SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Suatu pagi pada bulan Juli yang sejuk saya dan keponakan saya berjalan-jalan di Arisugawa Park. Taman ini dekat dengan Stasiun Hiroo, sekitar empat menit berjalan kaki, dan dikelilingi oleh banyak tempat tinggal mewah dan kantor kedutaan besar negara-negara.

Lingkungan sekitarnya begitu tenang dan alami. Di taman ini kita seperti berada di dunia lain, terpisah dari Tokyo, Jepang, yang selalu sibuk dan bergerak cepat. Di taman ini kita bisa berjalan pelan-pelan, menikmati kicauan burung-burung, atau bahkan melamun di bawah rindangnya pepohonan.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Pada zaman Edo, kawasan ini adalah bagian dari tempat tinggal seorang samurai. Pada 1896, daerah ini ditetapkan sebagai bagian dari tanah keluarga kekaisaran. Lalu, pada 1934, tempat ini diubah menjadi taman umum dan dibuka untuk umum sampai sekarang.

Saat kami datang, taman itu sepi, tak banyak pengunjung. Hanya ada rombongan simbah-simbah Jepang berjalan-jalan di taman tersebut. Tidak terlihat anak-anak. Satu-satunya anak yang berjalan-jalan di taman itu hanyalah keponakan saya.

”Kenapa tidak ada anak-anak? Beda sekali dengan Taman Balekambang di Kota Solo yang riuh anak-anak berlarian setiap hari libur,” tanya saya.

”Begitulah. Jumlah kelahiran di sini rendah. Jumlah anak sedikit, beda dengan di Indonesia,” kata saudara saya.

Jawaban saudara saya ini sejalan dengan situasi yang tengah dihadapi Jepang. Negeri Sakura ini memang mengalami resesi seksual yang sudah terasa sejak dulu. Dikutip dari The Guardian, perempuan Jepang memiliki rata-rata angka kelahiran yang rendah yaitu 1,3 anak selama masa hidupnya, jauh di bawah angka kelahiran yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi saat ini, yaitu 2,1.

Alhasil jumlah penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun dilaporkan meningkat hingga mencapai 28% dari total populasi saat ini. Bisa dimaklumi mengapa orang Jepang enggan punya anak dan memilih fokus berkarier.

Jepang adalah negara termahal ketiga di dunia untuk membesarkan anak. Ini menurut data YuWa Population Research. Jepang hanya berada di bawah China dan Korea Selatan, negara-negara yang juga mengalami penyusutan populasi.

Pemerintah Jepang telah memberikan banyak sekali insentif bagi keluarga yang mau punya anak, mencakup biaya pemeriksaan kehamilan, biaya persalinan, tunjangan cuti pengasuhan anak, hingga tunjangan anak-anak.

Childfree

Biaya persalinan dan perawatan anak ini bisa didapatkan semua orang tanpa terkait kewarganegaraan jika yang bersangkutan mendaftarkan diri pada penyelenggara asuransi kesehatan.

Bukan hanya itu. Saat ayah dan ibu kembali bekerja, anak-anak bisa dititipkan di fasilitas layanan daycare secara gratis. Sejumlah tempat kerja juga menyediakan fasilitas dan pelayanan penitipan anak gratis bagi karyawan mereka.

Tetap saja hal ini tidak membuat pasangan muda di Jepang tertarik bereproduksi. Banyak di antara mereka memilih untuk childfree. Mereka tetap berpikir logis bahwa membesarkan anak butuh biaya banyak dan tanggung jawabnya sangat besar.

Hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memandang fenomena pasangan atau seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak atau childfree di Indonesia belum mengkhawatirkan.

Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka kelahiran total (total fertility rate atau TFR) Indonesia masih berada pada angka 2,18. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275,77 juta jiwa pada 2022.

Jumlah tersebut naik 1,13% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 272,68 juta jiwa. Menurut usia, sebanyak 69,25% penduduk Indonesia berada di jenjang usia 15 tahun hingga 64 tahun. Sebanyak 24% penduduk berusia nol hingga 14 tahun dan 6,74% penduduk berusia 65 tahun ke atas.

Sedangkan dalam urusan angka kelahiran, data BPS menunjukkan jumlah kelahiran mencapai 4,45 juta jiwa pada 2022. Angka tersebut meningkat 0,22% daripada tahun 2021 yang sebesar 4,44 juta jiwa.

Di satu sisi, hal ini justru menguntungkan Indonesia. Dengan jumlah penduduk usia muda yang lebih tinggi dibandingkan penduduk usia lanjut, Indonesia bisa memaksimalkan potensi human capital tersebut untuk pembangunan negara dan ekonomi.

Di sisi yang lain lagi, jumlah penduduk usia produktif yang tinggi ini juga bisa menjadi  beban negara bila human capital ini tidak berkualitas. Negara perlu hadir untuk membantu para orang tua agar bisa menghasilkan generasi emas,

Kehadiran negara itu, misalnya, dengan mengurangi angka stunting atau tengkes, lebih menggiatkan peran pos pelayanan terpadu untuk anak berusia di bawah lima tahun atau posyandu balita, membekali generasi muda tentang kesehatan reproduksi dan gizi, membekali  calon pengantin, hingga menjamin pendidikan minimal sembilan tahun bagi anak dari golongan menengah ke bawah.

Sedangkan secara individual, setiap orang wajib menyadari bahwa memiliki anak memang harus dipikirkan dan dipersiapkan secara matang. Sebelum punya anak, harus menyiapkan diri secara fisik, mental, dan finansial.

Setelah punya anak, orang tua harus memenuhi semua hak anak yang meliputi hak untuk mendapatkan kasih sayang, rasa aman, pendidikan, hingga kesehatan, termasuk imunisasi wajib mereka.

Semoga dengan langkah nyata pemerintah dan ditunjang kesadaran masing-masing warga, kita bisa menghasilkan generasi emas untuk Indonesia. Semua kisah pilu tentang nasib anak-anak Indonesia semoga selekasnya tinggal cerita.

Tidak ada lagi kasus stunting.  Tidak ada lagi anak-anak telantar. Tidak ada lagi anak-anak jadi korban kekerasan orang tua. Tidak ada lagi anak-anak salah asuhan. Ketika sudah memutuskan tidak childfree, jadilah orang tua yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Februari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya