SOLOPOS.COM - Basori Rohmad (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perekrutan  anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kabupaten/kota di Jawa Tengah dan di beberapa provinsi lain menyisakan persoalan serius yang bisa berdampak buruk pada demokrasi dalam Pemilu 2024.

Ini tampak dari pengumuman 10 besar pilihan tim seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kesimpulan saya ini diperkuat sikap Sekretaris Tim Seleksi KPU Kabupaten/Kota Zona Soloraya, Khomsun Nur Arif, yang tidak mau menandatangani dokumen pengumuman 10 besar.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Dalam perspektif saya, ketika sekretaris tim seleksi tidak mau bertanda tangan artinya tidak menyetujui hasil tersebut. Ini mengindikasikan ada intervensi politik serta persolan serius dalam penentuan 10 besar calon anggota KPU dan Bawaslu kabupaten/kota yang akan dikirim ke KPU pusat dan Bawaslu pusat.

Di jajaran 10 besar tersebut mayoritas—dalam perspektif saya—orang-orang yang selama ini kurang kompeten dalam penyelenggaraan pemilu. Beberapa nama baru tidak mempunyai pengalaman sebagai penyelenggara pemilu di tingkat bawah, seperti panitia pemilihan kecamatan (PPK) maupun panitia pemungutan suara (PPS).

Mereka masuk 10 besar hanya karena berasal dari organisasi tertentu. Nama-nama yang masuk 10 besar calon anggota KPU dan Bawaslu kabupaten/kota di Jawa Tengah, terutama di Soloraya, 70%–80% adalah kader-kader organisasi tertentu yang dikenal sebagai ”organisasi mahasiswa nasionalis”.

Di beberapa kabupaten menafikan keterwakilan 30% perempuan yang menjadi mandat Undang-undang Pemilu. Ini tampak di Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Sragen. Semua yang masuk 10 besar adalah laki-laki.

Di Kabupaten Wonogiri ada dua orang perempuan incumbent dan di Kabupaten Sukoharjo ada seorang perempuan incumbent, namun tidak masuk 10 besar karena bukan dari organisasi tertentu itu.

Data yang menunjukkan banyak kader organisasi tertentu itu masuk 10 besar tidak bisa dilihat berdiri sendiri atau secara kebetulan mereka mempunyai kualitas dan kualifikasi sebagai penyelenggara pemilu. Saya melihat ada intervensi dari komisioner KPU pusat yang menghendaki komisioner KPU kabupaten/kota mayoritas adalah kader organisasi itu.

Salah seorang anggota KPU pusat adalah alumnus organisasi itu. Saya yakin dia mempunyai kepentingan mendudukkan kader-kadernya menjadi anggota KPU di level bawahnya. Pertarungan kekuatan partai politik pada Pemilu 2024 mendorong muncul strategi nenguasai KPU untuk mengamankan kepentingan.

Ini biasanya adalah bagian strategi politik yang dilakukan oleh partai politik yang mempunyai kekuasaan. Anomali dalam perekrutan anggota KPU dan Bawaslu kabupaten/kota di Jawa Tengah yang saya tangkap tersebut, terutama di zona Soloraya, dimulai sejak penempatan tim seleksi yang terbagi dalam zona yang mencakup beberapa kabupaten/kota.

Tim seleksi ditunjuk oleh KPU pusat dan Bawaslu pusat secara tertutup. Ini berdampak tim seleksi tidak mencerminkan kualitas dan kemampua terkait kompetensi penyelenggaraan pemilu yang berintegritas sesuai harapan masyarakat dan partai-partai politik.

Kata kunci paling penting bagi tim seleksi adalah memiliki integritas yang tinggi. Ini penting karena mereka menghadapi berbagai tekanan, godaan, dan lobi dari para peserta seleksi, elite-elite politik, serta dari kerabat/saudara. Ada pula titipan-titipan dari organisasi yang telah membesarkan nama anggota tim seleksi.

Kalau tim seleksi bekerja secara independen dan penuh integritas mereka akan mempertimbangkan beberapa hal saat menyeleksi calon anggota KPU dan Bawaslu kabupaten kota. Pertama, kompetensi, yaitu pengetahuan ihwal perundang-undangan tentang pemilu dan kepartaian, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan ketatanegaraan Indonesia.

Ini diwujudkan dalam nilai computer assisted test (CAT) guna memperoleh standar minimal kompetensi dasar. Hasil tes ini ternyata tidak sepenuhnya menjadi ukuran dasar, hanya sebagai formalitas ujian kompentensi, karena hasilnya tertutup.

Hanya tim seleksi dan peserta secara individual yang mengetahui hasilnya. Publik tidak bisa memantau nilai secara keseluruhan. Ketidaktransparan inilah yang memunculkan kecurigaan bahwa perekrutan anggota KPU dan Bawaslu periode ini penuh rekayasa yang terstruktur dan sistematis.

Kedua, integritas. Ini adalah syarat kunci. Apabila pemilu kita ibaratkan pertandingan sepak bola, KPU dan Bawaslu sebagai wasit harus tegas menegakkan aturan hukum dan etika pemilu, tidak boleh goyah sedikit pun oleh godaan berbagai pihak.

Nama-nama yang masuk 10 besar tampaknya belum teruji. Para incumbent yang mempunyai kapasitas dan integritas serta pengalaman sebagai penyelenggara justru disingkirkan karena bukan berasal dari kelompok atau berani melawan arus dengan memegang teguh kebenaran sebagai komisioner yang berintegritas.

Ketiga, independensi. Budaya dan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang masih memandang senioritas dalam berorganisasi, sikap ewuh-pekewuh kepada orang yang lebih tua/saudara, dan balas jasa/budi membuat independensi sulit dipraktikkan.

Suka atau tidak suka penyelenggara pemilu harus independen. Saat mengambil keputusan murni hasil rapat pleno tanpa terikat atau terpengaruh oleh pihak manapun, termasuk intervensi dari penguasa.

Semoga demokrasi di republik ini tetap terjaga dan terselamatkan, meskipun lembaga yang dipercaya mengelola penyelenggaraan pemilu sebagai salah satu indikator prasyarat negara demokrasi telah tercederai dengant perekrutan yang penuh anomali seperti yang terjadi saat ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Agustus 2023. Penulis adalah Sekretaris Partai Solidaritas Indonesia Boyolali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya