SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sharuman  si penyihir berambut putih mengkhianati Gandalf, sahabatnya, demi bersekutu dengan Sauron sang jenderal kegelapan. Dalam trilogi The Lord of The Rings, karakter yang diperankan aktor Inggris Christopher Frank Carandini Lee itu menjadi sayap kekuatan jahat dengan ratusan ribu pasukan Uruk-hai yang ditakuti.

Andai tak ada bantuan dari Gandalf yang telah bangkit menjadi Gandalf The White bersama bala bantuannya, benteng Rohan pasti jatuh ke tangan pasukan Uruk-hai. Uruk-hai adalah makhluk yang dibangkitkan Sharuman dengan sihir.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Sihir Sharuman yang kuat itu tak bisa sendirian. Dia butuh sumber energi melimpah di sekitar menaranya di Isengard. Demi membangkitkan ratusan ribu makhluk kekar itu, Sharuman membabat hutan, mencabut pohon-pohon dari akarnya.

Pohon-pohon itu kemudian dibakar untuk menyalakan api yang tak pernah padam demi menempa besi. Sungai dibendung untuk menggerakkan kincir. Para Orc bekerja siang-malam menempa besi untuk membuat senjata. Tujuannya satu: berkuasa.

Nyala api adalah modal utama Sharuman memenuhi ambisinya. Tanpa api, dia tidak bisa apa-apa. Seperti saat kaum Ents–yang masih satu jenis dengan pepohonan–mengobrak-abrik Isengard. Mereka marah Sharuman mengubah hutan menjadi padang yang dipenuhi api dan logam.

Kaum Ents menghancurkan bendungan sehingga air bah memadamkan api dan kuasa Sharuman seketika. Dalam kisah nyata api adalah sumber kehidupan. Bangsa Arya yang hidup di stepa Eurasia pada milenium ketiga sebelum Masehi menyebutnya “agni” yang berarti api dalam bahasa Sanskerta.

Nenek moyang bangsa Persia dan India itu menganggap api sebagai simbol kesucian. Api menjadi medium bagi orang Arya berkomunikasi dengan tuhan mereka. Setiap kali mereka berkurban untuk para daeva, agni adalah unsur penting yang tak terpisahkan.

Agni-lah yang menghubungkan persembahan orang-orang Arya di bumi dengan para daeva di langit. Ada beberapa daeva yang mereka sembah, yang utama adalah Mazda dan Indra. Mazda duduk di langit memelihara kedamaian.

Indra menjadi tokoh daeva di langit yang menginspirasi penaklukan dan peperangan. Pendek kata, Indra menjadi inspirasi bagi sebagian orang Arya yang berjiwa perang. Ketika bangsa Arya Avesta–yang kelak menjadi cikal bakal bangsa Persia–bosan dengan keyakinan spiritual para pendahulu mereka yang cinta damai dengan menyembah Mazda, mereka beralih kepada Indra.

Atas nama Indra, mereka menaklukkan serta merebut lahan dan ternak milik bangsa atau kelompok lain, termasuk sesama orang Avesta sendiri. Orang-orang Arya yang berperilaku baik merasa resah.

Dalam keyakinan mereka, para daeva tak bisa lagi diandalkan karena Indra juga sedang memerangi para daeva lainnya. Mereka percaya ketika manusia berperang di bumi, para daeva juga saling bertempur di langit. Itu membuat orang-orang yang cinta damai nyaris putus asa.

Suatu hari pada milenium kedua sebelum Masehi, muncul sosok nabi dari kalangan orang Avesta bernama Zoroaster atau Zarathustra. Zoroaster membawa keyakinan baru: yang berkuasa atas alam semesta adalah Sang Maha Tinggi yang dia sebut Ahura Mazda atau Ashura dalam bahasa Sanskerta.

Keyakinan yang mendekati monoteisme ini menjadi dasar agama baru yang dibawa Zoroaster kepada umatnya yang tertindas. Zoroaster tampil bukan hanya sebagai tokoh spiritual, melainkan juga mengajak kaumnya berperang melawan penindasan para pemuja Indra.

Berperang boleh dilakukan untuk membela diri, bukan untuk tujuan penaklukan. Ajaran Zoroaster lebih progresif daripada keyakinan para pemuja Mazda yang cenderung berserah diri. Itu pula yang menyebabkan ajaran ini populer di kalangan bangsa Arya, termasuk orang-orang Avesta yang suka berperang dan dibenci oleh Zoroaster.

Ketika orang-orang Avesta mulai menaklukkan wilayah selatan atau Persia, mereka juga membawa ajaran Zoroaster dan menyebarkannya. Barangkali Zoroaster tak pernah menyangka bangsa penakluk itulah yang mewarisi ajarannya. Ini menjadi paradoks saat ajaran Zoroaster yang melarang penaklukan dibawa oleh bangsa yang gemar berperang.

Penaklukan

Di timur, orang-orang Arya berbahasa Sanskerta juga membawa pengaruh Zoroaster ke India. Lama-kelamaan mereka meninggalkan ajaran yang mereka nilai pasif dan tidak dinamis. Mereka kembali memuja Indra yang agresif sebagai inspirasi penaklukan di anak benua Asia itu.

Atas nama Indra, mereka menaklukkan suku-suku pedalaman dan membabat hutan demi membuka lahan. Di tangan para penakluk, api bukan lagi zat suci. Api digunakan untuk membakar dan memusnahkan makhluk hidup lain.

Hutan dibakar dalam penggalian sumber-sumber energi demi memelihara api. Demi memenuhi hasrat, mereka bisa mencari pembenaran, termasuk mengatasnamakan tuhan kalau perlu. Bangsa Arya bukan satu-satunya.

Pada era modern, hasrat penaklukan terus bermunculan. Di bawah Abu Bakr al-Baghdadi yang mendeklarasikan diri sebagai “khalifah”, Islamic State (IS) alias Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi penakluk modern atas nama agama.

Mereka menguasai kota-kota dengan sumur minyak melimpah dan jalur-jalur perdagangan gelap. Sebagai penakluk, mereka terbilang lengkap. Mereka memiliki wilayah, tentara, persenjataan, dan sumber pendanaan.

Mereka membakar kota-kota dan kilang minyak yang dikuasai lawan. Sebenarnya mereka lebih mirip mafia atau penakluk kuno yang berbuat onar untuk kepentingan ekonomi yang berbalut “kepentingan agama”.

Agama juga menjadi salah satu alasan bangsa-bangsa dari Eropa Barat menaklukkan dunia pascarenaisans. Ini terlihat dari berbagai ekspedisi Spanyol, Portugis, hingga Belanda yang mencapai kepulauan Nusantara dengan slogan gold, glory, gospel atau 3G.

Pada akhirnya, spirit imperialisme kuno itu perlahan-lahan berubah menjadi kapitalisme atas nama negara seiring berakhirnya dominasi Spanyol dan Portugis di dunia. Kini, kapitalismelah yang menjadi spirit utama penaklukan.

Tentu bukan penaklukan wilayah ala bangsa Arya dan Mongol pada masa lalu. melainkan penguasaan atas sumber-sumber daya alam dan energi. Praktiknya sama saja, membabat hutan dan menyingkirkan para penduduk lokal.



Selama puluhan tahun, hutan di Sumatra dan Kalimantan tergerus oleh pembukaan tambang-tambang batu bara dan perkebunan sawit serta akasia khususnya dalam dua dekade terakhir. Global Forest Watch mencatat pada 2001 Indonesia masih memiliki 93,8 megahektare (mha) hutan primer yang menutup 50% daratan.

Pada 2021, Indonesia kehilangan 203 kilohektare (kha) hutan primer yang setara dengan emisi sebesar 157 metrik ton CO?. Dari 2002 sampai 2021, Indonesia kehilangan 9,95 mha hutan primer basah dan menyumbang 36% dari total hilangnya tutupan pohon pada periode yang sama.

Area total hutan primer basah di Indonesia berkurang 11% dalam periode tersebut. Semuanya dibenarkan atas nama kepentingan ekonomi karena batu bara, minyak sawit, dan kertas adalah komoditas utama ekspor Indonesia.

Atas nama kepentingan negara pula tambang-tambang nikel dibuka di berbagai pulau di Maluku Utara. Pulau-pulau yang semula tertutup hutan hijau itu kini dipenuhi area tambang nikel dan alat-alat berat yang lalu lalang.

Tambang menyingkirkan penduduk asli seperti orang-orang Tobelo Dalam yang kian terdesak di tengah menyempitnya hutan Halmahera. Itu belum termasuk pencemaran limbah tailing beracun yang membahayakan manusia di Pulau Obi.

Untuk siapa semua ini? Batu bara terus digali demi menyalakan api di pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Nikel digali demi menyuplai industri baterai litium, penggerak mobil listrik yang diklaim ramah lingkungan.

Kini api bukan lagi sumber spirit seperti keyakinan Zoroaster dan pengikutnya pada masa lalu. Api kini menjadi alat dan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Juni 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya