian penduduk membuang makanan dengan begitu mudahnya, sebagian yang lain justri mengalami kekurangan gizi kronis karena mereka tak sanggup mengaksesnya. Bagaimana saya bisa melogika ironi ini?

Namun, saya tak hendak memikirkan lebih jauh segala ironi ini karena saya tahu ada jalan buntu di depan sana. Perilaku nirlogika, sesederhana itu.

Sampai di kondisi ini, dam-diam saya mengakui ucapan seorang teman saya, dr. Zia namanya, ketika kami mengobrol tentang betapa gilanya dunia. Dia memang benar sekali saat mengingatkan saya tentang ucapan vokalis Eminem yang merupakan kalimat favoritnya. “Money doesn’t buy happiness, it buys crazy-ass happiness.” Begitu kata kata dia. (Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, namun dia membeli kebahagiaan yang gila-gilaan). Saya hanya bisa tersenyum kecut saat membacanya.



Setelah merenungkan kalimat itu beberapa saat, saya pun meresponsnya dengan kuote seorang psikiater dari Skotlandia, R.D. Laing namanya. Laing berkata, “Kegilaan adalah penyesuaian yang sangat waras terhadap dunia yang gila.” Jadi apakah lebih baik saya gila saja agar saya waras seperti orang-orang yang lain, dr. Zia?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya