SOLOPOS.COM - Muhammad Afif Nur Hanan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Masih pentingkah kejujuran pada era maraknya kasus korupsi? Masih pentingkah kejujuran pada saat celah kebohongan merajalela? Bukankah ketika kita jujur justru akan muncul celah kejahatan oleh pihak lain?

Dalam dunia pendidikan kejujuran masih patut dipertanyakan ketika tandingannya adalah nilai yang berupa angka. Nilai itu seolah-olah menjadi hal utama dan akhirnya kejujuran itu dikorbankan.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Patut kita pertanyakan, seberapa penting kejujuran itu? Siapa yang bertanggung jawab untuk menegakkan kejujuran? Lembaga pendidikan? Lembaga pemerintah? Organisasi Masyarakat Sipil? Siapa lagi?

Ketika jawaban atas pertanyaan tersebut yang muncul adalah angkringan di “sudut kota” apakah bisa dikatakan benar? Sejenak membayangkan ketika kita berkunjung ke angkringan, kita akan disuguhkan berbagai macam makanan dan minuman, seperti nasi kucing, gorengan, minuman hangat, dan lain sebagainya.

Kita bebas untuk mengambilnya. Rakus boleh. Secukupnya pun boleh. Pengunjung angkringan akan dimintai pertanggungjawaban yang berlandaskan kejujuran pada akhir ketika semua makanan dan minuman yang diambil telah masuk ke perut.

Modal kejujuran itulah yang bahkan hingga saat ini angkringan masih menjadi ikon di Kota Jogja. Pelaku usaha angkringan berlandaskan husnudzon kepada para konsumen, tanpa memikirkan berapa banyak yang berbohong dan dampaknya kepada keuntungan yang didapatkan.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah mengapa angkringan masih relevan hingga saat ini kala banyak kasus korupsi di semua lini kehidupan? Bagaimana jika di angkringan banyak konsumen yang berbohong?

Bagaimana jika angkringan menjadi wadah untuk pemenuhan kebutuhan perut dengan membayar tidak yang seharusnya? Bukankah dengan begitu angkringan justru akan punah karena omzet tidak menutup operasional para pelaku? Mengapa angkringan masih eksis hingga saat ini?

Tentu ini semua adalah karena budaya, budaya kejujuran selalu ditanamkan antara konsumen dengan pelaku usaha angkringan. Pelaku usaha bermodalkan percaya kepada konsumen dan konsumen justru akan terkuasai aspek normatif, yakni merasa ”tidak enak hati” ketika akan berbohong.

Budaya akan terbangun seiring berjalannya waktu dan hingga saat ini dibuktikan dengan angkringan masih eksis dengan budaya kejujuran tersebut. Tentu budaya di angkringan ini patut kita contoh, khususnya dalam melatih diri untuk selalu jujur.

Pada aspek sosial, ketika kita berkunjung ke angkringan kita akan disuguhkan keramahan penjual dan antarkonsumen. Rasa kekeluargaan yang sangat erat, bahkan tanpa hubungan sekalipun. Tanpa memandang jabatan, kasta, dan identitas semua seolah-olah sama ketika guyub di tenda angkringan.

Di balik angringan yang menyuguhkan pembangunan mental jujur, mari kita lihat sektor lain yang notabene sektor paling vital, yakni sektor pendidikan. Saat ini kita disuguhkan maraknya sekolah yang makin mahal demi peringkat, baik di tataran kecamatan, kabupaten, dan seterusnya.

Citra dan status akreditasi sekolah menjadi pembangun gengsi. Lembaga pendidikan yang ideal bukan hanya yang unggul pada urusan akademis, namun juga unggu pada pendidikan karakter. Justru inikah yang belakangan semakin sering dipertanyakan.

Pendidikan karakter, khsusnya kejujuran, bisa dikatakan gagal ketika ditemui banyak kasus manipulasi nilai demi citra dan akreditasi. Kondisi ini sering ditemui bukan hanya di tataran perguruan tinggi, namun justru mulai dari tingkat dasar maupun menengah.

Ini menunjukkan pendidikan karakter seharusnya ditanamkan sejak dini agar nanti pada masa yang akan datang menjadi manusia dewasa yang berkarakter terpuji kuat.  Nilai dan gensi kini seolah-olah menjadi hal utama dalam dunia pendidikan.

Alhasil dari tahun ke tahun kualitas pendidikan, khusunya pendidikan karakter, boleh dkatakan semakin menurun. Etika dan karakter akademikus dalam dunia nyata pun saat ini makin sering dipertanyakan.

Bagaimana tidak? Banyak mahasiswa ketika terjun ke tengah masyarakat masih menepatkan dirinya lebih tinggi daripada masyarakat. Esensi pendidikan sebagai laku memanusiakan manusia seolah-olah telah pudar.

Pendidikan hanya dinilai dari nilai dan gengsi semata. Sudah saatnya pendidikan membangun pendidikan karakter secara serius karena inilah hal utama. Ketika nilai siswa anjlok, jadikanlah pembelajaran dan evaluasi untuk lebih baik selanjutnya, bukan dengan menjual kejujuran.

Ketika sekolah dalam seluruh tingkatan menerapkan hal ini, tentu budaya kejujuran dan karakter pembelajar sejati akan terbangun, walau sedikit demi sedikit. Belum lagi jika melihat dalam sektor pemerintahan.

Para calon anggota legislatif atau kandidat pemimpin eksekutif jamak menggelontorkan banyak dana demi bisa duduk di gedung parlemen atau mendudukui kursi jabatan eksekutif. Patut ditanyakan mengapa rela keluar uang sangat banyak demi ”memikirkan” rakyat, bahkan hingga berebut kursi?

Ketika kita berpikir apakah kondisi ini logis? Yang muncul dalam benak kita bahwa pikiran yang logis adalah bagaimana dana kampanye bisa segera kembali, segera balik modal, bahkan sebisa mungkin untung berlipat-lipat.

Itulah yang saat ini terjadi. Tidak masuk akal seseorang ingin memperjuangkan rakyat, namun rela keluar uang sangat banyak untuk kampanye. Memperjuangan orang lain saja berat, apalagi harus keluar uang, sungguh tidak logis!

Dan ketika masuk di gedung parlemen atau menduduki jabatan di lembaga eksekutif niscaya mereka akan berebut mecari ”ladang basah” untuk menutup biaya kampanye. Itulah yang logis. Lagi-lagi ini masalah budaya kejujuran!

Dalam dunia pendidikan maupun pemerintahan seakan-akan kalah dengan budaya di angkringan di pojok kota yang selalu berfondasi budaya kejujuran. Seharusnya kita belajar dari angkringan dalam membangun dan menguatkan budaya kejujuran.



Di dunia pendidikan, sejak kecil seharusnya budaya yang ditanamkan adalah pendidikan karakter. Salah satunya adalah karakter jujur karena hal inilah yang sangat penting daripada sebatas nilai angka-angka atau status akreditasi.

Pendidikan yang benar adalah yang ”memanusiakan manusia”. Mari bersama-sama menegakkan kejujuran mulai dari lingkup terkecil kita. Kalau bukan kita siapa lagi? Marilah kita mulai dari keluarga terdekat, ajarkan anak-anak selalu jujur dari hal-hal kecil.

Justru dari hal-hal kecil itulah akan terbangun fondasi kuat yang pada dikemudian hari membuat tiap individu tidak akan tmudah terkecoh dengan rayuan duniawi semata. Menjadi generasi yang jujur, antikorupsi, dan berkarakter terpuji sangat kuat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Januari 2024. Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyan Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya