SOLOPOS.COM - Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Belakangan, sosok Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi, kerap diperbandingkan dengan Barrack Obama. Orang memang suka membuat pendekatan semacam ini untuk menggambarkan karakter seseorang. Kesannya lebih menarik, lebih catching, walaupun mungkin agak berlebihan.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Jokowi adalah Walikota Solo dan calon gubernur DKI Jakarta. Sedangkan Obama adalah Presiden negara adi daya Amerika Serikat (AS). Tetapi tiba-tiba foto keduanya disandingkan oleh seseorang yang belum diketahui. Di atas foto kedua tokoh itu, ada pula foto pesaing Jokowi di Jakarta, Fauzi Bowo, yang disandingkan dengan pemimpin Nazi Jerman, Hitler.

Kebetulan, pekan lalu paduan foto yang sederhana dan nyaris bisa dilakukan siapa saja itu masuk ke meja pengaduan SPK Polda Metro Jaya. Bisa jadi, itu foto masuk kategori kampanye hitam. Siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan masih belum jelas. Dalam politik, retorika bisa berkelindan sangat licin.

Dalam beberapa hal, perbandingan Jokowi dan Obama memang cukup menarik. Anggap saja, ini bagian dari kelakar politik. Bukankah politik menjadi menarik dengan guyonan ringan? Bukankah politik juga tidak akan menarik tanpa bumbu-bumbu yang mengejutkan, tanpa drama-drama yang menjengkelkan?

Pertama, Jokowi dan Obama adalah sama-sama pengicau di jejaring sosial Twitter. Ada orang mengatakan strategi Jokowi terinspirasi Obama, yakni menggaet anak muda sebagai agent of change. Akun Twitter Jokowi-Ahok lumayan diminati, mulai dari orang biasa hingga orang terkenal seperti Olga Lydia atau Peter Gontha, mulai dari orang yang punya konek dengan faktor Solo atau sama sekali tak punya hubungan dengan Solo. Tetapi tentu ada jarak yang memisahkan antara Jokowi dengan Obama. Follower atau pengikut Jokowi “hanya” 181.598 orang. Terhitung sangat banyak untuk ukuran Twitter. Tetapi masih terbentang jauh di bawah Obama yang mencapai 17.723.067 pengikut.

Bedanya lagi, Obama, sesuai watak politik Amerika yang selalu head to head terhadap rivalnya, sering secara verbal menyerang para pesaing atau penantangnya. Dalam kicauannya, Obama, bisa langsung menunjuk hidung kandidat presiden dari Partai Republik, Mitt Romney, dengan kata-kata seperti ini, “Tell Romney and his allies in Congress….” Obama secara langsung mengkritik rencana strategi Romney. Keduanya akan bertarung dalam Pemilu Presiden AS yang diperkirakan akan berjalan sengit, November tahun ini.

Bandingkan dengan strategi verbal Jokowi. Melalui tweet-nya, Jokowi hanya mengatakan, “Ternyata, semut tidak selalu kalah dengan gajah.” Terkesan pelan, sangat Solo, tidak head to head, tetapi langsung menohok ke sasaran.

Kedua, Jokowi dan Obama juga pernah mengalami gangguan ideologis. Obama yang nama aslinya Barrack Hussein Obama Jr, adalah anak pria kulit hitam Kenya, Barrack Hussein Obama, yang menikah dengan wanita kulit putih, Ann Dunham. Ayah Obama yang seorang muslim Afrika, memberi celah kepada sebagian warga Amerika untuk menyerangnya. Di Amerika, Islam Phobia atau ketakutan terhadap Islam masih ada. Apalagi, sampai beberapa tahun sebelum Pemilu 2008 itu, rakyat AS sangat hafal di luar kepala dengan nama “Hussein” yang lain. Siapa lagi kalau bukan Presiden Irak, Saddam Hussein.

Itu sudah terjadi empat tahun lampau. Obama akhirnya menang. Nama Hussein akhirnya punya perspektif baru di mata rakyat AS. Kali ini, Jokowi sudah mulai dihadapkan dengan fakta bahwa pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang non muslim dan keturunan Tionghoa. Perdebatan sudah ramai di jejaring sosial, laman-laman diskusi, atau di warung-warung kopi, wedangan, dan sebagainya. Faktanya, Ahok pernah memenangi Pilkada Belitung Timur dan menjadi bupati di Bumi Laskar Pelangi yang mayoritas muslim itu.

Perdebatan tentang isu ini bisa panjang tak berujung, bisa luas tak bertepi. Tergantung pada masing-masing orang. Penjelasan dan perang kata-kata mengenai isu ini sudah dilakukan banyak orang, namun toh pilihan terakhir ada di sudut hati masing-masing pemilih. Maka terjadilah apa yang harus terjadi.

Ketiga, Jokowi dan dan Obama punya gaya pidato yang menarik. Jokowi dengan gaya sederhana, berpidato seperti berkata-kata keseharian, sedangkan Obama dengan gaya istimewa, mungkin paduan antara gaya rapper dan gaya pengacara di pengadilan Amerika seperti di film-film Hollywood itu. Mungkin dengan kesederhanaan gaya bicara Jokowi itu, lebih bisa diterima oleh warga DKI yang mayoritas urban. Bahkan sesederhananya seorang Jokowi, dia tetap mempunyai ambisi, tetap mengemban misi politik, tetapi dia mampu menyederhanakan ambisi itu, dengan caranya sendiri. Dan jangan salah, video pidato Jokowi dan Obama juga banyak tersebar di youtube, tentu dengan jumlah viewer yang berbeda.

Meski begitu, konon ada yang orisinal yang dilakukan Jokowi. Apa lagi kalau bukan baju kotak-kotak yang menjadi brand duet Jokowi-Ahok. Baju model ini dengan lincah bisa masuk ke mana saja, bisa dipakai siapa saja, bisa dalam bentuk apa saja. Dan belakangan, baju ini telah memberi keuntungan luar biasa bagi pedagang pakaian, baik pedagang beneran maupun pedagang jadi-jadian. Pekan lalu, kebetulan saya mengantar teman lama blusukan ke pasar dan pusat perkulakan kain di Solo, sekadar mencari kain atau baju motif Jokowi untuk dibawa ke Jakarta. “Banyak peminat Mas.” Kata teman saya itu.

Kelak, ini mungkin akan menjadi inspirasi bagi petualang politik lain. Mengemas positioning diri dengan cerdik, melakukan strategi marketing yang bagus dan memberi sentuhan akhir dengan menarik pula, seperti baju kotak-kotak itu. Tetapi entahlah, toh ini hanya sekadar kelakar….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya