SOLOPOS.COM - Muhammad Ghufron (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – ”Andai  anak-anak remaja itu punya kebiasaan mengkliping, pastilah mereka tak bisa dibohongi karena tahu masalah sampai akar-akarnya. Sayang sekali pendidikan Indonesia tak pernah mendidik muridnya tekun menggali fakta,” demikian Pramoedya Ananta Toer alias Pram berujar.

Pram adalah sosok yang sangat tekun di balik kerja-kerja pengarsipan. Ia punya kebiasaan mengkliping. Mengumpulkan kliping menjadi salah satu kegiatan rutin  yang dilakukan sastrawan cum eks tahanan politik di Pulau Buru itu.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Dalam sebuah wawancara, Astuti Ananta Toer, sang istri, mengatakan Pram telah mengumpulkan kliping sejak 1980 hingga 2006 dari koran-koran dan sumber lainnya. Hal ini dilakukan untuk membuat Ensiklopedi Citrawi Indonesia dan Ensiklopedi Kawasan Indonesia.

Sayang, keduanya belum diterbitkan hingga sekarang. Setidaknya Pram telah menekuni jalan sunyi di balik kerja arsip yang jarang ditilik publik. Kita harus mengakui kerja pengarsipan itu cenderung bikin jemu. Seolah-olah tiada guna. Sia-sia.

Berhadapan dengan tumpukan koran dan majalah bukan perkara gampang. Membutuhkan kesiapan raga dan mental. Ketika memindai tumpukan majalah dan koran ke dalam bentuk digital di Warung Arsip Yogyakarta; sebuah sayap Yayasan Indonesia Buku yang bergerak di bidang penyimpanan barang-barang cetakan, rasa jemu itu kian menerungku tubuh dan pikiran saya.

Dari sampul depan hingga belakang majalah seluruhnya tuntas diarsip.  Kerja pengarsipan itu tak bisa menoleransi sesuatu yang menurut kita tidak berguna; iklan bedak, minuman, makanan, produk elektronik, dan lain sebagainya menjadi bagian yang tak boleh terlewatkan untuk diarsipkan.

Bisa jadi itu semua dibutuhkan pada masa depan untuk mengulik dinamika industrialisasi masa lalu. Kita bisa mengetahuinya melalui iklan. Iklan menjadi saksi sejarah tentang industri mengepakkan sayap melalui majalah atau koran. Dengan begitu, mengarsipkan iklan saja tidak boleh dipandang remeh, apalagi mengarsipkan peristiwa besar yang terjadi hari ini. Tragedi di Satdion Kanjuruhan yang menghias frontpage  koran nasional dan internasional beberapa waktu yang lalu, misalnya, penting untuk diarsipkan.

Anak-anak sedari dini perlu mengklipingnya. Peran sekolah penting untuk mengajari mereka mengumpulkan peristiwa besar di koran untuk diarsipkan dalam bentuk digital atau konvensional. Inilah pendidikan yang didambakan Pram. Tekun mendidik murid menggali fakta agar tidak melupakan dan dibohongi sejarah.

Menteri Sekretars Negara Moerdiono (menteri era Orda Baru) suatu ketika berkata tanpa arsip suatu bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif dan akan terperangkap dalam kekinian yang penuh dengan ketidakpastian.

Oleh karena itu, menurut Moerdiono, tidaklah akan terlalu keliru jika dikatakan bahwa kondisi kearsipan nasional suatu bangsa dapat dijadikan indikasi dari kekukuhan semangat bangsanya. Nilai guna arsip jelas berfungsi sebagai pengingat kita perihal untaian narasi sejarah kebangsaan.

Dalam hal mengkliping, misalnya, Muhidin M. Dahlan melalui esai Praktik Kliping  dan Daya Budi Kultural mengingatkan kita bahwa mengkliping bukan saja perkara teknis semata dalam kerja kearsipan. Mengkliping adalah cara kita menjaga detail cerita negara-bangsa dan menjadi media sekaligus ruang bersama membincangkan secara berkelanjutan detail cerita sebagai bangsa.

Dengan begitu,  praktik mengkliping pada dasarnya tidak hanya membina dokumentasi bangsa, namun juga menjadi sumber yang tidak pernah habis dari daya budi kultural. Kelahiran media cetak dan buku dari masa ke masa yang tak terhitung jumlahnya menandakan spirit zamannya.

Amnesia Kolektif

Oleh karena itu, jika kita enggan mengarsipkannya, bisa jadi kita akan mengalami semacam amnesia kolektif. Lupa akan sejarah masa lalu dan dengan penuh keengganan membicarakan arsip.

”Jika kamu rajin mengarsip, kamu tak akan pernah bisa dibohongi oleh kekuasaan apa pun,” kata Pram. Arsip jadi semacam cerita-cerita yang menuntun kita meretas redup kehidupan hari ini. Membincangkan dan menulis detail persoalan dengan ajek.

Budaya, ekonomi, teknologi, politik, dinamika agama, hingga hal paling subtil sekalipun serupa filsafat dan seni. Masing-masing individu pantas membincangkan itu semua. Di kepala mereka punya banyak stok data dan fakta yang diperoleh dari rajin mengarsip.

Penulis yang baik tentu tidak bisa menyepelekan kegiatan arsip-mengarsip. Ia akan senantiasa bergelut dengan kebosanan gunting menggunting koran atau melawan kantuk saat harus berhadapan dengan mesin scanner demi tujuan mendetailkan cerita.

Cerita Muhidin M. Dahlan saat ingin menyorot suatu peristiwa barangkali patut dicontoh. Dalam sebuah kesempatan, penulis novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur itu  pernah berkata bahwa arsip jadi semacam bank data yang kapan pun selalu siap dipanggil ketika dibutuhkan.

Lekra tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudajaan Rakjat 1950-1965 (2008) menjadi salah satu buku Muhidin yang dilahirkan melalui pengarsipan. Tentu saja kekuatan tulisan Muhidin lahir dari kegiatan mengarsip itu.

Tak mengherankan hampir tiap pekan dirinya bisa menulis dengan menyorot peristiwa mutakhir di berbagai media nasional karena telah mengantongi segudang data. Demikianlah, dunia pengarsipan hakikatnya adalah usaha membincangkan detail peristiwa dari masa ke masa.

Penulis cum aktivis Skotlandia, Sara Sheridan, juga meneguhkan hal tersebut. Menurut dia, tanpa arsip, cerita-cerita orang akan hilang, dan bersama cerita-cerita itu akan hilang juga petunjuk penting yang memungkinkan kita merefleksikan dan menafsirkan kehidupan hari ini.

Muskil bagi kita menafsirkan kehidupan saat ini apabila tidak ada lagi yang menekuni kerja-kerja kearsipan. Pengarsipan memungkinkan kita dapat membincangkan cerita dari masa ke masa dan terhindar dari amnesia kolektif.

Dengan begitu, tumpukan koran dan majalah yang kian tak terhitung jumlahnya di perpustakaan sekolah dan universitas sayang sekali apabila bernasib buruk di tangan pedagang kaki lima untuk dijadikan bungkus makanan atau bahkan dijual kepada pengepul koran bekas demi keuntungan komersial.

Ironis ketika institusi akademis tidak mengacuhkan gagasan publik yang termuat di koran dan majalah karena enggan mengarsipkannya. Semoga tidak.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Maret 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya